Lihat ke Halaman Asli

Haaniyah

Mahasiswa

Perlu Pencegahan Sejak Dini, Kekerasan Seksual Mempersempit Ruang Aman

Diperbarui: 26 Desember 2021   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Kasus kekerasan seksual banyak didengar akhir-akhir ini . Munculnya kasus-kasus kekerasan seksual ke permukaan berhasil membuka mata kita bahwa kasus tersebut seperti gunung es dimana angka yang tertera bukanlah angka sebenarnya. Kekerasan seksual tidak mengenal gender, perempuan maupun laki-laki bisa menjadi korban para pelaku kekerasan seksual. Menurut studi kuantitatif yang dilakukan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan Internasional NGO Forum on Indonesia Development (INFID) terdapat 33,3 % laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual, sedangkan 66,7% kekerasan seksual dialami oleh perempuan. Kekerasan seksual juga tidak mengenal usia, dapat dilihat dari banyaknya kasus yang sudah maupun sedang muncul. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan korbannya bukan hanya orang dewasa melainkan juga anak-anak bahkan balita yang menjadi sasaran para pelaku kekerasan seksual. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap anak mendominasi saat pandemic Covid-19, setidaknya terdapat 419 kasus kekerasan seksual, seperti pemerkosaan dan pencabulan terhadap anak.

Kekerasan seksual terhadap anak (KSA) sering terjadi dikarenakan korban memiliki kelemahan fisik dan ketergantungan dengan orang dewasa. Ironisnya banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak pelakunya merupakan orang terdekat korban, seperti orang dalam keluarga, orang dalam lingkungan sosial atau bahkan dalam lingkungan pendidikan. Semakin maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak menunjukkan bahwa semakin sulit dan sempit untuk menemukan ruang yang aman bagi mereka. Kekerasan seksual pada anak dapat berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. KSA dapat menimbulkan gangguan mental dari korban, seperti putus asa, penyakit psikosomatis, depresi, kecemasan, usaha bunuh diri dan prestasi yang buruk (Cecen-erogul, dkk., 2015; Utami, dkk., 2018).

Sebelum ini, kasus-kasus kekerasan seksual jarang terekspos dikarenakan korban tidak tahu harus melapor kepada siapa, masih adanya anggap tabu, dan kesalahan dialihkan kepada korban alih-alih kepada pelaku serta adanya rasa malu jika ada orang lain mengetahui sehingga korban enggan untuk melapor. Namun, dengan adanya para penyintas pemberani yang tegas dalam bersikap, kasus-kasus ini pun mulai muncul ke permukaan dan direspon positif oleh masyarakat maupun pemerintah yang dapat dilihat dengan makin banyak sosialisasi tentang kekerasan seksual, adanya rencana pengesahan Permendikbud dan dukungan moral via online.

Penanganan kasus kekerasan seksual pada saat ini sudah mulai membaik dengan diperhatikannya para korban dan pro terhadap korban. Namun, kasus kekerasan seksual bukan hanya membutuhkan penanganan yang baik melainkan juga memerlukan pencegahan yang baik dan efektif sehingga kasus-kasus seperti ini diharapkan tidak terjadi lagi. Pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual harus dilakukan oleh semua orang dan harus dilakukan sejak dini mengingat anak-anak pun dapat menjadi korbannya.

Pencegahan kekerasan dan pelecehan terhadap anak dapat melalui program “Aku Mandiri”. Program ini merupakan psikoedukasi pencegahan KSA yang dapat diberikan pada usia anak pra sekolah dengan berbagai metode. Program ini penting karena tanpa pengetahuan anak tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa perlakuan orang yang menyentuh bagian pribadi anak adalah perlakuan yang salah. Psikoedukasi pencegahan kekerasan seksual ini dapat meningkatkan keterampilan keselamatan pribadi anak sehingga anak mampu menghadapi tantangan tertentu dalam tiap tingkat perkembangannya. Psikoedukasi bertujuan untuk memberdayakan anak-anak dengan mendidik mereka tentang konsep yang relevan mengenai kekerasan seksual anak (Erogul & Hasirci, 2013; Kim & Kang, 2016). Adapun Kenny (2009), menambahkan psikoedukasi membantu anak-anak menyadari berbagai situasi pelecehan serta untuk mengembangkan strategi yang sesuai yang memungkinkan mereka untuk melawan pelecehan seksual.

Dalam proses memberikan psikoedukasi harus memperhatikan cara dalam penyampaian materinya. Pengajar seksual diharuskan menggunakan bahasa yang tidak terlalu vulgar dengan masih dipahami anak, menggunakan metode dan materi yang sesuai usia anak dan memberikan pengajaran seksual disertai dengan pendidikan moral dan norma agama. Erogul dan Hasirci (2013) memberikan program psikoedukasi pencegahan kekerasan seksual pada siswa kelas 4 SD selama 4 hari dengan tema: ‘hak-hak pribadi’, ‘tubuh saya milik saya’, ‘sentuhan buruk dan sentuhan baik, ‘melanggar janji’, ‘aturan keselamatan tubuh’, ‘mengatakan “tidak” dan rahasia buruk’, ‘melaporkan pada orang dewasa yang dipercaya’ dan ‘pelecehan seksual bukanlah kesalahan anak’. Hasil dari anak-anak yang mengikuti kelas psikoedukasi tersebut mendapatkan skor ‘pengetahuan dan keterampilan siswa untuk melindung diri dari kekerasan seksual’ jauh lebih tinggi dari pada kelompok kontrol.

Program “Aku Mandiri” dapat dilaksanakan dengan berbagai media dan pendekatan yang dirasa sesuai dengan usia anak-anak tersebut, misal kartu “ya atau tidak”. Pengungkapan upaya pencegahan seksual juga dapat digambarkan melalui permainan, pertunjukkan boneka, dan drama. Penyampaian setiap tema dapat dilakukan dengan lebih dari satu cara agar menempel di memori anak. Dalam penyelenggaran program ini guru diharapkan memiliki pengetahuan seperti mengetahui mulai dari mana dan dengan cara apa menyampaikannya.

Selain program di atas terdapat juga program yang memiliki tujuan yang sama hanya berbeda pada penamaannya, yaitu program “Aku dan Kamu”. Program ini sebagai pendidikan kecakapan hidup sosial dengan melalui pengetahuan anak tentang seksualitas, kesehatan reproduksi dan upaya menjaga diri anak terhadap ancaman kekerasan seksual pada anak, sikap positif anak terhadap penghargaan diri dan orang lain serta keterampilan anak berkomunikasi tentang seksualitas, bersosialisasi, memelihara dan menjaga diri.

Kedua program tersebut menunjukkan perhatiannya terhadap maraknya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak. Program tersebut telah berjalan dengan baik seperti studi yang telah dilakukan oleh Utami dan Tri (2018) pada Taman Kanak-Kanak (TK) gugus Nusa Indah, bahwa 7 dari 15 siswa menyebut alat kelamin laki-laki dengan sebutan “burung” dan 5 orang menyebut dengan “titit” sedangkan 3 lainnya hanya diam saja. Adapun 8 dari 15 siswi menyebut kelamin perempuan dengan sebutan “nunuk”, 4 siswi menyebut “bebek” dan 3 siswi mengatakan “dompet”. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan mereka yang berkaitan dengan seksual. Namun, di lain tempat tepatnya di Gampong Jawa yang rentan terhadap kekerasan seksual, menghasilkan bahwa psikoedukasi ini hanya meningkatkan kemampuan dalam melindungi diri dari kekerasan seksual, namun tidak meningkatkan pengetahuan. Perbedaan ini menunjukkan bahwa hasil dari program ini tidak akan selalu sama. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan pada karakteristik siswa, lingkungan sosial dan iklim sekolah mereka. Terdapat siswa yang belajar hanya sekadar mengikuti pembelajaran tanpa mengambil nilai baik buruknya dari pembelajaran tersebut. Faktor lingkungan pun memengaruhi, ada lingkungan yang kurang menstimulasi mereka sehingga mereka tidak belajar kembali materi yang telah diajarkan dan pengetahuan mereka menjadi kurang. Hal tersebut tidak menunjukkan kegagalan program ini, hanya saja pernyataan bahwa pengetahuan akan meningkatkan keterampilan proteksi mereka itu tidak bisa dibuktikan secara keseluruhan. Seperti pernyataan di atas bahwa terdapat anak yang tetap memiliki keterampilan untuk melindungi dirinya meskipun pengetahuannya kurang,

Oleh karena itu, dalam menyelenggarakan program tersebut harus memperhatikan bagaimana anak tertarik dengan apa yang akan disampaikan sehingga anak dapat fokus dan materi dapat lekat dalam memorinya. Psikoedukasi juga harus berproses pada kognitif, afektif dan psikomotor sehingga efektif meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa saat diajarkan. Program tersebut juga akan lebih berjalan dengan baik apabila dimasukkan ke dalam program pemerintah sehingga memiliki kurikulum yang sama dan dapat diawasi dengan indikator yang terstruktur pula serta dapat ditemukan di setiap sekolah kanak-kanak maupun dasar bukan hanya di segelintir sekolah tertentu.

Selain itu, peran orang tua pun juga penting karena jika orang tuanya menganggap hal tersebut tidak penting maka anak pun akan beranggapan yang sama sehingga perlu dukungan orang tua dengan cara membantu anak mengingat-ingat kembali bagian-bagian tubuh mereka dan mencoba melatih anak secara mandiri apakah anak sudah memahami makna sentuhan baik mana sentuhan yang buruk. Adapun orang tua harus memperhatikan perilaku mereka, kerap kali ada orang tua yang berhubungan seks tanpa memperhatikan kemungkinan kehadiran anak. Hal tersebut akan membangun persepsi yang salah pada anak terlebih jika tidak dijelaskan khawatir anak akan menganggap hal itu adalah perilaku yang wajar tanpa mengetahui itu hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu. Orang tua juga harus memiliki kedekatan yang baik dan menjadi tempat kepercayaan anak agar anak dapat terbuka kepada orang tua pada setiap kejadian yang dialaminya, kerap kali anak lebih suka bercerita pada temannya atau bahkan orang yang tidak dapat dipercaya dibandingkan kepada orang tuanya karena alasan-alasan tertentu, misal kesibukan orang tua. Pengawasan penggunaan handphone pun diperlukan, tidak jarang anak-anak sudah memiliki handphone sendiri sebagai pengenalan teknologi padanya namun harus juga dibarengi dengan pengawasan orang tua, terlebih saat ini sudah banyak fitur-fitur khusus anak yang memudahkan pengawasan orang tua dan memfilter informasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline