Hari Pers Nasional (HPN) datang lagi. Dan seolah menjadi menu wajib, ketika “pers berulang tahun”, salah satu poin renungan yang muncul ke permukaan adalah tentang kesejahteraan pekerja pers. Setiap HPN, kesejahteraan wartawan kembali jadi gunjingan. Itu lagu lama yang diputar ulang. Lantas terlupakan. Dan, ketika HPN datang lagi, lagu itu pun diputar kembali. Seterusnya berulang seperti itu.
Tentang kesejahteraan pekerja pers, sudah jamak yang tahu bagaimana ceritanya. Dulu, ketika bekerja di media, saya sering dicurhati kawan sesama wartawan perihal gajinya yang minimalis. Malah ada kawan yang tidak digaji oleh media tempat nya bekerja. Dia baru mendapat pesangon bila mampu mendapatkan iklan untuk medianya. Sekian persen dari besaran uang iklan tersebut. Andai sebulan dia tidak bisa mendapatkan iklan. Ya, Anda tahu sendiri jawabannya.
Sekarang, ketika saya sudah tidak lagi mengenakan "seragam" wartawan, cerita itu ternyata langgeng. Tidak berubah. Karenanya, tidak sedikit teman wartawan yang malas ketika harus melakukan peliputan demo buruh yang meminta kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) alias Upah Minimum Regional (UMR). Ada seorang kawan yang langsung nyinyir berujar “stop liputan demo buruh. Mereka enak gajinya naik setiap tahun. Kita? Bertahun-tahun tetap saja tidak ada kenaikan. Paling cuma naik 50 ribu”.
Gaji kecil wartawan inilah yang ironisnya kemudian menjadi pembenaran ketika wartawan keluar dari etika profesinya. Istilah umumnya : mbodrek. Mbodrek adalah istilah Suroboyo-an yang disematkan kepada wartawan yang kerjaannya minta duit ke nara sumber, memeras narasumber, dan juga nyari proyek an berita yang ujung-ujungnya duit. Entah siapa dulu yang mengawali penyebutan ini. Tapi yang jelas, istilah itu merujuk pada nama obat sakit kepala. Analoginya, wartawan bodrek itu wartawan yang bikin pusing kepala narasumber karena minta duit.
Gaji kecil wartawan itu pula yang memunculkan stigma nyinyir. Bahwa “menjadi wartawan tidak akan pernah membuat kaya”. Ya memang, kerjaan wartawan kan membuat berita, bukan membuat kaya hehehe. Lebih nyinyir lagi, ada ucapan seperti ini “zaman sekarang jadi wartawan idealis, mau makan apa?”. Benarkah?
Ah, kata siapa. Wartawan pun bisa kaya. Tepatnya, wartawan idealis yang bekerja dengan cara-cara benar, juga bisa menjadi kaya. Kaya dengan cara-cara yang benar. Bukan dengan harus banting stir melakukan usaha yang tidak ada kaitannya dengan profesi wartawan semisal jadi pengusaha. Apalagi dengan cara praktik-praktik kotor yang berprinsip “asal dapat duit banyak”.
Ada banyak cara untuk menjadi kaya bagi wartawan yang bisa dikerjakan dengan tetap menjadi wartawan. Melalui cara yang sehari-hari dilakukan oleh wartawan. Yakni meliput, mewawancarai, menginvestigasi dan menulis.
Lomba Karya Jurnalistik
Tepat di hari perayaan puncak HPN kemarin, saya ikut berbahagia dengan prestasi hebat seorang kawan saya. Kawan saya itu, seorang wartawan muda di salah satu surat kabar nasional, menjadi juara I lomba karya jurnalistik tingkat nasional yang digelar HPN. Sebulan sebelum jadi juara HPN itu, dia juga pernah bercerita terpilih jadi juara karya tulis yang diselenggarakan sebuah instansi. Kawan saya itu, wartawan muda yang idealis, tidak matrealis, ide-idenya cerads, dan tulisannya bernas.
Dan memag, setiap tahun, ada banyak lomba jurnalistik yang diadakan oleh kementerian, BUMN, instansi, termasuk oleh lembaga pers (bahkan Kompasiana pun rutin mengadakan blog competition). Dari tingkat lokal, regonal, hingga nasional. Hadiahnya biasanya duit. Dari yang jumlahnya tidak seberapa hingga yang jumlahnya luar biasa besar. Ada lomba jurnalistik yang bahkan juara I nya mendapatkan Rp 25 juta.
Memang, karena sifatnya kompetisi menulis, tentunya tidak mudah untuk jadi pemenang. Saingannya banyak. Apalagi, untuk menjadi pemenang, penentunya bukan hanya karena skill kualitas menulis, tetapi juga terkadang karena “ketiban rezeki” adanya tema yang menarik untuk ditulis.