Lihat ke Halaman Asli

Judge Judy

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_61840" align="alignleft" width="300" caption="http://zamrony.files.wordpress.com/2009/08/pengadilan-tipikor1.jpg"][/caption] "mau lapor kehilangan kambing, malah kehilangan sapi" adalah ungkapan yang dikenal masyarakat tentang sulitnya proses mencari keadilan di negri ini. Tidak jarang keputusasaan masyarakat akhirnya diwujudkan dalam bentuk main hakim sendiri. Mungkinkah kita memiliki suatu sistem penegakan hukum yang sangat 'citizen friendly'? suatu sistem penegakan hukum yang sederhana, cepat dan mudah dipahami oleh rakyat kebanyakan namun tetap memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Semua proses dilakukan dalam waktu singkat alias sesaat saja. Saya teringat dengan serial televisi "Judge Judy" yang menceritakan tentang suatu pengadilan yang menangani kasus-kasus sepele di lingkungan tempat tinggal. Judge Judy yang diperankan oleh Judith Sheindlin dapat memutuskan suatu perkara dengan cepat dan umumnya para pihak yang berperkara dapat menerima keputusan tersebut. Judith memainkan peran tersebut dengan sangat baik karena beliau adalah mantan hakim di suatu family court di Los Angeles. Hal yang menarik dari serial tersebut adalah adanya suatu sistem pengadilan yang sederhana dan dapat menyelesaikan perselisihan dengan cepat. Tentu saja kita tidak dapat berharap bahwa sistem tersebut dapat secara utuh ditiru di Indonesia karena adanya perbedaan tata hukum dan sosiologis masyarakatnya. Namun semangatnya patut dicontoh. Di Indonesia, penyelesaian perselihan di lingkungan tempat tinggal biasanya dimediasi oleh tetua kampung atau pak RT. Namun dengan semakin memudarnya keakraban dalam hubungan antar masyarakat saat ini, peran tersebut mendapat tantangan yang semakin berat. Ditambah lagi, semakin rendahnya kepercayaan antar anggota masyarakat yang membuat pola penyelesaian secara kekeluargaan tersebut semakin sulit. Faktor subyektifitas juga tentu lebih mungkin terjadi dalam penyelesaian secara kekeluargaan dibandingkan dengan penyelesaian secara lebih profesional. Tentu saja, membangun sistem peradilan sederhana tersebut bukanlah pekerjaan sederhana. Perlu kesamaan pandangan antar semua pemangku kepentingan untuk mewujudkannya. Filosofi yang dianut adalah 'kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit' bukan sebaliknya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline