[caption id="attachment_166415" align="alignright" width="275" caption="sumber: forum4finance.com"][/caption] Artikel di harian kompas pada hari Sabtu mengulas tentang isu pemanasan global dan kebohongan yang menyertai program penanggulangannya. Singkat cerita Indonesia termasuk salah satu negara yang menjadi target pengurangan emisi dunia melalui berbagai skema penanggulangan yang dimotori oleh negara industri maju melalui PBB. Ulasan tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan yang menggugah pikiran naif saya. Tentu para pendukung program tersebut punya alasan kuat untuk memaksakan program tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah: - Bagaimana menetapkan "harga" untuk setiap persen penurunan emisi? Diharapkan harga yang disepakati harus memasukan unsur intagible seperti melambatnya pembangunan kita karena kita "mengalah" untuk tidak memanfaatkan sumber daya alam yang menjadi satu-satunya modal kita. Harga harus dibuat setinggi mungkin karena kita perlu mendapatkan kompensasi sebagai modal untuk membangun negri ini bila perlu ditambah dengan alih teknologi sebagai bayarannya. Isu lingkungan yang diangkat berbalut masalah kemanusiaan untuk memperhatikan kehidupan generasi mendatang tentunya tidak boleh hanya menjadi beban kita sendiri. Sudahkan semua negara di dunia, terutama negara-negara maju konsisten dengan kampanye yang dilakukan? - Mengapa pembayaran harus dalam bentuk bantuan bukan dalam uang kontan seperti layaknya kita berdagang? cash and carry begitulah kira-kira pemikiran saya. Pembayaran dalam bentuk tunai memungkinkan kita memanfaatkan dana tersebut sesuai dengan keperluan. Bukan melalui program bantuan yang selalu didikte dan berujung dengan kembalinya lagi uang tersebut ke pemberi dana karena harus membeli teknologi dan membayar konsultan untuk program yg memang dirancang hanya untuk dikerjakan oleh mereka. - Sebagai negara berkembang tentu kita memerlukan modal untuk membangun, sudah jelas bahwa modal kita adalah kekayaaan alam yang seharusnya bisa kita eksploitasi secara bijaksana untuk membangun negri tercinta. Lalu, mengapa ketika kita akan memanfaatkan kekayaan kita untuk membangun ada sekelompok negara yang berusaha 'menghalangi' lewat program-program sosial yang kedengarannya sangat indah namun belum tahu apa isi sebenarnya? - Bukanlah negara-negara maju dulunya juga memanfaatkan kekayaan alam mereka sebesar-besarnya untuk membangun sebelum mereka mencapai kemajuan teknologi? Apakah ini juga merupakan semacam strategi untuk membangun rintangan atau mencegah persaingan dari negara berkembang. Kemajuan teknologi yang sudah dicapai negara berkembang sekarang sudah menakutkan negara maju akan bahaya persaingan yang muncul dari negara berkembang. Lihatlah sepak terjang India dan China dalam dunia teknologi dan ekonomi. - Terlebih lagi, data menunjukkan bahwa kontribusi perusakan hutan hanya 15% terhadap pemanasan global. Selebihnya berasal dari penggunaan bahan bakar fosil yang didominasi oleh negara maju juga. Mengapa yang "dipaksa" mengurangi adalah penyumbang kecil, bukan penyumbang besar? bukankah dalam penyelesaian masalah secara nalar kita pasti akan mengatasi penyebab utama dulu baru penyebab tambahan? [caption id="attachment_166414" align="alignleft" width="121" caption="sumber: blogombal.org"][/caption] Hal seperti ini sering menimpa kita, ingat foto yang menghebohkan ketika Michael Camdessus melipat tangan di dada saat Presiden Suharto menandatangani perjanjian dengan IMF? atau ketika kita 'menyetujui' perdagangan bebas ASEAN? Pertayaan dan masalahnya selalu sama, mengapa kita mau saat kita belum siap? apakah para diplomat kita tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk berdiplomasi atau memang kita tidak memiliki modal yang kuat untuk mandiri secara ekonomi dan politik. Atau kita memang harus percaya teori konspirasi tentang adanya economic hitmen yang selau berupaya untuk melemahkan kita? Sebenarnya semua kembali kepada Indonesia sendiri, mereka boleh meminta, membujuk, merayu atau bahkan memaksa kita untuk melakukannya tetapi kalau kita tidak mau, apa mereka bisa tetap bisa memaksa? Jawaban tergantung seberapa besar kedaulatan dan rasa cinta kita atas negara kita sendiri? Semoga pendapat saya tidak benar. Salam Cinta Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H