Pertengahan 2011 lalu, Litbang Kompas mengungkapkan hasil survei yang cukup mengkhawatirkan perihal minimnya pengetahuan dan kesiapsiagaan warga yang tinggal di lokasi rawan bencana. Bahwa hampir separoh dari 806 responden yang tinggal di zona bahaya, belum menyadari ancaman bencana yang sangat mungkin terjadi di daerah nya.
Survei itu dilakukan Litbang Kompas di kota-kota yang pernah dan terancam bencana gempa bumi, tsunami, serta letusan gunung seperti Banda Aceh, Yogyakarta, Padang, Palu, Malang, Purbalingga, Karangasem dan sebagainya.
Dan tahukah Anda, sedari pertengahan 2011 hingga pertengahan 2017, ribuan kali bencana terjadi di Indonesia. Terutama di kawasan rawan bencana yang dilakukan survei itu. Bahkan, pada 2014 saja, tercatat ada 1525 kejadian bencana yang menyebabkan 566 meninggal. Kurangnya warga di zona bahaya yang sadar bencana itu menjadi pekerjaan besar pemerintah.
Tentu saja, mustahil mencegah bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi. Karena memang, nyaris tidak sejengkal pun tanah di Nusantara yang luput dari ancaman gempa, tsunami dan letusan gunung berapi. Namun, pemerintah bisa membangun budaya sadar bencana di masyarakat demi minimalkan risiko bencana alam. Peran inilah yang telah dimaksimalkan oleh Badan Nasional Penangggulan Bencana (BNPB).
Bukan sebuah pekerjaan mudah untuk membangun budaya sadar bencana kepada jutaan orang yang tinggal di kota-kota rawan bencana. Mendatangi satu demi satu kota rawan bencana untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat memang menjadi salah satu solusi. Namun, dengan kondisi geografis Indonesia yang punya ribuan pulau, upaya ini tentu menghabiskan biaya besar. Belum lagi bila bicara efektifitas.
BNPB memahami hal itu. Karenanya, BNPB memilih media radio agar upaya membangun budaya sadar bencana bisa lebih tepat sasaran dan efektif. Bekerja sama dengan 80 stasiun radio (60 stasiun radio swasta dan 20 radio komunitas) yang tersebar di 20 provinsi, BNPB merilis sandiwara radio "Asmara di Tengah Bencana 2" sebagai bentuk edukasi dan sosialisai kepada masyarakat.
Mengapa BNPB memilih radio? Bukankah sekarang ini era nya media sosial seperti Facebook, Twitter atau Instagram? Juga masih ada media televisi baik lokal maupun nasional yang memungkinkan BNPB membuat iklan advertorial berupa video pendek tentang apa yang harus dilakukan masyarakat ketika bencana terjadi. Namun, slot iklan di televisi tentunya butuh biaya yang sangat besar.
BNPB pastinya sudah melakukan kajian mendalam terkait pilihan memilih media radio. Bahwa terlepas dari plus minus nya, radio masih jauh lebih efektif bila dibandingkan televisi ataupun media sosial untuk mengedukasi masyarakat yang tinggal di zona bahaya agar memiliki kesadaran bencana.
Kelebihan Radio
Memang, bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, media sosial dan televisi adalah media yang paling digemari. Radio mungkin hanya didengarkan ketika berada di perjalanan berkendara mobil. Namun, beda ceritanya bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana yang dekat dengan pantai dan pegunungan. Masyarakat yang tinggal di kawasan rawan gempa, longsor, tsunami dan gunung berapi, karena pekerjaannya yang rata-rata di ladang ataupun melaut, mereka tak punya cukup waktu menonton televisi yang terhubung dengan arus listrik.
Ambil contoh di kota/kabupaten Malang (Jawa Timur) yang seringkali terjadi bencana longsor, puting beliung, gempa bumi dan menjadi salah satu kota terpilih menyiarkan sandiwara radio "Asmara di Tengah Bencana2" ini. Saya pernah tinggal di Malang selama beberapa tahun ketika kuliah dan bekerja di sana. Selama itu, saya jadi tahu, pendengar radio di Malang masih sangat banyak. Warga Malang masih suka mendengarkan radio. Utamanya di jam-jam istirahat siang dan malam hari. Tak heran bila di Malang ada beberapa radio terkenal yang punya banyak pendengar setia.