Lihat ke Halaman Asli

Indonesia (Nyaris) Negara Gagal?

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan Teuku FaizasyahStaf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional (Kompas, 19/02/10) menanggapi isu Indonesia dikatagorikan sebagai negara gagal menarik diperbincangkan. Sebab di akhir tulisannya ia menyumpulkan, “Indonesia rasanya jauh dari (Negara Gagal, red) semua itu.”  Kita perlu bertanya, apa Teuku Faizasyah yang notabene orang dekat SBY tak memperhatikan kondisi riil di masyarakat yang mengindikasikan Indonesia negara gagal (Failed State)? Bukankah Indonesia masih utuh karena Tuhan masih cinta pada kita?

Data yang dilansir Indeks Negara Gagal yang disusun Fund for Peace dan Foreign Policy Magazine, Indonesia menduduki peringkat ke-61 dari 177 negara. Rilis ini membuat kita segera melakukan gerakan pencegahan yang bersumber dari permasalah yang ada. Tidak terdiam, apalagi merespon dengan negatif isu ini. Masih ingatkah kita negara gagal itu yang lahir dari tahapan kecil yang tak segera dicegah sejak dini?

Sejarah mencatat, tak ada negara yang abadi. Beberapa negara yang jatuh pernah berjaya, mulai dari negara kota (polis) sampai negara bangsa (modern). Kegagalah mereka beragam. Titik awal kehancuran mereka bermula pada persoalan kecil yang dianggap remeh. Romawi yang luar biasa dahsyat tapi akhirnya hancur. Sebelum Romawi ada negara Mesir Kuno, Babilonia, Macedonia, Yunani. Dalam sejarah Islam, ada Imperium Islam di masa Dinasti Muawiyah hingga Dinasti Abasiah. Dinasti Islam ini berjaya selama 800 tahun menguasai 2/3 dunia, namun akhinya runtuh berantakan. Ada pula negeri Tiongkok sebelum menjadi Republik Rakyat Cina (RRC). Belum lagi Uni Soviet.

Konsep negara gagal  mengemuka karena kondisi berbangsa kita tak membaik, malah memburuk. Wacana ini semakin mendapatkan tempat di masyarakat setelah belakangan ini persoalan bangsa yang multi-crisistak kunjung terselesaikan. Dan paling miris lagi, persoalan bangsa yang semakin mencekik hati nurani ibu pertiwi menjadi isu kepentingan politikkaum elit. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala negara, belum secara jantang mengambil sikap tegas terhadap penyelesaian masalah.

Tulisan Stein Sundstøl Eriksen,“The Theory of Failure and the Failure of Theory: “State Failure” in Theory and Practice”ia menguraikan perspektif negara gagal ada dua. Pertama, memakai pendekatan perspektif Lockean. Pendekatan ini memakai penekanan fungsi negara yang utama pada rakyatnya dan terpenting negara adalah sebagai penyedia sumber kesejahteraan.

Kedua, pendekatan perspektif Weberian. Pendekatan ini didasari oleh pemikiran Max Weber yang menjelaskan bahwa negara adalah institusi yang memonopoli alat kekerasan pada daerah tertentu. Disebut negara gagal menurut pendekatan Weberian, karena negara tak mampu lagi menegakkan supremasinya. Dalam pendefinisian negara gagal ini agak berkonotasi hampir miripquasi-state; negara diakui pada perpolitikan global tapi tak memiliki kemampuan mengontrol wilayahnya.

Rotberg dalamThe Nature of Nation-State Failurelebih jelas mendefenisikan bahwa negara gagal dengan indikasi keamanan rakyat tidak bisa dijaga oleh negara, konflik etnis dan agama terus terjadi, legitimasi negara sebagai negara hukum terus mengecil, korupsi merajalela karena hasil dari ketidakberdayaan pemerintah, pemerintah tak kuasa menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri.

Negara berhasil (strong state) tak hanya melihat kesuksesan pemerintah menyelenggarakan pemilu seperti anggapan saat ini. Meski sebenarnya, jika ditilik secara seksama, penyelenggaran pemilu maupun pemilukada, banyak ketidakberesan yang membuat nilai legitimasi demokrasi defisit. Demokrasi sangat luas cakupannya. Ada pariabel lain yang memungkinkan nilai dari sistem demokrasi terjadideficit democracy.

Teuku hanya mengkapkan beberapa pariabel yang agak ambigu. Argumentasi yang dibangunnya menafikan kejadian kekerasan beragama, hasil sistem pemilu yang memicu raja-raja baru di daerah, ketidaktersediaan bahan pangan murah dan banyak lagi. Padahal landasan bernegara kita UUD 1945 memberi pedoman, yang disimpulkan dalam empat pokok; keamanan, kesejahteraan, pendidikan, dan politik. Negara kita sebagai pemegang tampuk kekuasaan tak mampu lagi mensejahterakan rakyatnya, memberi rasa aman, merajalelanya korupsi yang tak juga teratasi, dan masih tingginya angka anak putus sekolah. Catatan Organisasi Buruh Dunia (ILO) mencapai 5 juta anak Indonesia usia sekolah putus sekolah.

Cegah Indonesia Negara Gagal

Wacana Indonesia termasuk negara gagal bisa diangkat sebagai peringatan positif bagi pemerintah sebagai bentuk kewaspadaan untuk segera menjalankan perannya seperti termaktub dalam UUD 1945. “..... kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mecerdaskan kehidupan bangsa ....."

Bab-bab dalam UUD 1945 sudah kita pahami mengandung amanat untuk memberi hak dan pekerjaan serta kehidupan yang layak bagi kemanusiaan; model perekonomian yang berasas usaha bersama dan kekeluargaan; bumi dan air serta kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara.

Jika kita ke persoalan kesejahteraan dan kemiskinan. Sebuah studi Bank Dunia tajukMaking The New Indonesia Work For The Poor menempatkan negara ini ada sekitar 39,1 juta orang atau 17,75 populasi rakyat miskin. Ini artinya, angka kemiskinan di negeri ini sejak tahun 1998 hingga saat ini belum membaik. Sedangkan data dari Institut for Develompment of Economic And Finance (INDEF), kesejahteraan bisa dilihat dari tiga pariable:income (penghasilan), beban hidup, dan ada tidaknya program anti-kemiskinan yang dibuat pemerintah.

Tahun 1991, Prof Samuel P Huntington dari Universitas Harvard pernah mengingatkan kita dalam membangun sistem demokratisasi. Ia memberikan nasehat membangun negara demokrasi yang sukses dari sistem otoritarianisme. Dalam bukunya The Third Wave: Democratization is the Late Twentieth Century, ia memaparkanincome per capitamenjadi syarat demokratisasi. Semakin tinggi income per capitaatau pendapatan rata-rata penduduk sebuah negara, semakin mulus peralihan terjadi. Begitu sebaliknya. Negara dengan penduduk miskin yang beralih demokratis, menurut studi Huntington ini, akan kembali lagi menjadi otoritarianisme.

Kini, kita sudah mengisi hampir 14 tahun era reformasi tapi masih dikatagorikan sebagai negara berpendapatan rendah. Terakhir, lihat kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Ratusan rumah warga menjadi korban. Rumah penduduk tenggelam, mata pencarian hilang. Tapi peran negara belum juga terlihat. Aneh bin ajaib, belum ada satu pun yang ditetapkan oleh pemerintah (negara) yang bertanggungjawab atas hilangnya kesejahteraan, rasa aman, lapangan pekerjaan.

Semua ini terjadi, karena janji Pemerintahan SBY di masa kampanye belum terealisasi. Sebagai contoh kecil, tidak adanya kesenangan dan kehormatan bersama. Di sana sini, rakyat semakin sensara. Yang paling anyar, kekerasan mengatasnamakan agama terus terjadi tanpa ada peran negara mencegahnya.

Ketidakhadiran negara dalam persoalan rakyatnya, mulai dipermasalahkan dari tingkat nasional, regional, sampai tingkat lokal. Partisipasi negara di tengah masyarakat tanpa arah. Hukum hanya diperuntukan bagi masyarakat kecil yang tak bersinggungan dengan kekuasaan. Hukum menjadi bulan-bulanan kekuasaan, dan berefek pada kekerasan menjadi komoditas, uang menjadi penguasa yang sebenarnya. Tontonan Cikeusik dan Temanggung hanyalah potret kecil dari kegundahan peran negara.

Ke depannya, banyak permasalah vital yang segera dibereskan, di antaranya persoalan korupsi. Beberapa waktu lalu diselenggarakan sebuah seminar yang membahas bahaya laten korupsi. Dalam seminar itu dijelaskan bahwa korupsi virus utama pembunuh pembangunan demokrasi yang memiskinkan. Keterlibatannya 155 pejabat daerah pada korupsi sebagai sinyal bahwa Indonesia ‘segera’ jadi negara gagal? Juga pembuktian tesis Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korupsi (power tends to corrupt) di lini kita.

Di tengah kegundahan kita soal korupsi, ada sedikit harapan segar dari komunikasi politik yang dibangun oleh pemerintah pusat. Melalui Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan akan mengesahkan aturan yang memiskinkan koruptor. Semua harta para koruptor jadi milik Negara. Aturan tersebut nantinya, janji pemerintah, untuk memberi efek jerah dan pencegahan tka terulang kembali.

Kita tunggu saja regulasi berjalan apik di negeri ini. Harapan kita, semoga menjadi kenyataan. Dan tidak hanya menjadi retorika pengelabuan rakyat semata. Apalagi menina-bobokan kita agar keresahan yang membuncah ini sedikit riles. Kita belum tahu apa ini sebuah retorika pemerintah seperti yang kerap dilakukannya? Atau ini sebuah sandiwara politik? Kita lihat saja nanti hasilnya. Selamat berharap-harap cemas rakyatku!

Catatan: Terakhir, rentetan musibah kegagalan negara terpampang jelas di depan kita. Aparat pemerintah baik eksekutif, legislatif, yudikatif--pusat dan daerah--tak menjalankan tugas diempan negara padanya. Mereka masih menganggap jabatan yang dipikul tak disadari sebagai bentuk akuntabilitas seseorang suatu hari kelak.

Habibi Mahabbah, Mantan Pengurus PB HMI MPO




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline