Lihat ke Halaman Asli

Rustriningsih ataupun Cagub Jateng Lainnya tidak akan Bisa Seperti Jokowi

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rustriningsih tidak akan bisa seperti Jokowi ? Tentu saja Tidak Bisa ! Dia kan seorang perempuan, mana mungkin bisa persis plek seperti Jokowi. Demikian halnya dengan Bibit Waluyo, Hadi Prabowo, Mulhim Asyrof, Ganjar Pranowo, atau siapapun, tidak akan mungkin bisa meniru gaya Jokowi yang (maaf) ndesani seperti orang kebanyakan. Namun tentu saja bukan itu esensi dari judul diatas. Yang dimaksud tidak bisa seperti Jokowi, tentunya dalam hal program yang bisa dibilang spektakuler, seperti salah satu contohnya adalah Kartu Sehat yang menggratiskan warga miskin untuk berobat, ataupun Kartu Pintar ala Jokowi. Tulisan ini terinpirasi dari percakapan saya di facebook dengan salah seorang teman, yang mengetahui bahwa saya Pro Rustri. Teman saya tersebut bertanya, yang mestinya pertanyaannya itu tidak perlu keluar, karena menurut saya, dia lebih paham soal Jawa Tengah berikut pernak perniknya, sementara saya baru 8 tahun jadi warga Jateng, dan lebih muda dari dia. “Apakah Rustriningsih Juga Punya Program Kartu Sehat Seperti Jokowi...?”, tanyanya. Tanpa ragu sedikitpun, kontan saya jawab “Tidak”. “Duite sopo ? APBD Jateng gur piro...?”, lanjut jawaban saya dengan pertanyaan balik. Namun teman saya tersebut masih terlalu PeDe dengan pertanyaannya, dan memberikan jawaban lanjutan yang cukup meyakinkan. “Lho, sampean itu gimana sih ? APBD Jateng ya banyak banget, kok bilang gur piro...”, jawab teman saya tersebut tanpa merinci seberapa banyak APBD Pemprov Jateng. “Wah, ini orang berarti, bertanya tapi tidak tau masalah yang ditanyakannya”, gumam saya dalam hati. Kemudian sayapun mempersiapkan “kamus” untuk memberikan jawaban pada teman, yang sebenarnya adalah senior saya. “APBD Jateng secara nominal kuantitatif memang banyak, tapi sangat tidak sebanding dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan”, jawab saya, sambil melanjutkan membuka catatan yang saya gunakan sebagai kamus. “Sebagai perbandingan, luas wilayah DKI ± 650 km² termasuk wilayah daratan Kepulauan Seribu yang tersebar di teluk Jakarta, APBD DKI tahun 2013 mencapai Rp 41 trilyun. Sedangkan luas Wilayah Jawa Tengah sebesar 32.548 km² atau sekitar 25,04 persen dari luas pulau Jawa, atau sekitar 50 kali wilayah DKI, sementara RAPBD 2013 “hanya” Rp 12,46 trilyun. Sedangkan bila ditotal APBD seluruh Pemda se Jawa Tengah menurut data dari Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri, jumlahnyapun “hanya” Rp 50.437.827.787.543,-”, jawab saya dengan percaya diri, karena memegang kamus. Saya tunggu hingga beberapa menit, ternyata tidak ada respon balik dari teman saya tersebut. Hal tersebut justru membuat saya tertegun. Ternyata orang yang biasa melakukan pengkritisan seperti teman saya itu, tidak sepenuhnya mengerti persoalan. Lalu bagaimana dengan masyarakat umum pada daerah diluar DKI yang sudah “terhipnotis” dengan kinerja Jokowi yang seolah dengan mudahnya dapat menepati Janji Kampanye...? Inilah yang perlu dicermati oleh para Calon Kepala Daerah beserta Tim Suksesnya. Janganlah terlalu mudah mengobral janji tanpa memperhatikan kemampuan daerah. Janganlah terlalu mudah meniru atribut Jokowi saat kampanye, karena DKI tidak bisa disamakan dengan daerah lain. Bagaimana bila masyarakat berharap kalau Cagub/Cabub/Cawal yang beratribut seperti Jokowi, dapat memberikan hal-hal yang telah dilakukan Jokowi...? Tentunya masyarakat akan merasa tertipu... Sinergikan Komitmen Masa Penetapan Cagub yang tentunya akan diiringi dengan deklarasi dan kampanye sudah sudah dekat, lalu “Isyu Jujur” apakah yang akan ditawarkan pada masyarakat calon pemilih ? Kalau isyu nya harus jujur, menurut saya tentu saja tidak banyak yang bisa ditawarkan, tidak akan ada perubahan drastis terhadap kondisi fisik Jawa Tengah, karena menyangkut kemampuan daerah. Yang bisa dan harus dilakukan Rustriningsih sebagai Gubernur nantinya, adalah mensinergikan visi dan misi antara Pemerintah Provinsi dengan Pemkab/Pemkot, sebagai Gubernur tidak bersikap Adigang, Adigung, dan Adiguna. Sebahai Gubernur, Rustriningsih tidak memposisikan diri sebagai Panglima yang berpangkat Mayor Jenderal, sementara Bupati/Walikota dianggap sebagai bawahan yang berpangkat Kolonel dan harus tunduk atas segala perintah serta kehendak, karena ini adalah era otonomi, semua punya konstituen, semua punya ego. Jadi, yang bisa saya dan kita harapkan dari Rustriningsih adalah menselaraskan visi misi antara semua Pemda yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk rakyat. Tingkatkanlah PAD sebesar-besarnya tanpa harus membebani rakyat. Jawa Tengah beserta rakyatnya masih terlalu miskin untuk berbangga, janganlah ditambah dengan Miskinnya Moral Yang Korup. Namun sebenarnya Jawa Tengah memiliki potensi yang sangat besar untuk maju, bila dibangun dengan komitmen untuk membangun daerah dan rakyatnya. Jangan sampai ada lagi Isyu “Cash Back” atas Bantuan Provinsi pada Pemkab/Pemkot, yang mana ada semacam keharusan untuk menyetorkan fee untuk Pejabat Tinggi Pemprov Jateng, seperti transkrip penyadapan KPK yang dibacakan di persidangan Soemarmo HS Walikota Semarang non aktif. Penyakit Kronis Salah satu penyebab teman saya melontarkan pertanyaan dan argument yang tidak jelas tersebut menurut saya adalah Penyakit Parah yang diidap oleh Pemprov Jateng, yaitu Transparansi. Keterbukaan Informasi Publik yang sudah memiliki Undang-undang pun diabaikan penerapannya. Seharusnya, masyarakat dengan mudah dapat mengetahui, berapa APBD Jateng, peruntukannya apa saja, SKPD ini berapa anggarannya, SKPD itu berapa ? Proyeknya apa saja, dan specs nya bagaimana ? Sedangkan salah satu bukti tidak transparannya pengelolaan keuangan daerah, menurut saya adalah adanya Perbedaan Kemampuan Tiap SKPD di Jateng dalam interaksi sosial. Ada SKPD yang mampu menyelenggarakan Halal bil Halal di Gedung Mewah usai Hari Raya Idul Fitri, namun ada pula yang cukup bersalam-salaman di kantor tanpa ada jamuan. Ada SKPD yang mampu memberikan “THR” dengan mengakomodir ratusan wartawan dengan jumlah yang variatif, namun ada pula SKPD yang hanya mengakomodir beberapa wartawan dengan nominal ala kadarnya. Ada lagi, SKPD yang tiap tahunnya sekitar 4 kali mengadakan Jumpa Pers dengan rata-rata kehadiran sekitar 100 wartawan dan LSM, dengan memberikan transport Rp 250.000,- tiap orangnya, tetapi banyak pula SKPD yang tidak pernah melakukan jumpa pers. Hal inilah yang sering jadi pertanyaan saya, kenapa harus ada perbedaan yang drastis diantara SKPD ? Kenapa ada SKPD yang seolah paling berhak untuk boros...? Akhirnya kenyataan pahit ini harus saya ungkapkan demi obyektifitas. Bahwa di Semarang, dominasi wartawan yang “Doyan Amplop” sangatlah besar, saya bahkan berani mengklaim dengan jumlah diatas 90 persen, tentu saja termasuk saya didalamnya. Tanya saja di Biro Humas Setda Jateng, berapa ratus wartawan yang menerima THR ? Apakah tidak ada wartawan Media Besar dan Elektronik/TV...? Tentu saja ada. Kemudian tengok saja saat usai Paripurna dan Dialog Interaktif di DPRD Jateng, wartawan yang hadir mendapatkan Imbalan “Tumo”, (istilah isi amplop yang umum disebutkan kalangan wartawan provinsi, yang berarti : Pitu Limo, atau Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah), kebetulan dalam hal ini, sejak 2008 saya sudah berhenti untuk mengambil Tumo dimaksud. Meskipun wartawan didominasi oleh penggemar amplop, saya yakin bahwa mereka semua masih memiliki semangat dan idealis membangun. Mereka semua punya hak untuk memilih pemimpin, sesuai dengan keyakinan dan sudut pandang masing-masing. Mereka juga punya hak untuk melakukan penggalangan guna mendukung salah satu kandidat. Seperti halnya dengan saya, juga punya hak untuk mendukung Rustriningsih sebagai Cagub pada Pilgub mendatang. (Terus, Masalah Buat Elu...?) ***gus_bs




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline