Lihat ke Halaman Asli

Kegigihan Belajar Ala Santri Gontor

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14200294671357277245

Beberapa hari ini saya lalu lalang ke kampus Gontor, kadang keliling-keliling 'gak jelas' ke sudut-sudut kampus ( yahanu tahftiys alias pura-pura keliling-keliling), dan saya dapati fakta yang "mencengangkan" tidak ada satu santri pun kecuali di tangannya ada buku, kalau pun ada yang menampakkan diri dengan tangan kosong, ada beberapa kemungkinan, kemungkinan pertama, dia membawa resume pelajaran namun ia sembunyikan, kemungkinan kedua, dia ingin memproklamirkan diri sebagai santri paling siap menghadapi ujian materi apa pun, karena persiapannya telah matang dari jauh-jauh hari, seolah dia tidak ingin terseret dalam arus 'keresahan' santri-santri yang umumnya kelihatan belajar sebulan menjelang ujian, kemungkinan ketiga, putus asa hidup di pondok, sehingga dengan tidak belajar, otomatis tidak akan naik kelas, alasan tidak naik kelas salah satu alasan manjur keluar dari kehidupan Gontor yang bisa diterima oleh semua pihak, khususnya orang tua.

Kembali fenomena ‘kegigihan santri gontor’ belajar baik ketika ujian tiba, maupun ujian sedang berlangsung, setidaknya ada beberapa fakta yang jamak diketahui oleh penduduk kampus Gontor dan para alumninya, fakta pertama adalah ribuan santri yang pada hari-hari biasa terlihat aktif dalam beberapa aktifitas non-sekolah, seperti olahraga, seni, ketrampilan, kepemimpinan, pramuka dsb, tiba-tiba berubah wujud menjadi manusia-manusia yang sedetik pun tak ingin berpisah dari buku-buku pelajaran, ke mana pun mereka pergi, bahkan sampai antri di kamar mandi pun, mulut santri-santri ini tetap komat-kamit merapal 'mantra' (arab dan inggris) sesekali melihat buku yg dalam genggaman tangannya. Fakta kedua, munculnya fenomena Qiyamul Lail Oriented secara massif baik individu atau kelompok, para santri sadar bahwa mereka tidak akan diberi kemudahan dalam menjalankan ujian pondok tanpa ada intervensi dari Yang Maha Kuasa, aktifitas Qiyamul Lail terlihat jelas di beberapa tempat publik baik di masjid, halaman, emperan asrama, atau di lantai teratas gedung berlantai lebih tepatnya area jemuran, seolah tidak ada hijab yang menghalangi mereka saat bermunajat ke langit, selain sulitnya jangkauan pihak keamanan pondok ke lantai atas, sehingga aktifitas ‘terlarang’ seperti tajamu’ ( makan bersama satu nampan ), tetap berjalan aman. Fakta ketiga, pendeknya waktu siang dan malam, maksudnya adalah waktu untuk berleha-leha dan santai selama matahari bersinar dikurangi bahkan didelete, waktu istirahat di malam hari dipangkas bahkan ada yang rela tidak tidur, bahkan tidak mandi. Fenomena perlombaan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk menelaah materi dan menghafalkannya ini, tidak hanya terlihat dalam rangkaian waktu-waktu yang dialokasikan untuk belajar, namun dalam waktu-waktu yang dialokasikan untuk aktifitas seperti makan pun, mereka masih terlihat belajar, tangan kanan memegang sendok, mulut sibuk mencacah makanan, namun pandangan tetap menatap buku yang digenggam di tangan kiri. Fakta keempat, menjamurnya ‘kedai-kedai’ makanan, baik yang diorganisir oleh santri kelas 6, maupun oleh asatidz, kedai-kedai makanan ringan dan berat yang pada hari-hari biasa tersentral pada tempat-tempat tertentu, jumlahnya bertambah, bermunculan di area konsentrasi santri, diantaranya di depan gedung baru Aligarh, depan santiniketan, depan masjid pusaka, depan gedung al-Azhar dan area gedung Robithoh, kedai-kedai tersebut sengaja ditambah sebagai reaksi cepat tanggap terhadap frekuensi lapar ‘santri’ yang naik secara signifikan di masa-masa ujian. Fakta keempat, fenomena kerasnya volume suara “ Amiin “ para santri menjawab doa yang dibacakan baik oleh Imam, ataupun qismu I’lam ( bagian informasi ) khususnya ketika redaksi “ Allohumma ij’alna minannaajihiin “ ( Ya Allah jadikan kami bagian dari orang-orang lulus ujian ) disebut. Wujud kerasnya usaha mereka selama ini menghadapi ujian pelajaran di Gontor yang memang terkenal keras dan tegas. Ini hanya sebagian fenomena, dari sekian fenomena positif yang dapat diambil manfaatnya, A’la kulli hal fenomena kegigihan santri Gontor dalam menghadapi ujian ini, sering secara tidak langsung menyentak saya, betapa waktu-waktu yang saya jalani selepas tamat dari Gontor tidak seproduktif seperti masa-masa menjadi santri, godaan waktu luang dan kondisi sehat sering menjadi jebakan, bukannya diisi untuk melejitkan potensi, malah sebaliknya kadang menjadi pembenaran untuk mengakhirkan pekerjaan, padahal di Gontor diajarkan “ la tuakkhir a’malaka ma taqdiru anta;malahu alyaum ( jangan kau menunda-nunda pekerjaan ) atau ‘Inna al-syabaaba wal farogh mafsadatun’ ( sesungguhnya musibah/bencana bagi pemuda jika terlena dengan waktu luang ).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline