Lihat ke Halaman Asli

Berawal dari Panci

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13030548271202084011

Kematian salah seorang nasabah bank asing akibat tindakan tidak manusiawi dari petugas penagih hutang menarik perhatian banyak pihak dan menimbukan kehebohan di negri tercinta ini.  Pejabat, media massa dan masyarakat awam pun ramai memberikan pendapatnya dari berbagi sudut pandang. Tulisan ini hanya membahas pandangan penulis terhadap kredit secara umum tidak membahas kasus yang menyebabkan kematian tersebut. Kredit yang sejatinya berarti kepercayaan yang diberikan dari satu pihak kepada pihak lain seringkali malah menimbulkan persoalan di kemudian hari. Permasalahan ini terjadi karena pihak penerima ingkar terhadap janji pada saat akan menerima kredit tersebut. Kalau kita mengingat kembali masa lampau, rasanya mudah sekali kita memberikan 'kredit' ataupun menerima 'kredit'.  Meminjam uang atau fasilitas untuk melancarkan kegiatan kita adalah salah satu bentuk kredit yang pernah kita rasakan. Semua terjadi begitu mudah dan cepat. Bandingkan dengan masa sekarang, apakah mudah buat kita untuk meminjamkan atau mendapatkan pinjaman dari teman ataupun kerabat kita? Disamping perkembangan ekonomi yang menuntut adanya lembaga yang dapat dipercaya dalam melakukan transaksi (baca: bank), situasi seperti diatas juga dimanfaatkan oleh bank dan lembaga keuangan lain untuk memberikan kredit kepada yang membutuhkan lewat berbagai produk yang ditawarkan. Disini mulai terjadi pergesaran keseimbangan kekuatan, penerima kredit (peminjam) yang dulunya mendapatkan kredit hanya berdasarkan kepercayaan dari orang yang dikenalnya kini harus menghadapi lembaga yang tidak dikenalnya, bahkan pengurus lembaga itupun tidak dikenalnya. Karena tidak saling kenal maka semua yang terjadi biasanya berlangsung secara legal formal. Biasanya pihak pemberi pinjaman sudah membuat draft yang terketik rapi lengkap dengan segala persyaratan yang sulit sekali ditawar. Peminjam biasanya tidak ada cara lain kecuali setuju kalau masih ingin mendapatkan 'kredit' tersebut. Dalam perjalanannya, tidak semua peminjam bisa menyelesaikan kewajibannya dengan baik karena berbagai alasan. Ada yang karena tertimpa musibah sehingga sumber pendapatannya terganggu dan ada juga yang memang sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan 'kepercayaan' itu. Untuk yang terakhir ini biasanya terjadi karena adanya akal-akalan pada dokumen yang diajukan untuk memenuhi persyaratan. Contohnya tidak jarang kita jumpai orang yang tidak layak memiliki kartu kredit ternyata punya lebih dari satu kartu kredit. Bahkan seorang office boy pun bisa punya kartu kredit lebih dari satu. Sifat konsumtif masyarakat kita yang semakin menggila membuat kredit konsumtif menjadi ladang subur bagi industri keuangan.  Meskipun memiliki risiko gagal bayar yang cukup tinggi, perbankan masih melihat keuntungan besar dari bisnis ini. Sungguh miris melihar laporan dari Bank Indonesia di Kompas tanggal 15 April lalu. Hanya 1 dari 4 pengguna kartu kredit yang membayar lunas tagihannya pada saat jatuh tempo. Hampir 70% pengguna membayar dengan cara mencicil. Jika dirata-rata, pengguna kartu membayar 30%-60% dari total tagihannya. Bagaimana menyikapi hal ini? Rasanya tidak ada jalan lain kecuali menggunakan akal sehat untuk tidak lebih besar pasak daripada tiang.  Tentunya hal ini membutuhkan pengendalian diri yang berat, namun pengendalian diri ini akan dibayar dengan tidur yang nyenyak tanpa risau. Belilah sesuatu sesuatu sesuai kemampuan dan jangan belanjakan penghasilan hari esok di hari ini. Mungkin kita masih bisa belajar dari kredit alat-alat rumah tangga seperti panci, wajan, kompor dll yang dijalankan secara tradisional yang sampai saat ini masih ada di kampung-kampung. Penerima kredit  masih bisa menerapkan prinsip kehatian-hatian dalam mengajukan kredit. Jika tidak benar-benar perlu biasanya ibu-ibu tidak melalukan kredit. Selain itu pemberi kredit juga bisa jadi pengingat untuk tidak menambah kredit lagi  "kan yang dulu belum lunas". Pemberi kredit (tukang kredit) pun sangat persuasif dan manusiawi dalam menagih. Bahkan tukang kredit ini pun sudah menerapakan prinsip KYC (Know Your Customer) sejak dulu dibandingkan perbankan yang baru mengembar-gemborkannya kurang dari 10 tahun terakhir. Hubungan mutualisme seperti ini tentu bisa dijadikan rujukan dalam membuat sistem kredit yang lebih manusiawi. Ya, dari cara kredit panci kita bisa mengawali sistem kredit yang lebih manusiawi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline