“When you want something, all the universe conspires in helping you to achive it”.
Begitu ujaran Paulo Coelho dalam buku larisnya, The Alchemist. Sebuah kata sakti tentang betapa keinginan menjadi kekuatan untuk mencapai sesuatu yang meskipun itu terasa mustahil. Ujaran Paulo Coelho itu nyatanya telah diterjemahkan dengan baik oleh tim Liga Inggris, Leicester City.
Siapa sangka, Leicester yang hanya bermaterikan “pemain-pemain buangan” plus “pelatih pecatan”, mampu menutup tahun 2015 dengan hasil wow. Hasil imbang 0-0 dengan Manchester City, Rabu (30/12) dini hari tadi, membuat Leicester jadi “pemimpin kembar” Liga Inggris bersama Arsenal. Keduanya nyaman memimpin klasemen Liga Inggris dengan poin sama, 38 pon (Leicester hanya kalah selisih tiga gol dari Arsenal).
[caption caption="Tutup tahun manis bagi Jamie Vardy (tengah) dan rekan-rekannya/Daily Mail"][/caption]
Padahal, awal tahun 2015 lalu, Leicester ada di posisi paling buncit dari 20 tim Liga Primer. Promosi ke Liga Primer setelah 10 tahun ‘menghilang’, rupanya membuat Leicester kagok. Mereka kalah 13 kali dari 19 laga di paro pertama liga. Selama berpekan-pekan, tim berjuluk The Foxes ini wara-wiri di papan bawah. Bayang-bayang degradasi dan kembali main di Divisi Championship pun menyapa. Namun, keinginan kuat bertahan di Liga Primer, membuat Leicester rakus poin jelang tutup kompetisi musim 2014/15. Mulai April hingga liga berakhir, Leicester memenangi tujuh dari sembilan laga. Leicester pun selamat. Mereka finish di posisi 14. Dan itu rupanya jadi perenungan bagi manajemen klub.
Hasilnya, harus ada penyegaran di posisi pelatih. Maka, Nigel Pearson pun dicopot. Pria Italia, Claudio Ranieri yang menganggur pasca di-PHK tim nasional Yunani, ditunjuk jadi pelatih. Siapa sangka, Ranieri, 64 tahun, yang dianggap “sudah habis” menemukan kembali gairah melatihnya di Leicester.
[caption caption="Claudio Ranieri mampu mengubah Leicester City jadi tim spesial/Daily Mail"]
[/caption]
Ranieri yang pernah melatih sederet klub top mulai Valencia, Chelsea, Juventus, AS Roma, Inter Milan, hingga AS Monaco justru merasa menjadi manusia meredeka ketika melatih tim kecil seperti Leicester. Bila di klub besar, dia bak ‘babu’ yang diperintah oleh manajemen dan tuntutan suporter, di Leicester dia bebas memunculkan ide-idenya.
Enam laga tak terkalahkan di awal musim, jadi start hebatnya. Pada November, dia terpilih jadi Manager of The Month, mengalahkan sederet pelatih dengan nama beken. Bahkan, jelang Natal, Leicester dibawanya ke puncak klasemen lewat kemenangan 2-1 atas sang juara bertahan, Chelsea.
Apa rahasia Ranieri?
Sejatinya, tidak ada resep rahasia. Tidak ada strategi rahasia. Ranieri hanya memainkan pola klasik, 4-4-2 ketika tim-tim lain berevolusi ke pola modern 4-2-3-1. Bahkan, Ranieri juga hanya dibekali ‘pemain-pemain buangan’. Coba perhatikan, kiper utama, Kasper Schmeichel yang merupakan putra dari legenda Manchester United (MU) Peter Schemichel, adalah pemain buangan Manchester City. Lalu bek Robert Huth dan Ritchie de Laet adalah pemain terbuang dari Chelsea dan MU. Begitu juga gelandang Daniel Drinkwater (MU) dan Gohkan Inler, kapten Timnas Swiss yang terbuang dari Napoli.