Lihat ke Halaman Asli

Mereka Mengaku sebagai "Anak Jalanan"

Diperbarui: 1 Januari 2016   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya tinggal di sebuah daerah yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, para kepala rumah tangga menghidupi keluarganya dengan bertanam padi saat musim penghujan tiba, dan beralih ke Jagung atau aneka palawija saat musim kemarau menyapa. Agar dapur tetap bisa mengepul dan anak tetap bisa “sangu” saat berangkat sekolah, para orang tua menunjang ekonomi keluarga dengan beternak sapi, kambing dan aneka unggas. Kehidupan masyarakat desa sangat bersahaja, bergelimang rasa syukur dan berlimpahkan suka cita, tak ada dalam kamus hidup mereka istilah “mengikuti trend Fashion”.

Jika hasil panen sedang bagus dan harga jual panen di pasaran sedang melonjak, sebenarnya perkara mudah bagi para petani membeli barang-barang elektronik keluaran terbaru, atau pakaian-pakain branded. Tapi sejauh yang saya tau, Masyarakat desa lebih memilih membeli tanah atau hewan ternak jika mereka memiliki uang berlebih dari hasil panen. Sebab itulah tak sedikit dari warga desa yang memiliki sawah yang luas dan hewan ternak yang bejibun jumlahnya.

Namun semuanya berubah saat Negara api menyerang, tiba-tiba saja masyarakat desa secara bergantian membeli motor-motor “Mahal”. Dalam kurun sebulan terakhir saja, mobil bak terbuka dari Dealer lebih dari sepuluh kali keluar masuk desa mengantarkan Motor-motor “Mahal” tersebut ke rumah-rumah warga. Berdasarkan informasi yang berhasil saya himpun dari forum ibu-ibu arisan yang saya ikuti, beberapa motor memang di beli secara cash, tapi sebagian yang lain dibeli dengan sistem kredit. Tapi baik cash maupun kredit uangnya diperoleh para warga dari menjual sapi atau menyewakan sawah untuk digarap orang lain.

Selama ini warga desa tentu saja telah memiliki kendaraan sepeda motor, bahkan sebagian besar memiliki sepeda motor lebih dari satu sesuai dengan kebutuhan keluarga tersebut. Tapi kebanyakan kendaraan tersebut hanya sebatas untuk menunjuang mobilitas ke sawah atau keperluan sehari-hari, tak perlu mahal dan keren. Fenomena beberapa warga desa yang membeli motor-motor mahal yang harganya puluhan Juta merupakan hal baru, motor tidak lagi sekedar sarana transportasi, tapi lebih pada upaya adu gengsi (penanda kelas sosial) dan “mengikuti Trend”, biar kekinian.

Bukan itu saja, perubahan juga terjadi pada anak-anak kecil yang menjadi partner belajar saya di Masjid. Biasanya Selepas sholat magrib saya menemani mereka belajar membaca Al-Qur’an, atau tata cara berwudlu dan sholat. Kegiatan seperti ini biasanya baru berakhir saat waktu Isya’ tiba, setelah sholat jama’ah mereka baru pulang ke rumah masing-masing. Tapi belakangan anak-anak itu sering meminta saya mengakhiri kegiatan lebih awal, tampaknya mereka menemukan kenyamanan dari orang lain selain saya, saya menduga ada orang ketiga, yang mungkin lebih ganteng dari saya. #Uhuuk. Intensitas perkelahian diantara anak laki-laki juga meningkat signifikan, awalnya hanya adegan perang-perangan biasa, tapi sering kali berakhir baku hantam dan berujung menangisnya salah satu pihak.

Setelah melalui proses perenungan yang panjang dan olah pikir yang tidak sederhana, saya merasa telah menemukan penyebabnya. Tak sia-sia saya selalu bangun di seperti malam, untuk pipis dan nonton pertandingan sepak bola. Tuhan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergelayut di kepala, tentang siapa perempuan beruntung yang akan melahirkan anak saya, eh maksud saya tentang Fenomena-fenomena yang terjadi di desa.

Ada sebuah sinetron yang tayang di “Prime Time” yang berhasil mengambil hati masyarakat desa. Sinetron yang didominasi aedgan percintaan remaja, perkelahian, balapan, permusuhan, intrik dan hal-hal tidak beradab lainya.

Pemirsa setianya rancak dari anak-anak usia TK sampai Emak-Emak lanjut usia. Sinetron, sebagaimana semua hal yang disampaikan berulang-ulang, meskipun itu sebuah pembodohan, akan diterima sebagai kebenaran, akan masuk ke alam bawah sadar dan mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir pemirsanya. Warga desa menjadi merasa perlu membeli motor-motor mahal sebagaimana yang ada pada sinetron tersebut, anak laki-laki gemar berkelahi sebagai penanda maskulinitas seperti halnya yang ditunjukan sinetron tersebut.

Jika benar pemerintah berkeinginan memperbaiki kualitas Sumber daya manusia di negri ini, pemerintah tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk mengkampanyekan gerakan #revolusimental, cukup dengan memperbaiki kualitas tayangan pertelevisian saja. Cukup dengan menguatkan dan membenahi peran KPI saja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline