Aneh tapi nyata, saat menuduh kalangan lain sebagai kalangan yang anti madzhab karena menyelisihi pendapat mu'tamad, sementara untuk menjustifikasi khosois "Nusantara" maka boleh mengambil pendapat yg menyelisihi pendapat mu'tamad Madzhab. Nyata tapi aneh, saat Islam Nusantara itu boleh menyatakan diri bukan "Madzhab" sementara diwaktu yang sama untuk kalangan lain, pernyataan "bukan madzhab" itu harus di artikan "Madzhab" sempalan. Jikalau begitu, lantas dimana "bebas nilai" yg dimaksud itu?.
Saat kerja "tempel-salin" nuqilan al-Umm, Umdatu As-Salik, Safinatun Naja, Matan Abu Suja, dst dijadikan justifikasi "pandangan soal 'Urf" dengan style yg katanya sesuai kaidah "ilhaqul masail bi nazhairiha", lantas kesimpulannya tersebut diklaim sebagai bagian dari Syafi'iyah, absurdnya saat justifikasi yang dibuat ternyata "tafarrud" dgn "at-Tahqiq"-nya an-Nawawi maka kemudian dicarikan udzur khilafiyah dalam ber-Madzhab dengan menuqilkan perkataan al-Haitami.
Model argumen yang unik, menyelisihi kaidah ber-Madzhab sebab jelas al-Haitami sendiri dalam "Tuhfatu Al-Muhtaj" bekerja keras meneliti, menelaah, melakukan tahdzib, tanqih, tahrir derajat kitab asy-Syaikhan untuk mencari kitab yang paling mu'tamad sehingga menyimpulkan "at-Tahqiq"-nya an-Nawawi sebagai referensi paling mu'tamad dalam ber-Madzhab.
Saat Ibn Abbas r.a. (yang diriwayatkan oleh Al Bukhoriy) menjelaskan tentang "Kitab Purba" [QS Nuh : 23] yang bicara soal asal muasal Paganisme; muncul diawali dari pemuliaan orang-orang shalih era Nuh a.s. Kini, kaum Sophist Nusantara mengajarkan kembali logika generasi pagan itu dengan idiom; "Syirik tidak terletak pada benda, tapi pada apa yg kau pikirkan tentangnya".
Dengan mantra itu, pemujaan berhala baik itu benda ataupun manusia dianggap syah karena hanya berfungsi sebagai perantara menuju "Rahmah" Tuhan..lama-kelamaan bisa jadi nantinya ada poster besar istighosah beribu manusia berbaju santri dengan latar tulisan; "Ngalap berkahnya Kyai Sadrakh, sang penggembala yang tercerahkan kasih Tuhan..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H