Walaupun masih sekitar 1.5 tahun lagi Pemilihan Presiden akan digelar, tetapi partai -- partai politik sudah mulai memanaskan mesin politiknya. Hal ini tentunya mengantisipasi syarat untuk dapat mencalonkan Presiden di 2024 nanti. Semua partai kecuali PDI --P harus menjalin koalisi untuk dapat meraih tiket mencalonkan Presiden. Syarat minimal 20 persen perolehan suara di pemilu sebelumnya membuat partai partai harus melakukan penjajakan guna membangun koalisi.
Begitu juga Partai Demokrat (PD) yang pada pemilu 2019 "hanya" mendapatkan 7,77 persen suara saja. Partai Demokrat sadar dengan perolehan suara tersebut mereka bukan dalam posisi tawar yang tinggi. Mau tidak mau Partai Demokrat harus berinisiatif mencari teman koalisi.
PD pada akhirnya menemukan kawan koalisi yang dianggapnya sejalan, sepemikiran serta paling mungkin untuk diajak kerja sama. PD di bawah kepempimpinan Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY) jelas mempunyai dua kepentingan yang saling terikat dan tidak dapat terpisahkan yakni meningkatkan perolehan suara Partai yang semenjak Pak SBY turun suara PD juga turun serta yang kedua adalah mencalonkan AHY sebagai salah satu capres/cawapres yang diusulkan oleh mitra koalisi.
Dengan membawa dua tujuan tersebut maka berkoalisi dengan Partai Nasdem serta Partai Keadilan Sejahtera I PKS) dianggap oleh PD sebagai jalan terbaik saat ini. Walaupun dibeberapa kesempatan AHY beserta jajarannya menekankan bahwa tidak menutup kemungkinan berkoalisi dengan partai lain.
Setiap partai tentunya mempunyai strategi masing masing yang pada intinya adalah dapat memegang kekuasaan sebanyak sebanyak. tak terkecuali Nasdem dan PKS. Yang jadi persoalan bagi dua partai tersebut adalah mereka punya suara tapi tidak punya figure yang dapat dijual dari intern partai mereka.
Presiden PKS serta Ketua Umum Nasdem tidak menjual untuk dijadikan capres maupun cawapres. Mereka berdua malah sepakat untuk menggandeng Anies Bawesdan yang notabene tokoh non partai menjadi capres mereka. Hal ini tak lepas dari elektabilitas yang dimiliki Gubernur DKI Jakarta itu yang selalu masuk dalam 3 besar hasil survey nasional.
PD melihat hal ini sebagi peluang yang sangat bagus. Menduetkan Anies -- AHY seakan sangat pas dan cocok untuk PD. Bahkan dibeberapa kesempatan pengurus partai sudah mempromosikan bahwa kalau duet Anies dan AHY ini bakal menang mudah kalau dipasangakan.
Dengan dipasangkannya Anies dan AHY sebenarnya kepentingan PD bukan pada kemenangan Anies tetapi pada peningkatan suara PD sendiri serta nama AHY yang akan terus menerus menggema sepanjang masa kampanye. Kalau bahasa kerennya PD akan mendapatkan coattail effect ( efek ujung jas) terbesar kalau duet ini jadi terlaksana. Maka dengan dalih apapun syarat PD masuk ke koalisi adalah menjadikan AHY sebagai cawapres Anies.
PKS dan Nasdem tentunya bukan tidak menyadari hal ini. Kalau PKS tentunya akan berjuang mati matian seperti pada saat pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta lalu. PKS sudah merasa bahwa Anies itu "kader" mereka tanpa harus mendapatkan kartu anggota. Secara psiologis orang pun dapat melihat kedekatan PKS dan Anies.
Yang berat untuk dapat menggolkan koalisi ini kalau PD tetap bersikeras mengajukan AHY tentu saja Nasdem. Nasdem adalah yang paling kecil mendapatkan pengaruh dari duet ini, Padahal Nasdem adalah pemimpin di koalisi ini kalau melihat jumlah persentase suara yang didapat. Berurutan adalah Nasdem (9,05 %), PKS ( 8,21 %), PD ( 7,77%). Tujuan Nasdem adalah jelas untuk memenangkan pilpres bukan meningkatkan jumlah suara mereka.
Nasdem ingin menjadikan Anies dan pasangannya memmpunyai peluang yang besar untuk memenangkan kompetisi. Bukan sekedar penggembira atau cuma program antara saja.