Lihat ke Halaman Asli

'Laskar Pelangi' di PSK

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

asrama santriawan

[caption id="" align="alignleft" width="322" caption="Asrama Santriawan Dayah Nurul Iman/Foto: Dok. Pribadi"][/caption] DUNIA pendidikan memang tidak pernah habis tertelan masa, ya mungkin kata-kata itu bisa melukiskan bagaimana perjuangan dua atau sekolompok orang yang mempertahankan bangunan seadanya dengan kemampuan moril dan finansial yang mereka miliki. Mungkin dari sebagian kita pernah melihat atau menyaksikan film layar lebar Laskar Pelangi, film yang diangkat dari sebuah novel besutan Andrea Hirata. Namun, cerita seperti Laskar Pelangi itu ternyata ada dimana-mana jika kita mau sadar dengan keadaan yang ada disekitar. Peusangan Siblah Krueng (PSK) salah satu contohnya, sebuah kecamatan kecil yang merupakan pemekaran dari kecataman Peusangan (ibukota Matangglumpangdua), ternyata juga menyimpan cerita pilu itu tentang perjuangan membela akan sebuah pendidikan, tidak hanya pendidikan agama, namun juga pendidikan umum. [caption id="" align="alignright" width="346" caption="Dapur umum disalah satu sudut Dayah/Foto: Dok. Pribadi"]

dapur umum

[/caption] Hidup segan, mati pun tidak mau merupakan pepatah lama yang kini bisa kita sandingkan pada tempat yang kami kunjungi ini, mempunyai 2 ruangan yang sangat sederhana. Layaknya sebuah sekolah lainnya, namun berbagai fakta unik dilapangan dari apa yang kami telusuri dari sekolah ini memang jauh diluar dugaan. Sekolah yang setara dengan sekolah lanjut tingkat pertama atau Madrasah Tsanawiyah ini ternyata menyimpan berbagi kisah heroik dari orang-orang dibalik layarnya. Awalnya sekolah yang berdiri sekarang setingkat dengan tsanawiyah tersebut hanya sederet dayah atau dikenal dengan nama lain tempat pendidikan tradisional Islam yang banyak ada di desa-desa atau kampung-kampung di Aceh. [caption id="" align="alignleft" width="307" caption="Suasana bincang-bincang ABC bersama pengurus Dayah/Foto: Dok. Pribadi"]

bincang-bincang

[/caption] Dayah Nurul Iman salah satu contoh dari sekian banyak dayah di Aceh yang memerlukan sebuah perhatian khusus warga sekitarnya, diibaratkan di atas tadi seperti ceritanya Laskar Pelangi memang bukan bualan semata. Kayu-kayu lapuk menjadi saksi bisu atas dedikasi para guru dalam memberikan dan mentansfer ilmu kepada anak didiknya, bahkan mereka juga berprofesi sebagai santri. Tidak kalah menariknya dengan seorang pria yang berbadan tegap, Azhari misalnya yang mendapat amanah sebagai Ketua Yayasan dan Dayah Nurul Iman, merasakan keprihatian terhadap kondisi yang ada di sekolah dia pimpin saat ini. Bersama dengan rekan-rekan lainnya, mereka hanya terdiri dari 3 orang dengan berbagai latar belakang berbeda membuat sebuah ’pertahanan’ untuk terus membina santri mendapatkan pendidikan yang layak mereka terima selain ilmu agama yang diajarkan di dayah, mereka juga diharapkan bisa mengejam pendidikan umum lainnya, seperti layaknya anak-anak lain yang sebaya dengan mereka dibangku sekolah lanjutan. Tumbuh Kembang Melalu akte notaris nomor: 07/2006, maka tepatnya Yayasan Dayah Nurul Iman resmi berdiri dan mempunyai kekuatan hukum, hari itu Ahad tanggal 16 november 2005 disebuah kampung kecil Cot Aneuk Batee, kecamatan Peusangan Siblah Krueng berdirilah sebuah tempat pendidikan tradisional di atas tanah yang lebih kurang 1 hektar. Awalnya dilahan yang luas sekitar 1 hektar itu, hanya ada beberapa balee dayah yang berukuran sekitar 24 meter persegi. Lambat laun, balee yang ada semakin diperbanyak dari satu sampai 4 bale yang ada saat ini. Tidak jauh dari balee pengajian dayah, terlihat jelas pondasi dari beton yang masih melekat kuat besi-besi penguatnya terbiarkan begitu saja. Saat kami bertanya, ”Ada apa dengan pondasi itu?”, tidak lain dan bukan pak ketua menyebut dengan nada miris, ”kami terkendala dengan dana, dan hanya pondasi itu yang bisa terselesaikan”. Lagi-lagi, dana yang membuat terbengkala untuk membangun sebuah tempat yang sarat dengan pendidikan itu. Tidak banyak santri yang ada di dayah ini, hanya 34 orang. Ada 3 kamar yang dijadikan asrama untuk santri laki-laki, dengan keadaan sangat sederhana. Terbuat dari kayu dan kulit-kulit bambu yang sudah lusuh jadi saksi bisu kehadiran mereka. Sedangkan untuk para santri wanitanya masih belum tersedia, banyak dari mereka adalah warga kampung setempat. Jika melihat rentan umur para santri yang menuntut ilmu di Dayah Nurul Iman ini berkisar dari 12 tahun sampai 15 tahun. Tentunya dengan berbagai kondisi dan latar belakang keluarganya. Sedangkan jumlah guru/pengajar yang ada memang terbilang cukup memadai sebanyak 18 orang laki-laki dan perempuan. Saat melanjutkan bincang-bincang dengan Ketua Yayasan, Azhari, beliau juga menyampaikan keluh kesahnya tentang kendala yang sangat sering dihadapi saat-saat menjalani hari-harinya di dayah tersebut. "Kami sering sekali merasa kekurangan konsumsi, saat para santri mau memasak di dapur umum. Mungkin ini juga salah satu alasan karena keberadaan dayah ini berada di lokasi pedalaman, sehingga banyak luput dari perhatian para donatur yang mau bermurah hati", ungkapnya saat kami melihat-lihat kondisi sekolah. Jika mengandalkan kemampuan masyarakat setempat, rata-rata mata pencaharian mereka adalah tani atau bisa dibilang termasuk dalam keluarga miskin yang dihitung-hitung mencapai 95%. Namun, semangat Azhari dan kawan-kawan untuk terus menghidupkan dayah ini tidak berhenti begitu saja, walaupun kekurangan disatu sisi-sisi, mereka harus rela mencari bantuan kemana-mana. Sementara itu kepemimpinan Dayah dan sekolah tsanawiyah di Nurul Iman, walaupun terkesan kecil namun sudah mempunyai struktur organisasi yang baik, sehingga bisa saling melengkapi dalam berbagai kondisi. Kepala Sekolah Tsanawiyah misalnya dipimpin oleh seorang perempuan, Fitriana, A.Ma.Pd yang merupakan orang luar dari daerah tersebut yang ingin mengabdi dengan kemampuan yang dimilikinya. Ada yang menarik juga, setelah melihat-melihat bangunan kayu yang ada di komplek Dayah Nurul Iman tersebut, disalah satu komplek sudah ada bangunan koperasi yang telah berbadan hukum. Itu juga merupakan bagian dari bantuan yang pernah mereka terima, menurut Bapak Hanafiah selakuk Bendahara disana, beliau mengharapkan nanti bisa bekerjasama dengan perwakilan UNESCO yang berada di Aceh untuk meminta bantuan lebih dalam hal mengoperasikan koperasi yang sudah berdiri tersebut. [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Bapak Hanafiah saat menuturkan rencananya bekerjasama dengan UNESCO/Foto: Dok. Pribadi"]

Dok. Pribadi

[/caption] Di akhir perjumpaan kami dengan pihak dayah ini, ada sebuah kata yang sempat diimpikan oleh Bapak Hanafiah asal Tamiang ini, yakni suatu saat nanti ditanah yang sedang ia pijak sekarang di Peusangan Siblah Krueng dapat berdiri sebuah perguruan tinggi, walaupun mahasiswanya 20 orang. Kami menyadari juga ternyata apa yang ada dari orang-orang yang berada di balik bangunan "Laskar Pelangi" ini mempunyai semangat yang besar, bekerja untuk kepentingan umat terlebih dalam memberikan pendidikan di daerah pedalaman. Semoga niat baik dan kerja bakti yang sedang dibangun ini selalu mendapat dorongan kuat dari berbagi elemen yang peduli dengan pendidikan daerah pedalaman seperti PSK yang kami kunjungi ini.[] Tim X-ABC III Bireuen: Anak Kecil alias Aneuk, Jol Cipuga, Tengku Muda + Istri, Husni, Pozan, Aulia.



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline