Oleh : Diya Bin Shahab, Lc (M.Zainal Abidin Shahab).
Saya teringat pada masa lalu tak terlalu banyak ulama yang dikenal masyarakat. Atau setidaknya tak sebanyak sekarang.
Pada masa itu, mereka yang terkenal adalah orang orang yang telah diizinkan berbicara di majelis majelis besar. Seperti ICI Kwitang, Al-Hawi Condet dan beberapa majelis tua lainnya. Kalau sudah berbicara disana, maka nama seorang da'i akan terorbitkan dan ia akan tenar. Bisa dikatakan bahwa saat itu, majelis-majelis tersebut adalah media paling cepat untuk mengangkat nama seorang da'i.
Namun tak sembarang orang diizinkan berbicara. Para ulama dan sesepuh sangat selektif dalam mengizinkan siapa yang boleh berceramah disana.
Hasilnya, da'i-da'i yang terorbitkan dan terkenal adalah orang yang kompeten dibidangnya. Orang-orang yang berhati hati dalam ucapan dan perbuatan.
Kalaupun ada perbedaan pendapat dengan ulama lain, akan mereka sikapi dengan bijak. Warga majlis akan beradab kepada para ulama dan masarakat awam merasa tak pantas ikut-ikut mengomentari mereka.
Namun hari ini keadaan berubah. Media sosial terbuka luas untuk semua orang, dan siapapun bebas berbicara dan bebas mengomentari. Apalagi seorang yang merasa memiliki banyak pengikut di media sosialnya. Ia akan merasa pantas mengomentari apapun.
Akibatnya, hilanglah adab. Isi ceramah para da'i dianggap sebagai barang yang bisa di review oleh siapapun. Mengomentari yang tak sepaham dan mencela serta mencerca. Dan itu semua dilakukan dengan merasa benar. Berdalilkan "kan di upload di medsos jadi boleh dikomentari".
Kawan. Tak semua pantas untuk kau komentari dan tak semua bisa kau kritisi. Ada etika dan adab tertentu terkait beberapa orang. Yaitu tentang siapa mereka dan siapa kita.
Apakah jika seorang presiden berbicara yang berbeda dengan pandangan kita, lantas bebas kita komentari dengan cacian? Tentu tidak. kita akan berhati hati dalam berkata.
Jika ada seorang dokter berbicara suatu teori pengobatan. Maka yang pantas mengomentari dan mengkritisi adalah para dokter juga.