Lihat ke Halaman Asli

#Palestina, Logical Fallacy & Sikap Rasis atas Nama Kebebasan

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

#PARADOKS. Moto "Kami BEBAS Menyuarakan KEBEBASAN" menjadi sebuah "Senjata" untuk menembak siapa saja kalangan yang tidak sesuai dengan "nilai" yang mereka anut. Moto tersebut sekandung dengan moto "Dilarang Melarang" yang biasa dengungkan manusia yang telah kehilangan fitrah akal dan nurani sehatnya. Moto-moto di atas dalam filsafat dikategorikan sebagai Paradoks logika, ciri khasnya pasti berujung pada self-defeating.

Inilah sebetulnya faham-faham fasis dan rasis yang sangat radikal yang sangat bertentangan dengan, baik secara syar'i maupun secara filosofi Pancasila itu sendiri. Toleransi atas faham seperti inilah yang berpotensi merusak sendi persatuan, kenyamanan kehidupan sebuah Negara.

Sebuah penipuan atas prinsip dialog, toleransi dan kemanusian itu sendiri. Akar dari penggunaan paradoks logika itu sebetulnya memang berasal dari trik-trik tipuan para Penipu yang berkeliaran di pasar-pasar pada era Yunani kuno. Jadi, masihkah anda percaya dengan tukang tipu?.

Absurdnya dengan basis pemikiran tukang tipu seperti itu, ada kalangan yang berbicara, beropini tentang tragedi Palestina dengan seolah-oleh pahlawan yang paling mengerti tentang kemanusiaan, keadilan mengkritisi konflik Palestina-Israel seraya membenarkan tindakan Israel dengan dalih membela diri dan menyalahkan kalangan Palestina seperti Hamas yang dianggap anti-perundingan, dan tukang rusuh.

#JASMERAH. Adanya opini permasalah konflik Israel-Palestina, yang menyebutkan bahwa konflik tersebut bukanlah masalah konflik Agama melainkan hanyalah konflik perebutan wilayah yang berujung pada masalah batas wilayah. Jelas opini ini yang tidak tepat. Secara historis, berdirinya Israel berawal dari perkembangan gerakan Zionis yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran “Der Judenstaat” nya Theodore Herzl, dimana Negara “Yahudi” Israel tersebut dibentuk berlandaskan 3 keyakinan yang tidak boleh diganggu gugat.

Opini "masalah batas wilayah" tersebut pada akhirnya hanyalah mereduksi dan mengaburkan akar permasalahan yang justru memberikan keuntungan lebih bagi pihak Israel untuk mengklaim perluasan wilayahnya pasca British Mandate, dimana hal tersebut menyebabkan meletusnya Perang Arab-Israel di tahun 1948. Yang hasilnya, lebih dari 70 % wilayah Palestina dicaplok oleh Zionis dengan dukungan Sekutu.

Jauh sebelum perang tersebut meletus, kalangan Zionis telah membentuk milisi-milisi militan layaknya HAMAS, dimana milisi-milisi militan seperti Haganah, Irgun, Lehi tersebut kemudian menjadi fondasi dan kekuatan inti berdirinya Israel Defence Force. Pasca keruntuhan Turki Utsmani sampai dengan pasca Perang Dunia ke-2, milisi-milisi tersebutlah yang bertanggung jawab atas pembantaian dan pengusiran separuh lebih warga Palestina dibawah pendudukan Inggris.

#MENOLAKLUPA. Tidak sedikit kalangan yang menyalahkan HAMAS, atas konflik yang terjadi di Palestina saat ini. Bagi kalangan tersebut, Israel adalah negara berdaulat yang berhak membela diri dengan aksi IDF-nya dan menyalahkan HAMAS (Gerakan Perlawanan Islam Palestina) sebagai biang keroknya.

Sayangnya kalangan tersebut lupa ketika di tahun 1945, Negara Israel belum berdiri dan IDF masih berbentuk organisasi persatuan paramiliter Yahudi (Haganah, Irgun, Lehi) yang disebut Tnu'at HaMeri HaIvri (Gerakan Perlawanan Yahudi).  Kenapa aksi-aksi pembakaran, pengusiran, pembantaian hampir separuh lebih warga Palestina oleh Organisasi Perlawanan Yahudi tersebut di bawah pendudukan Inggris ketika itu tidak disebut sebagai "gerombolan pengacau", "biang kerok kekacauan" ?.

#SPEAKBYDATA. Lebih lucu lagi, ada opini yang mencatut statmen Dubes Palestina untuk RI yang menyatakan bahwa 50 % warga Palestina adalah Yahudi, sisa-nya Muslim dan Kristen. Mari bicara dengan data, saat ini bicara tentang wilayah “Palestina” maka tidak lepas dari area Gaza & Tepi Barat. Menurut US Cencus Bureau International Program dan Palestinian Central Bureau of Statistics maupun World Population Prospects-edisi revisi 2010, Populasi di Tepi Barat adalah 75 % Muslim, 17 % Yahudi dan 8 % Kristen sedang Populasi terbesar di Gaza adalah 80 % Muslim dan yang kedua adalah Kristen.

Namun, bisa jadi benar statmen yang di catut dari Dubes Palestina tersebut, bahwa 50 % warga Palestina adalah Yahudi sebab mungkin yang dimaksud, adalah presentase jumlah warga Yahudi yang mendiami 70 % lebih wilayah Palestina yang di caplok Zionis pasca Perang Arab-Israel, yang sekarang bernama Negara Israel. Sementara, warga Palestina menjadi sedikit populasinya karena hidup terdiaspora terusir dan terkatung-katung di camp-camp pengungsian.

#PERUNDINGANSEMU. Banyak kalangan berpandangan sinis terhadap Hamas, dikarenakan Hamas menolak duduk bareng dalam meja perundingan dan mengakui Israel. Kalangan tersebut jelas menjadi Pelupa. Yang namanya berunding tentu masing-masing Pihak punya posisi, derajat yang sama. Begitu pula yang dengan pengakuan terhadap Israel, tentu harus jelas terlebih dahulu dimana peta posisi wilayah Palestina. Menjadi sebuah ironi, ketika banyak pihak memaksa Hamas untuk mengakui legitimasi Israel sementara tidak mempertanyakan legitimasi Israel menguasai dengan paksa hampir seluruh tanah historis Palestina kecuali  separuh Jalur Gaza dan separuh Tepi Barat.

Tawaran perundingan tersebut semu, lelucon konyol, tidak berimbang dan semakin  mengaburkan dimana sesungguhnya posisi Negara Israel.  Apakah Negara Israel yang harus diakui tersebut adalah Negara Israel yang sesuai dengan garis British Mandate, atau Negara Israel yang sesuai dengan keputusan PBB tahun 1949 yang membagi Palestina antara Arab dan Yahudi, atau Israel dengan batas tahun 1967, ataukah Israel dengan Tembok yang terus dibangun sampai saat ini dengan batas sekehendak Israel ?.

Dengan pengakuan konyol seperti itu maka sama saja mencampakkan peta Palestina dan hak-hak warga Palestina yang hidup tidak jelas di pengungsian. Wajar, ketika hanya tirani rasis pemaksaan yang boleh bicara maka meminjam bahasa Widji Tukul, hanya ada satu kata....Lawan !.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline