Lihat ke Halaman Asli

Calon Tunggal dalam Pilkada adalah Kemunduran Demokrasi?

Diperbarui: 6 Agustus 2015   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilkada serentak yang rencananya digelar pada bulan Desember 2015 terus memantik kontroversi. Penyebabnya adalah di beberapa daerah hanya muncul calon tunggal, seperti di Kota Surabaya, Pacitan dan Purbalingga. Jika hal ini terjadi, menurut aturan yang berlaku, maka Pilkada diundur sampai periode Pilkada serentak berikutnya, yakni pada tahun 2017 mendatang.

Di kota Surabaya, tak ada calon yang 'berani' melawan Tri Rismaharini yang berpasangan dengan Wishnu Sakti Buana. Memang sempat ada bakal calon yang mendatangi kantor KPU kota Surabaya. Namun pasangan tersebut gagal mendafatar karena ada intimidasi bahwa pasangan ini hanyalah calon boneka.

Jika menilik kinerja Bu Risma, wajar saja jika para lawan minder. Nyaris tak ada cela, begitulah kira-kira gambarannya. Gaya kepemimpinannya yang sederhana dan langsung menyentuh rakyat 'biasa' juga menjadikannya dicintai warga Surabaya. Selain itu, program tata kota dan keberaniannya menutup lokalisasi Dolly merupakan langkah nyata yang beliau ambil selama masa 5 tahun kepemimpinannya.

Namun inilah yang justru menjadi ironi dalam pesta demokrasi di negeri ini. Bahwa para calon yang akan bertarung hanya berfokus pada KELEMAHAN lawan. Jika ada calon petahana atau calon lain yang mempunyai 'cacat', maka akan menjadi sajian empuk dan peluang memenangkan Pilkada. Lantas ketika calon seperti Bu Risma misalnya tak memiliki banyak celah untuk diserang, maka drama-drama gak jelaslah yang muncul.

Menurut saya, Bu Risma memang bisa dibilang bagus dalam memimpin kota Surabaya. Namun beliau tetap punya kekurangan, atau katakanlah ada hal yang belum bisa dijangkau. Menilik hal ini, saya berharap ada seorang calon pemimpin yang membawa gagasan baru dalam mewujudkan kota Surabaya menjadi LEBIH bagus lagi.

Hal semacam inilah yang harusnya lahir dari sebuah kompetisi. Dimana para calon menawarkan gagasan dalam visinya membangun sebuah daerah. Misal Pak Dhimam punya ide untuk menjadikan Surabaya kota dengan biaya hidup terjangkau atau pemberdayaan kaum muda untuk lebih kreatif. Jikalaupun nanti Pak Dhimam tak terpilih, gagasan ini bisa diaplikasikan oleh calon yang terpilih. Bukannya seperti yang sekarang ini, kalau kalah saling tuntut dan menjadikan suasana politik terus tegang.

Memang demokrasi saat ini belum ideal. Hal ini nampak dari fenomena yang muncul saat Pemilu atau Pilkada digelar. Dimana para calon yang muncul bukan berdasar kredibilitas dan kompetensi yang tergambar dalam visi dan gagasan dalam membangun bangsa. Namun kemunculan seorang kandidat lebih berdasarkan tingkat elektabilitas dan popularitas. Maka tidak heran jika banyak artis yang memang populer di masyarakat muncul sebagai calon Kepala Daerah yang secara kapasitas tentu masih dipertanyakan.

Ketika pemimpin lebih berfikir bagaimana meraih kekuasaan dan memenangkan pertarungan demi nama partai, maka upaya menyejahterakan rakyat hanyalah sebuah wacana, janji manis yang membuat Pilkada semakin kehilangan minat. Dan jika hal ini terus dibiarkan, maka bisa dibilang demokrasi  mengalami kegagalan. Salam

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline