Kepemimpinan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta seolah membuka mata kita tentang bagaimana seharusnya pemimpin yang berorientasi melayani masyarakat. Banyak cibiran hujatan bahkan makian yang ditujukan kepada Ahok. Sebagian yang mengerti cuma akan tersenyum sambil geleng – geleng kepala melihat mereka – mereka yang belum juga bisa menerima perubahan, bahwa dunia “nikmat” yang selama ini telah mereka nikmati perlahan namun pasti akan berakhir. Tetapi ada pula yang secara membabi buta justru menyalahkan langkah yang dipilih oleh Ahok. Resistensi terbesar tentunya dari kalangan parpol yang selama ini berlindung pada anggotanya di DPRD , dimana DPRD mempunyai posisi tawar yang tinggi terhadap kebijakan yang dikeluarkan Gubernur. Semua harus lewat DPRD dan semua tentu ada biayanya. Begitulah yang terjadi selama ini.
Langkah–langkah yang diambil Ahok menurut penulis termasuk ekstrim dan mungkin kalau ini dipraktekan 10-15 tahun yang lalu akan disebut Gubernur gila, tidak masuk akal, dan lain sebagainya, intinya tidak mungkin terlaksana. Tetapi itulah Ahok dengan sikapnya yang tidak ada komrpomi, satu persatu masalah di Jakarta coba diuraikan, tidak gampang memang, tangan besi harus dikeluarkan, umpatan kadang harus juga keluar, bahkan kata–kata yang tidak pantas harus juga dikelurkan dari mulut seorang Gubernur. Karena melihat betapa bobroknya pelayanan pemerintah kepada masyarakat, termasuk juga didalamnya korupsi yang telah begitu mengakar di internal jajarannya. Satu persatu coba dibenahi, tentunya hal ini tidak lepas dari dukungan pusat, yang kita tau Presiden pasti akan memback up dibelakangnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah dengan adanya fenomena seperti Ahok ini, bagaimana dengan pemerintahan daerah lainnya? Khususnya yang dil uar Jakarta dan di luar Jawa? Mungkin sebagian masyarakatnya di luar jawa merindukan gaya kepepimpinan Ahok guna menyelesaikan masalah di daerahnya. Karena mereka melihat kepala–kepala daerah yang sekarang tidak/belum menunjukkan perubahan apa–apa , tidak ada terobosan yang bisa membuat masyarakatnya bangga. Mungkin terlalu ekstrim kalau gaya kepepimpinan Ahok dipakai di daerah Aceh misalnya. Tetapi percayalah masyarakat dimanapun pasti ingin pemimpin yang tegas, mau melayani masyarakat dan yang terpenting jujur, tidak korupsi. Dengan adanya 3 hal tersebut maka barulah bisa dibuat program–program yang benar–benar membawa perubahan di masyarakat.
Kalau bicara tentang perencanaan atau konsep tentunya semua daerah sudah mempunyai, kalaupun belum tinggal hubungi perguruan tinggi yang ada disana, pastinya semua konsep tinggal dibahas dan dimatangkan oleh para akademisi yang ada disana. Masalah terbesar adalah pada keberanian untuk mengeksekusi dan menjalankan itu semua. Bagaimana mau berantas korupsi kalau kepala daerahnya malah diurutan pertama dalam memperkaya diri sendiri? Begitulah logikanya.
Beberapa program Ahok yang sebenarnya sangat sederhana dan mempunyai dampak langsung kepada masyarakat dan ini sebenarnya dapat diikuti oleh pemimpin daerah lainnya, penulis ambil beberapa contoh program/kebijakan tersebut:
1. Perubahan Wajah Kantor Kelurahan/Kecamatan.
Sederhana dan nampak sepele sekali, tetapi inilah yang kadang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Kelurahan dan kecamatan inilah sebenarnya ujung tombak pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Hampir semua dari kita kalau membayangkan urusan dengan instansi ini pastinya adalah ribet, lama, penuh pungli, pokoknya dak jelas deh. Disinilah letak ketegasan Ahok untuk membenahi pelayanan kepada masyrakat. Yang pertama tentunya wajah kantor dulu harus dibenahi, kalau bisa wajahnya harus mendekati kantor bank swasta, bersih, ramah, senyuman, serta kejelasan prosedur. Mau bukti sekarang? cobalah tanya warga Jakarta bagaimana sekarang berurusan dengan instansi ini saat ini, pasti jawabnnya sebagian besar akan berbeda dengan persepsi kita. Terus kalau ada ganjalan mereka tinggal sms ke nomor aduan. Semua hal itu tidak lepas dari sistem yang dibuat oleh Ahok. Terkontrol semua. Nah kepala daerah lain? Apakah sudah ada nomor telepon yang dibagikan ke masyakarat untuk aduan? Atau pernahkah melihat pelayanan langsung di kelurahan atau kecamatan?
2. Parkir Menggunakan Parkir Meter.
Pendapat parkir di Jakarta sangat besar. Tetapi kehilangan dana dari sana juga besar. Intinya seharunya dapat 10 ini yang didapat masuk ke kas daerah cuma 1, yang 9 entah kemana. Ahok menyadari itu, dia sadar banyak pihak yang berkepentingan akan lahan emas ini. Dari jajarannya sendiri, para preman, maupun tokoh – tokoh setempat. Maka daripada harus berantem face to face dengan mereka dipasanglah Paking meter yang dilengkapi cctv untuk dapat memaksimalkan dana pendapatan dari parkit. Dan hasinya seperti sudah diduga, sangat luar biasa. Naik lebih dari 100% dari pendapatkan yang didapat dengan sistem setoran. Mungkin memang awalnya investasi yang dikeluarkan akan terasa besar dengan membeli peralatannya tapi itu akan tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan pendapatan yang akan diperoleh. Nah untuk daerah lain? Kapan kepala daerah berani memasang parkir meter? Atau masih takut sama pemegang lahannya? Atau takut kehilangan suara didaerah itu gara – gara tidak mendapat dukungan tuan tanah setempat?