Lihat ke Halaman Asli

Kasus HAM Bukan untuk Dikenang

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="325" caption="Para Pelaku Kasus Bantaqiah. Foto: elsam.minihub.org"][/caption] SIAPA yang tidak mengenal kasus HAM yang merajalela di negeri pertiwi ini. Sejenak kita melihat kebelakangan sekitar tahun 1998 dan 1999. Kasus HAM di Indonesia kian berceceran, tidak hanya berceceran berkas kasus atau BAP, tapi juga darah, para janda, anak yatim serta para ulama dan tokoh masyarakat. Tanggal 12 Mei yang lalu, para mahasiswa yang menjadi suara rakyat baru saja menyuarakan dan mengenang 12 tahun tahun berlalu reformasi yang telah menjadi sebuah pijakan baru bagi bangsa ini. Kini suara mereka (mahasiswa, rakyat, -pen) telah usai dimuntahkan didepan publik dan rakyat Indonesia, namun penguasa masih belum memberikan aba-aba sejatinya lelaki sejati. Lihat saja kasus HAM yang berlaku di Aceh sejak DOM (Daerah Operasi Militer) tahun 1989 sampai tahun 1999 (pasca-DOM). Jika merunut seperti apa yang dikemukakan oleh Komisi Independen (sebuah lembaga yang mengusut masalah pelanggaran HAM), ada lima kasus besar di Aceh yang cukup monumental, yakni:

  1. Kasus perkosaan di Kabupaten Pidie (16 Agustus 1996 terhadap Sumiati)
  2. Kasus tindak kekerasan di Rumoh Geudong, berupa pembunuhan, penculikan dan penganiayaan di Kabupaten Pidie yang terjadi selama berlakunya DOM antara tahun 1989-1998.
  3. Kasus pembunuhan dan penghilangan orang di Idi Cut (terkenal dengan kasus Arakundo), Kabupaten Aceh Timur pada tanggal 2-3 Februari1999.
  4. Kasus penembakan di Cot Murong Kecamatan Dewantara (terkenal dengan kasus Simpang KKA atau Krueng Geukeuh), di Kabupaten Aceh Utara (sekarang jadi kota Lhokseumawe) pada tanggal 3 Mei 1999.
  5. Kasus penembakan dan pembunuhan Bantaqiah dan pengikutnya di Beutong Ateuh, Kabupaten Aceh Barat pada tanggal 23 Juli 1999.

Dari fakta yang ditemukan oleh Komisi Independen, mereka mencatat ada 7.000 kasus yang terkumpul dan jika semuanya dibawa pada peradilan raya, maka akan menelanjangi skenario besar yang ada dibelakannya. Mustahil juga untuk dapat melaksanakan semuanya dalam waktu, ruang dan kemampuan yang ada, sehingga diambil 5 kasus besar tersebut di atas seperti yang dikutip dalam buku Tragedi Anak Bangsa, oleh Amran Zamzani (Ketua Komisi Independen). Kasus Bantaqiah yang dimulai dengan berbagai isu, memang membuat masyarakat Aceh cukup kalah telak versus pihak TNI. Buktinya, istri Bantaqiah beberapa kali proses pengadilan (Peradilan Koneksitas) yang berlansung di Banda Aceh urung datang untuk menyampaikan kesaksian. Tidak hanya itu, sikap hakim yang membuat keputusan pun kian menuai protes masyarakat. Seperti yang kita ketahui kasus HAM Bantaqiah cs yang dibunuh secara tanpa peri kemanusiaan ini cukup memberikan sebuah renungan, dimana negeri ini kian tidak mengerti hukum bagi rakyatnya. Seperti yang diungkapkan oleh Karl D. Jackson, "... Semakin terpusat sumber-sumber ekonomi dan politik pada Pemerintah, semakin tidak berdaya kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk membangun citra dan martabat mereka." Dalam buku yang ditulis oleh Amran Zamzani, setidaknya menguak berbagi proses peradilan koneksitas yang berlaku di lapangan. Mulai dari analisa operasi intelijen ke Beutong Ateuh (isu ganja dan GAM), rekayasa yang dimainkan oleh pihak TNI, sampai dengan reaksi dari hasil persidangan koneksitas yang tidak membuat para saksi korban menerima yang setimpah, ditambah lagi dengan hilangnya saksi kunci Letkol Sudjono (Kasi Intel Rem 011/Lilawangsa). Walaupun kasus tersebut berakhir (Bantaqiah cs, -pen) diperadilan koneksitas, namun Amran Zamzani membuat sebuah renungan di akhir tulisannya yang cukup membuat kita perlu memikir lebih jauh. Ada sebuah analogi yang disampaikan oleh August Comte, seorang filosof beraliran positif, bahwa "rasa memiliki itu ada setelah kehilangan". Kenyataan ini mengingatkan akan harga sebuah momen yang sedang berlaku (in progress). Sesal tidak datang di awal cerita, hingga kelalaian pun menjadi sisi lain kelemahan manusia. Dan kini setelah segalanya berlalu, barulah kita menyadari bahwa torehan luka itu begitu dalam dan parut yang membekasinya menjadikan kita malu untuk berhadapan dengan orang lain. Terakhir, diatas segalanya yang paling menentukan adalah keikhlasan untuk melakukannya. "We know what needs to be done. What is now needed is the foresight and political will to do it". Hal ini menjadi penting untuk mengembalikan kembali daya hidup para korban yang selama ini telah ditindas, dan dirampas hak-haknya dan mengembalikan vitalitas komunal bangsa Indonesia, bahwa sesungguhnya kekerasan sudah mulai tidak populer. Dengan kebudayaan dan peradaban baru yang lebih gemilang, tantangan sejarah belum berhenti sampai disini, dan kita belum berhenti bergerak sebagai "Anak Bangsa".[] Tulisan ini disadur dari buku "Tragedi Anak Bangsa" Pembantaian Teungku Bantaqiah dan santri-santrinya, karangan Amran Zamzani (Lahir di Kuta Buloh, Meukek, Aceh Selatan tanggal 10 Januari 1929).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline