Lihat ke Halaman Asli

Terrorism in Global Security

Diperbarui: 23 Juni 2016   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam era global saat ini, ancaman terhadap kehidupan dan kemanan manusia tampaknya semakin luas dan beragam model ancamannya yang muncul ke permukaan. Ancaman tersebut bukan lagi berasal dari perang-perang seperti Perang Dunia I dan Perang Dunia II atau ancaman perang Nuklir yang menjadi “momok” selama Perang Dingin. Ancaman-ancaman terhadap kehidupan dan kemanan manusia itu sendiri pada era gloalisasi saat ini bisa berasal dari kekuatan-kekuatan radikal yang berkembang dalam masyarakat. Tentara dan persenjataan yang canggih bukan lagi pemegang monopoli kekerasan terhadap kemanusian, tetapi justru dari perangkat-perangkat sipil yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dalam kasus WTC, senjata yang digunakan adalah dua pesawat terbang sipil yang berhasil dibajak oleh teroris. Selain itu, ancaman terhadap kehidupan dan kemanan manusia jauh lebih luas, menyebar, bisa terjadi pada siapa saja, dan tentunya di mana saja. Seseorang yang sedang berlibur dan menginap di sebuah hotel bisa menjadi korban bom bunuh diri seperti contoh kasusnya dalam Bom Bali I dan Bom Bali II.

Meluasnya aksi terorisme diseluruh belahan dunia membuat banyak orang berusaha mengaitkannya dengan kemanan global (global security). Dalam bukunya Ann E. Robertson yang berjudul Terrorism and Global Security[1], mengemukakan bahwa terorisme yang terjadi sekarang ini yang bisa terjadi kapan saja, dan di mana saja merupakan ancaman yang serius bagi kemanan global dewasa ini. Runtuhnya World Trade Center (WTC) dan simbol pertahanan Pentagon pada tanggal 11 September 2001 lalu di Amerika Serikat dianggap bahwa ancaman terorisme terhadap kemanan kehidupan manusia (human security) tampaknya semakin mengkhawatirkan, beragam dan meluas.

Dalam pendefinisan terorisme yang tidak pernah memiliki definisi dan pendekatan tunggal. Ini terjadi karena usaha mendefinisikan terorisme hampir selalu bersifat subjektif. Dalam Bruce Hoffman, “the decision to call somebody or label some organization ‘terrorist’ becomes almost unavoidably subjective, depending largely on one sympathizes with or opposes the person/group/ cause concerned. Dalam sejarahnya, terorisme tidak hanya monopoli masyarakat sipil, tetapi juga merupakan reprsentasi dalam tindakan negara (state sponsored terrorism). Rezim-rezim otoriter di Amerika Latin, Indonesia, dan bekas Uni Soviet menggunakan aksi-aksi kekerasan untuk menteror kelompok-kelompok oposisi. Tindakan militer AS terhadap rezim-rezim yang dianggap sebagai pendukung teoris, misalnya, Afganistan dan Irak bagi penduduk setempat merupakan aksi teror sendiri. AS yang pertama sekali mendeklarasikan “war on terrorism” belum memberikan  definisi yang jelas terhadap terorisme sehingga orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa diliputi keraguan. Pemerintah AS mendefinisikan terorisme sebagai “premeditated politically motivated violence against non-combatant targets by subnationl groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience”(US Department of State, 2001:3)[2]. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri mendefinisikan terorisme sebagai[3] :

Terrorism is an anxiety-inspiringmethod of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby-in contrast to assassination-the direct targets of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally choosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threat-and violence-based  communication processes between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s)), turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought”

Menurut Kiras, Terorisme merupakan fenomena yang kompleks, sehingga definisinya sangat luas. Namun, meskipun demikian semuanya hampir berangkat dari titik mulai yang sama[4]. Terorisme mempunyai karaterisik yang utama, yakni penggunaan kekerasan dalam aksinya. Kekerasan yang digunakan meliputi pembajakan, penculikan, bom bunuh diri, dan lain sebagainya masih banyak contoh mengenai aksi kekerasan dalam terorisme. Menurut Kiras, yang menjadi alasan kesulitan dalam mendefinisikan terorisme karena gerakan tersebut sering kali disebabkan oleh banyak faktor. Kiras memberikan contoh bagaimana gerakan rakyat Chechnya yang didorong oleh motivasi untuk melepaskan diri dari Federasi Rusia, menjadi sebuah bangsa merdeka.

Terorisme dibedakan secara tradisonal dengan bentuk-bentuk kriminal lainnya. Ini karena terorisme senantiasa mempunyai muatan atau terpengaruh oleh kepentingan politik. Viotti dan Kauppi[5] mengemukakan, “terrorism, as politically motivated violence, aims at achieving a demoralizing effect on publics and governments”. Bruce Hoffman mengemukakan bahwa tindaan terorisme biasanya dirancang untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Biasanya, hal ini dilakukan dan dipahami serta dilakukan dalam cara yang simultan merefleksikan tujuan-tujuan khusus dan motivasi kelompok, yang disesuaikan dengan sumber-sumber dan kapabilitas, dan mengambil sejumlah target di mana tindakan tersebut yang menjadi tujuan.

Terorisme menggunakan kekerasan untuk menarik perhatian akan maksud atau alasan di balik tindakan mereka. Mereka (para terorisme) berusaha membuat rasa takut kepada masyarakat dan pemerintah dengan cara mencederai orang, barang milik atau keduanya mereka lakukan. Jika orang-orang ketakutan, dalam hal ini maka diharapkan pemerintah akan setuju untuk memenuhi tuntutan mereka sebagai usaha menghentikan kekerasan yang terjadi. Secara sejarah, terorisme paling sering menggunakan senjata tradisional seperti pisau, memasukkan bom dalam pesawat, ataupun menabrakkan truk dengan muatan penuh bom ke tempat-tempat yanag menjadi target. Dalam banyak kasus, mereka memasang bom dalam tubuhnya untuk diledakkan di tempat keramaian yang sedang berlangsung atau taktik ini sering disebut sebagai taktik bom bunuh diri.

Selanjutnya, terorisme menjadikan orang-orang yang tidak bersalah sebagai target. Meskipun begitu, dalam beberapa kesempatan, mereka mampu membunuh tokoh-tokoh politik penting yang mereka anggap bertanggung jawab atas keluhan dan tuntutan mereka. Di Rusia, teroris membunuh Czar Alexander II pada tahun 1881, Presiden Mesir nwar Sadat tahun 1981, dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pada tahun 1995 yang dilakukan oleh kelompok ektrimis Yahudi yang marah kepada Rabin karena membuat kesepakatan dengan damai dengan Palestina. Namun, walau demikian sebagian besar korban terorisme tetaplah masyarakat biasa atau masyarakat yang tidak berdosa yang sedang belanja, liburan atau bahkan sedang bersantai di Cafe. Contohnya, para penumpang pesawat yang ditabrakkan ke Gedung WTC juga adalah orang-orang yang tidak bersalah apapun atas terjadinya “penderitaan”  para pelaku terorisme. Menurut Robertson, teroris memilih target biasanya dengan suatu alasan tertentu yang bersifat simbolik. Di Indonesia, Bali menjadi target teroris karena dianggap sebagai tempat tujuan wisata utama wisatawan asing dari belahan dunia. Sebagian besar korban Bom Bali  adalah orang-orang Australia, Asia, Indonesia, dan banyak dari Eropa dan Amerika. Sebagai sebuauh tempat tujuan wisata mancanegara, Bali merupakan surga bagi turis asing, yang dalam pandangan teroris harus dilawan dalam rangka jihad berdasarkan kepercayaannya.

Terorisme selalu berusaha menarik perhatian atas maksud-maksud dari apa yang mereka lakukan. Mereka seolah-olah ingin menciptakan sebuah imageyang tidak bisa dilupakan atau tidak terlupakan oleh zaman. Seolah mereka juga ingin memberitahukan akan kehadiran mereka, dan menyampaikan tuntutan mereka kepada khalayak yang lebih luas. Menurut Brigitte Nacos seorang ahli terorisme dan media mengemukakan bahwa, “Terrorism do not want to win the hearts of....the people their target and even not those who look on in the international realm”. Menurutnya mereka menginginkan perhatian, dan mereka ingin tahu apa yang mereka maksud dan inginkan.  Bila kita lihat masa kini, usaha-usaha para terorisme untuk mendapatkan perhatian mndapat “support” yang relatif cukup besar dari media. Di tengah kapitalisasi dan komersialisasi, media lebih cenderung untuk meliput hal-hal yang sensasional dan berdarah. Dalam kasus dan konteks yang terjadi di Indonesia, aksi terorisme mendapatkan liputan yang luas dengan menajamkan sisi sensasional, kerusakan, dan darah yang secara tidak langsung membuat tujuan para terorisme tercapai, yaitu publikasi atas teror yang mereka lakukan.

Dalam kasus terorisme yang semakin meluas sehingga mendapatkan banyak perhatian mata dunia. Sehingga terorisme miliki beberapa tipologi, seperti yang yang diperkenalkan oleh Gregory D. Miller yang mengkategorikan terorisme melalui riset berbasis observasi dari kasus-kasu tindakan terorisme yang pernah terjadi dalam pemerintahan global. Dalam risetnya, Miller menyatakan setidaknya ada 4 jenis kategorisasi terorisme, yaitu: terorisme separatis-nasiona, terorisme revolusioner, terorisme reaksioner, dan terorisme religius.[6] Terorisme separatis-nasional adalah terorisme yang terjadi dalam lingkup pemerintahan suatu negara dimana ada kelompok-kelompok tertentu yang merasa tidak puas atau kecewa terhadap kebijakan pemerintahan yang sedang berlangsung, baik politis maupun sosial yang berujung pada tindakan teror untuk melepaskan diri dari kedaulatan negara tersebut dengan melakukan pemberontakan. Contoh-contoh kasusnya adalah seperti masalah nasionalisme Tamil di Sri Lanka, Gerakan Aceh Merdeka, dan lain-lain.

Selanjutnya, Terorisme revolusioner merupakan kategori terorisme yang menggunakan kekerasan dan teror dalam rangka mengubah tatanan poliik suatu negara. Dalam mengatasi permasalahan ini negara menggunakan cara-cara seperti perubahan atau penambahan kebijakan hukum. Contohnya adalah kasus kelompok teroris Red Brigade di Italia pada tahun 1969 sampai pada tahun 1980. Sedangkan terorisme reaksioner merupakan kategori terorisme yang sulit dilacak keberadaannya karena kelompok mereka kecil dan hanya sedikit, berpindah-pindah, dan relatif tidak aktif atau kurang fokus. Terorisme reaksioner bersifat reaktif terhadap isu-isu atau masalah tertentu yang sedang mengemuka pada saat itu. Mereka melakukan teror dengan cara membunuh orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan pikiran mereka, melakukan pengeboman terhadap infrastruktur simbolik tertentu, dan lain-lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline