Lihat ke Halaman Asli

Leonardi Gunawan

TERVERIFIKASI

Karyawan

Siaran Langsung F1, Siapa yang Masih Menonton?

Diperbarui: 21 September 2016   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: cubanosporelmundo.com

Balapan Mobil Formula 1 (F1) menurut beberapa pengamat adalah puncak dari pergelaran olahraga otomotif dunia. Kalau di sepak bola ada piala dunia maka di otomotif ada balapan F1, begitulah kira–kira gambarannya. Setidaknya ada 3 faktor menurut penulis yang mendukung pernyataan tersebut;

Pertama sebut saja dari teknologi yang dipakai, di dalam F1 semua komponen yang dipakai boleh dibilang best of the best dari yang ada di dunia otomotif. Dari teknologi ban, mesin, bahan bakar, sampai helm pembalap adalah yang terbaik. Ukuran ketepatan waktu bukan lagi detik tapi seperseribu detik. Sangat–sangat detail.

Kedua tentu saja dibutuhkan skill membalap di atas rata–rata untuk menjadi pembalap F1, syarat utama tentunya lulus ujian mendapatkan super license untuk mengendarai mobil F1. Sebelum mendapatkan SIM pembalap yang ingin terjun di F1 biasanya di gembleng dengan jenjang balapan yang tidak mudah; dari juara regional terus ke level GP3, GP2 untuk seterusnya kalau beruntung bisa mencicipi kokpit F1. Selama semusim jumlah pembalap berkisar antara 22-25 orang (termasuk pembalap cadangan). Tentu tidak banyak, bahkan ada joke yang mengatakan bahwa jumlah pembalap F1 dibandingkan dengan jumlah astronot, lebih banyak astronot di muka bumi ini.

Ketiga tentu saja berbicara uang. Perputaran uang di lintasan F1 sangat–sangat besar. Indikasi paling gampang adalah nilai akuisisi penyelenggaraan F1 baru–baru yang berkisar di nilai 57,61 triliun rupiah. Sebuah angka yang fantastis. Dan tercatat sebagai nilai transaksi terbesar dalam sejarah olahraga. Dari mana F1 bisa begitu bernilai? Saat ini dua hal yang pasti adalah dari sponsor dan hak siar.

Entah cuma perasaan penulis atau memang kenyataan yang sedang terjadi saat ini, balapan F1 semakin hari semakin tidak menarik untuk ditonton. Memang sempat ada gairah baru saat pembalap kita Rio Haryanto membalap pada awal musim. Tetapi setelah berjalan setengah musim saat kontrak Rio diputus ditambah dengan performa Tim Rio yang memang tim papan bawah. Gairah untuk menonton F1 kembali berkurang.

Beberapa faktor yang membuat minat / gairah menonton F1 berkurang adalah:

  • Adanya tim yang terlalu dominan. Tim Mercedes dengan duonya Lewis Hamilton dan Nico Rosberg seakan membalap untuk diri mereka sendiri. Dari 15 seri yang sudah berlangsung Tim Mercedes meraih 14 kemenangan dan hanya gagal pada balapan di spanyol tak kala Max Verstappen berhasil muncul sebagai juara. Dengan adanya tim yang sangat dominan ini membuat jalannya balapan tidak lagi menarik. Apalagi kalau dibandingkan dengan pagelaran Moto GP. Kita sudah jarang melihat overtaking yang membuat napas berhenti atau saling ngotot memperebutkan juara 1. Yang ada bisanya hanya balapan seru untuk memperebutkan posisi 3 sampai 5. Untuk 1 dan 2 biasanya sudah diketahui bahkan saat balapan baru berjalan setengah. Untuk penonton jelas hal ini sudah tidak menarik lagi,

  • Di F1 sudah tidak ada sosok 'jagoan'. Sepeninggalan Michael Schumacher rasa-rasanya belum ada pembalap yang menandingi kharisma beliau. Sama seperti kalau kita nonton Moto GP kalau tidak ada Rossi, hambar. Entah mau di pihak yang suka atau tidak suka. Cara mereka menaklukkan sirkuit dan meraih kemenangan sangat berkelas dan menjadi tontonan menarik. Terus terang saat ini tontonan seperti itu tidak ada lagi atau jarang ada. Lewis, Nico , Vettel memang pembalap hebat tapi kharisma mereka masih jauh dibawah Schummy. Mereka hanya seorang pembalap bukan seorang entertain. Padahal pergelaran F1 sejatinya adalah hiburan untuk dinikmati. Apa yang perlu dinikmati kalau umur balapan baru setengah yang memimpin lomba sudah unggul 20 detik? Ganti channel. Liat pas mau penyerahan piala, terus berguman…ahh dia lagi–dia lagi....
  • Pangsa Asia dan Afrika yang belum terjamah. Karena F1 adalah 50 persen olahraga 50 persen hiburan. Seharusnyalah keinginan penikmat balapan terakomodasi. Saat ini negara Asia hanya dijadikan tempat singgah saja untuk mereka beradu balap. Tim pabrikan Asia memang belum ada yang full untuk musim ini. Keterwakilannya diwakili oleh Honda yang tergabung dengan Mclaren Honda. Padahal sebenarnya pengembangan mesin seharusnya kawasan Asia perlu dilibatkan. Ada Produsen seperti: Toyota, Hyundai, Mazda, dari India ada Tata. Memang tidak mudah dan tidak murah untuk menuju ke sana, tapi setidaknya harus dicari solusi agar merk Asia terwakili. Di atas kita bicara mesin. Belum lagi kita bicara pembalap. Musim ini setelah Rio didepak dari Manor, praktis tidak ada pembalap Asia yang berlaga di F1. Ironis karena di kawasan Asia sendiri terdapat 6 kawasan yang dijadikan ajang balapan (China, Bahrain, Singapore, Malaysia, Japan, Abu Dhabi) ditambah Australia. Harusnyalah agar F1 kembali bergairah, selain dijadikan ajang menggelar balapan. Para penyelenggara F1 memikirkan bagaimana kawasan Asia dapat terwakili di dalamnya baik dari mesin maupun pembalap. Karena apa? Karena yakinlah penonton/fanbase pembalap tersebut kalau benar berlaga. Fanbase serang pembalap bisa mengalahkan fanbase untuk satu tim besar,

  • Pasar Afrika? Entahlah kapan mau digarap. Penyelenggara F1 harus membuka diri seperti halnya FIFA memberi kesempatan kepada seluruh negara agar terwakili. Mereka bahkan berani semakin memangkas jumlah negara Eropa dan Amerika Latin yang berlaga di Piala Dunia. Kuota mereka diganti dengan negara Asia dan Afrika. Kadang antara untuk menyeimbangkan antara kualitas dan aspek bisnis salah satu harus dikobarkan,

  • Regulasi/peraturan yang belum sempurna. Sempat di awal musim ini dilakukan 'trial' untuk sesi kualifikasi menggunakan format baru. Tetapi bukannya mendapatkan hasil positif malah menjadi semacam blunder bagi F1 sendiri. Selain membingungkan juga tidak efektif. Memang tidak mudah untuk menyeimbangkan antara kemampuan mesin dan manusia. Kalau terlalu dibatasi pengembangan mesin. F1 sebagai olahraga prestesius menjadi kurang gaungnya tapi kalau tidak dibatasi tim–tim yang baru terbentuk dan sumber keuangannya terbatas tentunya makin jauh tertinggal di belakang. Penulis tidak bisa memberikan opini untuk regulasi ini. Tetapi sebagai gambaran yang tepat adalah di ajang GP2 siapa yang menjadi juara di Future Race akan start di nomor delapan pada sprint race. Di sana jelas adalah untuk melihat bagaimana skill pembalap tersebut. Mesin memang perlu tapi kemampuan pembalap juga diperlukan.

Masih ada 6 seri ke depan yang akan digelar. Siapa juara umum? Siapa juara konstruktor keliatannya sudah tidak menarik untuk dibahas. Yang menarik untuk dibahas dan dicari beritanya bagi penggemar F1 di Indonesia tentunya di musim depan 2017, Rio Haryanto membalap lagi atau tidak ya? Kalau membalap di tim apa? Terus terang kalau tidak ada berita Rio, maka berita seputaran F1 malas untuk dibaca. Hasil tiap kualifikasi, race, klasemen. Ya itu–itu saja orang dan timnya.

Daripada nonton F1 mari kita nonton PON, walaupun gambarnya agak–agak di blur, tapi tidak apa–apa… Jadi penasaran khan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline