Lihat ke Halaman Asli

Kabut Harapan

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13283472191762477374

Chapter 1 Angsa bergegas meninggalkan Kota yang berpayung awan gelap menakutkan, seolah tahu badai besar akan segera datang. Asanya terus bergegas menjauh, lepaskan ketakutan jauh dibelakangnya. Dia tahu, sangat tahu apa yang sedang terjadi di Kota itu. “Angsa !” hey !” Angsa, Bangun !” seru Puspa tengah malam itu sambil menggoyangkan kedua pundak sahabat satu kostnya yang tampak tengah bermimpi buruk itu. Merasa tubuhnya digoyang-goyang, Angsa kemudian membuka matanya dan melihat Puspa sedang menatapnya dengan wajah cemas. “Puspa ?”, lirih Angsa setengah menangis sambil memeluk sahabatnya itu. ** “Semalem lu mimpi buruk lagi yah ?” tegur Puspa pagi itu melihat Angsa termenung menghadapi sarapan paginya. “Iyah”,…jawab Angsa pelan sambil meraih jus Tomat kesukaannya. Dia memang kerap bermimpi buruk sejak kematian kekasihnya yang mengenaskan. Motor Ninjanya menabrak keras trotoar saat hujan badai hingga membuat Rama tewas ditempat. “Non Puspa, ini sarapannya”, suara bi Siti dari arah dapur memecah keheningan di meja makan mereka. “Oh ya, makasih bi”, sahut Puspa ramah sambil menerima Omelet hangat ditangannya. Sedetik kemudian, “Puspa, hari ini gue kayaknya ga ke Kantor, titip anak-anak yah”, pinta Angsa halus. “Ok Boss”, jawab Puspa sambil tersenyum. Semenjak Papahnya meninggal, Angsa diserahi perusahaan majalah Eksterior & Landscape untuk melanjutkannya. Sementara Puspa adalah Chief Editor yang hampir mengawasi semua operasional di Perusahaan itu. Beberapa menit sejak Puspa berangkat kerja, Angsa kembali ke Kamar, duduk menghadap meja kerjanya sambil menulis di selembar kertas. “Bogor, 14 November 2020 Duhai jiwa yang telah pergi selamanya, Aku menatap tirai rindu tapi tak kutemukan wajah damaimu disana. Tak terdengar lagi tawa lepasmu yang menggemaskan kekasihmu ini. Tak ada lagi yang mengusap butir air mata duka ini. Adakah saat dimana kau menjumpai kekasihmu barang sekejap ? Kasih, aku tak mampu melepas jaring cintamu meski kau telah pergi. Aku selalu mencari bayangmu ketika mata memandang jauh keluar jendela. Aku tak mampu mencari pengganti seperti dirimu. Aku ingin terus kau menemani bahagia dan duka ku.” Cintamu Angsa Delia Rinjani. Sambil berlinang air mata Angsa menggulung kertas itu kemudian memasukannya dalam botol parfum yang kosong. ** Pukul 15:30 WIB, Qatar Airlines yang mengantar Ryan pulang setelah dinas 6 bulan disalah satu perusahaan minyak disana tiba di Bandara SOETA Jakarta. Kali ini Sarah, mantan kekasihnya tidak lagi menjemputnya setelah 6 bulan lalu kepergok Ryan bergandengan mesra dengan seorang laki-laki paruh baya memasuki sebuah Hotel di Jakarta. Jantungnya berdegub kencang menyaksikan peristiwa itu dari dalam mobil, hatinya hancur, secepat kilat ia menyambar HP di kantongnya lalu ; “Halo ?”, sahut Sarah di seberang sana. “Saya beruntung Tuhan memberikan pemandangan ini sebelum menikahi kamu !”, suara Ryan dingin terdengar di telinga Sarah yang sedang celingak-celinguk mencari keberadaan Ryan. “Ryan ?, Kamu dimana ?”,Tanya Sarah dengan rasa takut campur bersalah. Namun hanya suara ‘nut,nut” tanda Ryan telah memutuskan sinyal HP nya yang terdengar oleh Sarah. Liburan kali ini, pikirannya kembali mengingat kejadian 6 bulan lalu itu, membuatnya miris dan hampa. Mobil terhenti di lampu merah perempatan Pancoran, tangannya meraih HP memilih nama Ubay untuk dihubungi : “Assalamu alaikum, Bro !”, gue dah sampe kampong neeh”, suara Ryan terdengar di HP Ubay “Wa alaikum salam, Alhamdulillah Gan, mo hunting kemana rencananya kita ?” jawab Ubay dengan nada riang. “Kita ke Surya kencana Gn Gede, kali ini”, jawab Ryan mencoba bersemangat. “Aseeek”, suara Ubay terdengar girang di HP Ryan sebelum memutuskan pembicaraan singkat tersebut. Chapter 2 Hari mulai gelap, lampu-lampu jalan telah menerangi Kota Jakarta, dua kelok lagi Mercedes putihnya tiba di rumahnya, Pondok Indah No 22y. Ryan adalah anak bungsu dari 2 bersaudara. Kakaknya, Shinta mengurus perusahaan percetakan bersama Ayahnya, sedangkan dirinya bekerja di perusahaan minyak Qatar sejak menyelesaikan kuliahnya di Jepang. “Tin”, klakson terdengar di depan pintu gerbang berwarna emas itu, pak Romli terlihat bergegas membukakan gerbang untuk Ryan. “dah sampe Indonesia Tuan?” sapa pak Romli ramah saat kaca jendela mobil dibuka Ryan. “Alhamdulillah pak Romli “, jawab Ryan sambil tersenyum ramah. Ayah Ibunya terlihat tersenyum di loby menyambut kepulangannya. Ryan menghampiri mereka dan mencium pipi kedua orang tuanya itu dengan rasa syukur setelah memberi salam. “kak Shinta kabarnya gimana Mah?” Ryan membuka percakapan saat makan malam bersama kedua orang tuanya. “Shinta sehat, Alhamdulillah, malam ini dia ke Bogor, makan malam bersama client baru katanya”, jawab Ibunya panjang lebar. “ooo, mudah-mudahan lancar semua urusannya”, sambung Ryan penuh harap. Ryan berbaring di kamar setelah makan malam itu. Sayup-sayup lagu “November Rain” GnR terdengar menemani alam pikirannya yang tengah menerawang. Kekecewaannya pada Sarah kembali menyeruak dan menyakitkan perasaannya. Namun ia cukup mahir menyembunyikan kehidupan cintanya yang menyakitkan itu dihadapan kedua orang tuanya. Malam semakin larut, kedua matanya mulai menutup setelah dirinya berbisik dalam hati ; “Tuhan, kirimkan hamba kekasih yang setia…” Subuh, sabtu 5 Desember 2020, Ubay tengah melipat peralatan sholatnya setelah melaksanakan kewajiban 2 rakaat sholat subuh pada hari itu. Kemudian menyiapkan Camera dan beberapa Lensa yang akan dibawanya hunting bersama Ryan. “Assalamu alaikum, Brader !” jadi ni ari kite ke Gunung Gede?” suara Ubay di HP Ryan. “Wa’alaikum salam, Jadi Bro”, jawab Ryan sambil senyum mendengar bahasa yang digunakan Ubay itu. “Gue, tunggu jam 5 di pondok cabe yah?” kita terbang pake Heli ya biar ngak ketinggalan moment sunrise-nya”, sambung Ryan bersemangat. “Ok Sir”, jawab riang Ubay dengan singkat pada sahabat karibnya sejak di SMP hingga SMA itu. “GIMANA PERCINTAAN LU BRO ?!”, Tanya Ryan pada Ubay setengah teriak dalam cabin Helicopter yang bising dengan suara baling-baling dan mesin. “DAMAI BRO !, JARANG RIBUT”, HAHAHAAA…”, sahut Ubay sedikit bergurau. Ryan tersenyum mendengar jawaban sahabatnya itu sambil mulai menyiapkan Cameranya. Perjalanan mereka menuju Gunung Gede-Jawa Barat terbilang lancar, awan tebal November subuh kali ini tidak tampak. Langit mulai terlihat sinar kemerahan dari Mentari yang mulai terbit. “15 menit lagi kita landing di Surya Kencana, mas Ryan, suara Pilot terdengar di ear phonenya memberi kabar. Ryan hanya mengacungkan Jempol tanda mengerti sambil mengembangkan senyum ramahnya. Sunrise mulai terlihat, sudah ratusan foto dihasilkan Ryan dan Ubay dalam Cameranya masing-masing. Kini Ubay terlihat asik membidik seekor Rajawali yang tampak terbangun menyambut pagi itu. Mereka berdua sangat menikmati pengambilan gambar dari Puncak Gunung Gede tersebut. Tanpa sengaja Ryan membidik ke arah kawah yang berwarna hijau dibawahnya dengan lensa zoomnya, membelokan kekerannya ke kiri dan kanan mencari objek menarik untuk difoto hingga suatu ketika bidikannya terhenti pada sebuah benda yang tidak biasa. “benda apa itu ?”,bisiknya dalam hati.”Seperti sebuah botol yang berisi kertas didalamnya, kok sampe ke kawah ya?” suara hatinya berbisik kembali. “Bay !”,coba kesini”, panggil Ryan pada Ubay. Kemudian Ubay segera mendekati Ryan dan ikut mengeker benda tersebut. “Gue mao ambil”, lanjut Ryan. “Jangan Men, banyak gas belerang dibawah sana”, jawab Ubay agak khawatir “Tapi hati gue bilang harus ambil botol itu”, Ryan mencoba meyakinkan Ubay. “Oke, oke, oke….kita cari cara yah”, saran Ubay menanggapi keinginan sahabatnya itu. Kemudian hening sejenak, mereka mencari cara bagaimana melakukannya, lalu ; “FLYING FOX !”, teriak bareng mereka lalu berlari menuju Helicopter. Dengan mengenakan masker, Ryan sudah mulai terlihat bergelantungan dibawah Heli yang terbang diatas kawah tersebut. Sementara Ubay memberi aba-aba pada Pilot kapan saatnya Ryan diturunkan untuk mengambil botol itu. Ubay tampak cemas menyaksikan aksi berbahaya itu, jantungnya berdebar kencang, hingga akhirnya terdengar suara : “DAPEEET”…teriak Ryan girang. Kemudian Ubay segera memberi aba-aba agar Pilot menerbangkan kembali Heli keatas : “Up !”, Up !” teriaknya setengah gugup campur gembira. “GILAAAAA !”, Ubay mulai angkat bicara setelah Ryan melepaskan semua tali pengikat tubuhnya pada Heli. “HAHAHHAHAHAHAAAA !”, Ryan hanya menjawab sahabatnya itu dengan tawa lepasnya. “Oke Men, kita pulang sekarang ?” Tanya Ryan sambil tersenyum puas pada Ubay. “Hayo, dengkul gue juga udah lemes nih gara-gara kelakuan lu barusan”, jawab Ubay dengan mimik lucunya. “Hahahahhaaaaa”, tawa Ryan kembali terdengar lepas memecahkan keheningan puncak Gunung Gede pagi itu. Rijal sang Pilot geleng-geleng kepala sambil tersenyum menyaksikan dua sahabat itu. Dalam perjalanan pulang kembali ke Pondok Cabe, Ryan membuka tutup botol yang ia temukan itu dan mengambil kertas didalamnya. Hatinya bertanya-tanya apa isi surat itu, kemudian perlahan-lahan ia membuka surat yang digulung tersebut dan membacanya. “Bogor, 14 November 2020 Duhai jiwa yang telah pergi selamanya, Aku menatap tirai rindu tapi tak kutemukan wajah damaimu disana. Tak terdengar lagi tawa lepasmu yang menggemaskan kekasihmu ini. Tak ada lagi yang mengusap butir air mata duka ini. Adakah saat dimana kau menjumpai kekasihmu barang sekejap ? Kasih, aku tak mampu melepas jaring cintamu meski kau telah pergi. Aku selalu mencari bayangmu ketika mata memandang jauh keluar jendela. Aku tak mampu mencari pengganti seperti dirimu. Aku ingin terus kau menemani bahagia dan duka ku.” Cintamu Angsa Delia Rinjani. Tanpa sadar Ryan meneteskan air matanya jatuh membasahi surat itu. Ubay yang sedang mengambil gambar dari dalam Heli tiba-tiba melihat ke arah Ryan yang sedang mengeluarkan air matanya. “Hey, ko lu nangis ?” tanya Ubay heran dan langsung ikut membaca isi surat itu. “Ooh Men,..,Indah sekali kesetiaan sang penulis surat ini”, gumam Ubay tanpa sadar setelah membacanya. “Yah!”, jawab Ryan pendek sambil menghapus air mata harunya. “Gue bisa ngerasain apa yang dirasa Angsa sang penulis surat ini”, lanjut Ryan dengan nada sedih. “Angsa Delia Rinjani, sebuah nama yang indah seindah kesetiaannya, coba lu liat tanggalnya Men, surat ini belum terlalu lama”, lanjut Ubay mulai ikut penasaran. Sambil melihat tanggal di Jam nya yang menunjukan tanggal 5 Desember 2020, Ryan mengangguk setuju. Mereka kemudian diam sejenak dan tiba-tiba ear phonenya terdengar ; “Mas Ryan, 10 menit lagi kita landing di Pondok Cabe”, suara Pilot memberitahu. “Oke”, jawab Ryan sambil mengacungkan jempolnya ke arah Pilot. Ryan kembali diam, tatapan matanya memandang jauh ke angkasa, pikirannya melayang pada Angsa sang penulis surat itu. “Tuhan, takdirkanlah aku menemuinya”, suara hati kecilnya berbisik dalam lamunan. Bro, hari masih pagi, kita mao kemana lagi ?” tanya Ubay membuyarkan lamunan Ryan. “Temenin gue sarapan ya, kita ke Bar Pool Grand Hyatt”, pinta Ryan terdengar serius. Chapter 3 “Gue harus mencari Angsa, Bro”, Ryan membuka percakapan setelah seorang waitress mengantarkan menu pesanan mereka. “Gue faham keadaan lu, men”, jawab Ubay sambil menatap iba pada sohibnya itu. “Kisah lu mirip ama dia, mudah-mudahan lu bisa ketemu dan berjodoh”, lanjut Ubay serius. “Lu punya saran, dari mana gue bisa mulai pencarian ?”, tanya Ryan sambil menatap mata Ubay. “Mmmmm, coba lu googling dulu, kalo ga ketemu juga, nanti cari di FB”, saran Ubay dengan penuh keyakinan. “SMART !!”, jawab Ryan seakan terinspirasi dengan saran Ubay. “Ok, kita sarapan yu”, lanjut Ryan sambil tersenyum lega. ** Sampai di rumah, Ryan terus mengurung diri dalam kamarnya. 5 jam sudah ia browsing internet untuk mencari sebuah nama tanpa hasil informasi sedikit pun. Wajahnya tampak tegang dan serius menatap Laptopnya sampai tak menyadari kakaknya, Shinta mengetuk pintu kamarnya beberapa kali. “Ryan !”, teriak Shinta agak mengeras di depan pintu kamarnya. “Eh!, iya sebentar”, jawabnya tersentak kaget kemudian bergegas membuka pintu kamarnya. “Lama banget si !”, bentak Shinta sambil cemberut. “Hehehehehe, sorry sist, ga denger”, jawab Ryan cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Gue kan kangen, sejak pulang dari Qatar belon liat elo, blo’on”, sambung Shinta sambil menjewer ringan telingan Ryan. “Mang lagi ngapa’in si ?”, serius banget ampe ga denger ? tanya Shinta mencari tahu. Kemudian Ryan mengajak kakaknya duduk dipinggir kasurnya dan menunjukan surat yang ditemukannya pagi tadi di kawah Gunung Gede. “Ang sa?”, suara Shinta sambil mengernyitkan dahinya. “Kaka kenal ?”, sahut Ryan penasaran. “Kayaknya ini client gue yang baru, yang ngajak makan malam kemarin di Bogor”, jawab Shinta seperti ragu-ragu. “Oh ya ??”, teriak Ryan girang mendapat petunjuk. “Temuin ama gue dong Ka, pleaseeeee”, rengek Ryan seperti anak kecil. “Hmmmm, kesian ya, kisah cintanya”, kata Shinta setelah membaca berulang kali isi surat itu. “Ok,nanti gue atur appointment dulu yah”, lanjut seorang kakak yang sangat sayang pada adiknya itu. “Aseeeek, makasih ya kak”, jawab Ryan kegirangan sambil mencubit Ujung hidung mancung kakaknya. “Adooooh, kok gue dicubit si !”, protes Shinta tak serius. “Impas doooong, tadikan kaka jewer gue, hehehehehee”, jawab Ryan masih dengan hati yang riang. ** Selasa, 8 Desember 2020, meski hujan terus mengguyur Jakarta tak membuat suasana hati Ryan turut mendung. Hari itu ia sangat bersemangat karena akan dipertemukan Shinta dengan Angsa sang wanita penulis surat dalam botol yang masih misterius. Kini baginya hanya menunggu HP nya berdering dari Shinta sebagai tanda ia harus berangkat dari rumah menuju kantor kakaknya dibilangan Jalan Melawai untuk dipertemukan dengan Angsa. Sekitar jam 9, HP nya bordering, ia bergegas mengangkat HP yang diletakkan diatas meja belajarnya, namun terlihat di LCD HP nya bukan nama Shinta melainkan Ubay. “Assalamu alaikum”, suara Ubay terdengar ditelinganya. “wa alaikum salam, ya Bro, whazz up?”, jawab Ryan bersahabat. “Men, gue kecelakaan, sekarang di RS Pondok Indah, gue minta tolong, soalnya ga berani gue ngabarin ortu gue”, jawab Ubay tengah berduka. “Oke,oke,oke Bro, gue ke sana sekarang !”, Ryan sedikit agak panik. Hanya butuh 10 menit bagi Ryan yang tinggal di Pondok indah itu untuk mencapai RSPI. Ia bergegas masuk ke dalam setelah memarkirkan mobilnya di depan pintu utama. “Selamat pagi, Sus”, pasien bernama Ubay di kamar berapa yah?”, tanya Ryan tergesa-gesa pada suster penerima tamu, “Sebentar saya cek ya mas, mmmmm pak Ubay saat ini di UGD sedang penanganan dokter mas, setelah beberapa menit lalu dibius total untuk dilakukan tindakan pada luka di tulang tengkorak belakang dan bahu sebelah kanannya”, jawab suster ramah. “Maaf , mas ini siapanya si pasien, kalau boleh saya tahu?”, lanjut suster sambil tersenyum ramah. “Sahabatnya, saya sahabatnya si pasien, ada yang bisa saya bantu?”, jawab Ryan seraya menawarkan bantuannya. Setelah mengisi formulir mengenai data-data pribadi si pasien yang diberikan suster itu, Ryan duduk gelisah menunggu di depan pintu kamar UGD. Tiba-tiba ia ingat janji dengan kakaknya, Shinta, lalu menelponnya untuk membatalkan rencana pertemuan mereka dengan Angsa. “Assalamu’alaikum Sist !, gue ga bisa hari ini, Ubay accident pagi ini, sekarang gue lagi di RSPI nemenin dia”, suara Ryan terdengar di HP Shinta membatalkan janjinya. “Wa’alaikum salam, oke, oke ga pa pa, lu bantuin Ubay aja disana”, jawab Shinta ikut prihatin. Setelah Ryan memutuskan percakapan telponnya itu, pintu kamar UGD terbuka, seorang pria berjubah putih dengan masker hijau tampak keluar kamar diiringi seorang suster. “Dok, gimana keadaan teman saya?”, Tanya Ryan mencari tahu “Ga pa pa mas, tadi kami melakukan penjahitan di kulit tulang tengkorak belakang dan bahu kanannya, mungkin 10 menit lagi pasien mulai sadar kembali setelah dibius total sebelumnya”, jawab dokter menenangkan hati Ryan. “Oke dok, terimakasih”, jawab Ryan mulai tenang. Setelah dokter berlalu, dua orang suster terlihat mendorong dipan dimana Ubay terbaring tak sadarkan diri itu ke kamar perawatan kemudian Ryan mengikuti mereka dari belakang. “Oh ya mas, ini dompet dan HP pasien”, kata suster pada Ryan setelah mereka semua berada di dalam kamar 123A, kamar dimana Ubay akan dirawat. “Terimakasih”, jawab Ryan tersenyum sambil menerimanya dan susterpun berlalu keluar dari kamar tersebut. “Brooo”, suara lemah Ubay terdengar saat Ryan menutup pintu kamar tersebut. “Bay, lu dah sadar?”, sapa Ryan pelan dengan rasa iba di samping dipannya. ** Ditempat lain, Angsa dan Puspa dalam perjalanan menuju Melawai dari kantor mereka di jl Padjajaran Bogor untuk bertemu dengan Shinta sesuai janji yang telah disepakati pada hari senin kemarin. Setelah 5 km dari pintu tol Sentul HP Puspa berdering. “Halo ?, apaah ?”, iya iya aku ke sana”, jawab Puspa memecahkan keheningan cabin BMW merah yang sedang dikendarai Angsa saat itu. Angsa yang mendengarkan hal itu bertanya-tanya dalam hatinya apa gerangan yang terjadi pada Puspa. “Sa, gue ga ikut ya ke Melawai, gue harus ke RS Pondok Indah”, Puspa mulai menjelaskan perihal percakapan telpon barusan dengan mata berkaca-kaca. “Ada apaaa si Noon, lu bikin gue bingung aja deh”, sahut Angsa mulai cemas. “Cowo gue kecelakaan tadi pagi”, jawab Puspa dengan nada sedih. “HAH, lu punya cowo ??!, kok gue ga diceritain ?”, suara Angsa terdengar kecewa. “Iyah, tadinya hari ini gue mao cerita, tapi keadaannya sekarang seperti ini”, jawab Puspa memelas, “Oke deh, kita ke RSPI aja, nanti gue telpon shinta untuk membatalkan meeting hari ini yah”, jawab Angsa mencoba menenangkan hati sahabatnya itu. Chapter 4 Ubay tengah menceritakan kronologis kecelakaan yang dialaminya pada Ryan saat itu dan tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu di kamar 123A tersebut. “Silahkan masuk”, jawab Ryan singkat, kemudian pintu mulai dibuka dari luar. Puspa melangkah lebih dulu ke dalam kamar itu disusul Angsa dibelakangnya. “Mas, gimana keadaannya?”, tanya Puspa tak sabar tanpa menghiraukan keberadaan Ryan. “Alhamdulillah ga parah”, jawab Ubay lemah. “Oh ya, kenalkan ini Ryan sahabatku”, lanjut Ubay sambil tersenyum menyambut kedatangan mereka berdua. “Saya Puspa”, jawabnya ramah sambil menjulurkan tangan kanannya ke arah Ryan.”Dan ini sahabat saya, Angsa”, lanjut Puspa saat menatap pada Angsa. Wajah Ryan tiba-tiba membeku menatap Angsa karena terkejut, sedangkan Ubay menatap tajam ke arah Ryan, mereka berdua sama-sama menerka bahwa sahabatnya Puspa itu adalah Angsa sang penulis surat misterius yang tempo hari mereka temukan di kawah Gunung Gede. Beberapa detik kemudian Ryan tersadar bahwa ia belum mengucapkan sepatah katapun saking kagetnya berhadapan dengan wanita yang bernama Angsa tersebut. “Oh, maaf, saya Ryan”, jawabnya sambil menjulurkan tangannya pada Angsa sambil tersenyum ramah. Angsa tersenyum menyaksikan gelagapan Ryan sambil memberikan tangan kanannya untuk bersalaman. “O my God !!”, inikah Angsa Delia Rinjani sang penulis surat itu ???”, bisik hatinya ketika bersalaman dengan Angsa. “Saya Angsa Delia Rinjani”, suara Angsa terdengar saat bersalaman dengan Ryan sambil tersenyum ramah. Mendengar jawaban itu Ryan kaget, senang, sekaligus terpesona. Jantungnya berdebar kencang hampir saja ia tak mampu menyembunyikan apa yang sedang terjadi pada dirinya. “Cantik sekali dia dengan kemeja putih bergaris berpadu span berwarna ungu itu,…memberi kesan tegas”, bisik hatinya lagi.“Damn !!”, Ka Shinta ga pernah cerita kalau Angsa ini sangat cantik !!”, sungutnya dalam hati pada kakaknya. “Cowo ini sangat berwibawa dan ramah, ya Tuhaaaan, ..kenapa aku kerapkali membandingkan seseorang dengan mendiang Rama”,…rintih hati Angsa. “Motormu gimana mas?”, tanya Puspa pada Ubay memecahkan kekakuan suasana perkenalan itu. “Sudah diamankan Polisi”, jawab Ubay singkat yang masih tak percaya dengan kejadian perkenalan tersebut. Lalu Ubay teringat CBR 500 nya yang ringsek bagian depan akibat tabrakan beruntun yang dialaminya. ** Tanpa terasa hari semakin siang, seorang Suster masuk ke Kamar sambil membawakan makan siang untuk Ubay. “Pak Ubay ini makan siangnya yah”, kata Suster saat meletakkan seporsi makanan diatas mejanya. “Terimakasih Suster”, Puspa menjawab lebih dulu diantara mereka. “Sebaiknya kalian makan siang dulu, biar aku menemani mas Ubay”, saran Puspa sambil menatap Angsa dan Ryan setelah suster berlalu keluar kamar. Mendengar pendapat Puspa, Ryan dan Angsa kaget dan membisu, mereka merasa terperangkap untuk jalan berdua, mereka merasa masih kikuk pasca perkenalan itu kemudian Puspa menyuruhnya jalan bersama. “Hiks, entar gue jitak lu ya Non”, sungut Angsa dalam hati dibalik senyuman kecilnya pada Puspa. “Bener juga”, sahut Ryan mencoba menanggapi situasi kaku saat itu antara Angsa dengan dirinya. “iya Bro, lu makan bareng Angsa dulu sanah”, andil Ubay menyepakati usulan Puspa itu. “Nanti titip sebungkus buat suster Puspa yang nemenin gue makan siang disini”, lanjut Ubay mencoba mencairkan kebekuan suasana sambil tersenyum pada Puspa. “Hahahahahaaaaa”, tawa mereka pecah bersamaan saat Ubay mengatakan ‘suster Puspa’ membuat aura kamar itu menjadi lebih ‘hidup’ dan membuat setiap hati semakin rileks. “Oke, gue ama Angsa keluar dulu kalau gituh”, pamit Ryan terdengar lebih santai pada Ubay dan Puspa. “Ya Tuhan, …kok gue grogi gini sih,..tenangkan aku Tuhan..”, rintih hati Angsa saat mendengar komentar Ryan itu. “Hati-hati di jalan”, kata Ubay dan Puspa berbarengan, melepaskan kepergian Ryan dan Angsa yang terlihat serasi saat berjalan berduaan. ** Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada dalam cabin mobil Ryan. Suara Saxxofone Kenny G terdengar memenuhi ruang cabin tersebut membuat dua hati insan yang baru saja kenal itu semakin nyaman. “Kita” suara Ryan dan Angsa berbarengan membuka pembicaraan yang akhirnya membuat mereka tertawa lucu. “Kamu dulu deh” lanjut Angsa masih dalam tawa kecilnya. “Oke, kita mao cari menu apa?” sambut Ryan dengan senyum. “Terserah mas Ryan aja” jawab tulus Angsa. “Kita makan di Betawie cafe PIM ya” usul Ryan sambil menatap Angsa mesra. “Setuju banget, sebagai warga Bogor, Saya jarang sekali nemu menu Betawie” jawab Angsa tersenyum. “Hahahaaa, tawa kecil Ryan menjawab komentar Angsa yang lucu tersebut. “Mas Ryan kerja dimana kalau Saya boleh tau?” lanjut Angsa melanjutkan percakapan. “Kebetulan aku lagi libur 2 mingguan setelah dinas di Qatar selama 6 bulan” jawab Ryan. “Oowwu kerjanya jauh sekali” jawab Angsa sedikit kaget. “Kasihan pacarnya ditinggal lama dan jauh” lanjut Angsa mulai memancing lebih jauh. Ryan terdiam sesaat mencerna komentar Angsa, ia mengingat Sara mantan kekasihnya yang telah menghianati cintanya. “Mungkin kamu benar” jawab Ryan. “Enam bulan lalu aku memutuskan kekasih ku setelah kepergok sedang berselingkuh dengan cowo laen” jawab Ryan panjang lebar sambil membayangkan kejadian itu. “Ups maaf, Saya membangkitkan kembali kesedihan mas Ryan” sambung Angsa serius. Kemudian hanya lagu going homenya Kenny G yang terdengar memenuhi cabin mobil Ryan. Mereka berdua terdiam, mengingat kisah cinta masing-masing yang belum beruntung. Mobil mulai memasuki ruang parkir PIM. Ryan tengah sibuk memarkirkan mobilnya, sementara Angsa curi pandang mengagumi dirinya tanpa diketahuinya. “Yuk” ajak Ryan pada Angsa memasuki Mall yang terletak tidak jauh itu dari RS tempat Ubay dirawat. Angsa tengah menulis menu kesukaannya di Restaurant tersebut tanpa sadar Ryan memperhatikan dirinya. Rambut lurus nan panjang itu diselipkan pada telinga kanannya terlihat anggun dimata Ryan. Sambil menatap pada Angsa, Ryan teringat kembali isi surat yang ditulis Angsa dan dibuangnya dalam kawah Gunung Gede yang ia temukan. Namun ia tak berniat membicarakan hal itu pada Angsa. “Bagaimana dengan kamu Angsa, kamu punya kekasih ?” pancing Ryan pura-pura tidak tahu. “Punya !” Jawab Angsa datar sambil menatap sedih pada Ryan. Sementara Ryan sedikit terkejut mendengar jawaban itu. “Tapi telah tiada” lanjut Angsa dengan mata mulai berkaca-kaca.”Saya sangat mencintainya tapi ia telah meninggalkan saya untuk selamanya” lanjut Angsa dengan air matanya yang mulai mengalir disamping tulang hidung mancungnya. Tanpa sadar Ryan spontan menjulurkan tangannya mengapus air mata itu dengan lembut. “Sudahlah lupakan pertanyaan ku itu”, bisik Ryan pelan. Mendapat perlakuan mesra itu jantung Angsa berdebar keras ada sesuatu yang selama ini menyesakan hidupnya kini hilang menjadi kedamaian bersama Ryan. “Tuhan, apakah orang dihadapan ku ini yang akan menggantikan Rama ?” suara hatinya berkata saat ia menatap mata Ryan. “Permisi, menunya sudah siap” suara waitress membuyarkan semua hati yang tengah gundah saat itu. “Terimakasih” jawab Ryan pada waitress, sementara Angsa sibuk menghilangkan jejak air mata di wajahnya dengan tisyu. “Oh ya, mba Saya pesan satu menu yang sama untuk dibungkus ya” pinta Angsa setelah mampu mengendalikan dirinya kembali. Dalam perjalan kembali ke RSPI, Ryan memutar lagu good bye nya air supply dalam cabin mobilnya. “Mas Ryan, maafkan perilaku saya di Restaurant tadi ya, semestinya saya tidak berlaku seperti itu pada orang yang baru saya kenal, Saya tidak bisa mengendalikan diri” kata Angsa sambil merunduk malu. “Ga papa Angsa, Aku memahami keadaan kamu sepenuhnya”, jawab Ryan terdengar bijak ditelinga Angsa. “Oh ya, kapan-kapan boleh aku mengajak kamu jalan-jalan ?” tanya Ryan menawarkan diri. “Tentu saja, jawab Angsa sambil menatap mesra Ryan. Mendengar jawaban itu Ryan sangat bahagia, dalam hatinya kabut yang selama ini menyelimuti kehidupan cintanya mulai sirna lalu berganti terang. Sementara itu di kamar 123A. “Mas, Aku boleh menemani kamu malam ini ?” Puspa menawarkan diri dengan tulus. “Nanti kamu sakit Puspa, disini dingin, aku khawatir” jawab Ubay memberi pengertian. “Tapi kalau malam nanti kamu butuh sesuatu gimana ?, biarkan aku menginap satu malam saja nemenin kamu disini yah” pinta Puspa sedikit memaksa. “Kalau memang kamu sudah berniat bulat, silahkan saja, tapiiiii jangan mendengkurnya ?” Jawab Ubay setengah bercanda pada kekasihnya itu yang pada akhirnya menerima cubitan kecil Puspa mendarat di betisnya. “Adooooh” teriakan Ubay manja mengisi udara ruang kamar tersebut. Tiba-tiba pintu kamar dibuka dari luar, Ryan masuk ke dalam sambil berkata pada sahabatnya itu ; “ada apa ?” dengan wajah serius. “Ini Bro, Susternya galak, masa gue dicubit” jawab Ubay bercanda Meledaklah tawa mereka semua di kamar itu memberi kehangatan persahabatan mereka semakin kuat dan bersahaja. Beberapa menit kemudia Puspa tengah menikmati makan siang yang diberikan Angsa kemudian dia berkata ; “Sa, malam ini gue nginap disini yah, nemenin mas Ubay” “Oke kalau begitu, tapiiiii serem juga gue nyetir sendiri sampe Bogor yah ?” Jawab Angsa sedikit ragu. “Gini aja, mobilnya dititipin Puspa, biar aku ngantar kamu ke Bogor, gimana ?” Ryan menawarkan bantuan pada Angsa dengan tulus. Angsa yang mendengarkan tawaran tersebut sambil menatap Puspa mendapatkan kedipan mata sebelah kiri Puspa tanda dia menyuruh Angsa menjawab “iya” pada Ryan. “Mmm, Okelah kalau begitu” jawab Angsa menyembunyikan rasa bahagianya. “Gimana kalau sekarang saja, aku harus ngontrol anak-anak di Kantor”, lanjut Angsa bersemangat. “Oke, gimana Bro, gue tinggal ya?” tanya Ryan pada Ubay. “Siip” jawab Ubay sambil memberikan jempol kanannya pada Ryan. ** Setelah menunaikan sholat Dzuhur, Ryan bersama Angsa berangkat ke Bogor mengantarkan Angsa kembali ke Kantornya di Jl Padjajaran. Angsa terlihat nyaman begitu juga Ryan, mereka sangat menikmati perjalan itu dihibur dengan lagu-lagu Jazz karya SADE yang diputar Ryan pada kesempatan kali itu. Dalam benaknya, Angsa terus berjuang menggantikan bayangan Rama dengan Ryan. Dia sangat menyukai semua yang ada pada Ryan tentu tanpa mengatakannya pada Cowo ganteng bertubuh 175 cm yang sedang menyupir disamping kanannya itu. “Mas Ryan, ga cape ngantar Saya?” Angsa membuka percakapan kali ini. “Ga laaah” jawab Ryan santai sambil tersenyum menatap Angsa. Angsa terdiam, dia memikirkan agar tidak merepotkan Ryan lebih jauh. Dia tidak tega Ryan mengantarkan ke Kantornya lalu pulang ke tempat Kostnya. “Kasihan nanti dia cape” bisik hati Angsa. Kemudian dia meraih HPnya dan menelpon seseorang ; “Halo Heru, saya ga balik ke kantor kalau kamu mau pulang tolong kunci pintu ruangan saya yah?” suara Angsa di HP nya yang terdengar Ryan disebelah kanannya. Kemudian memutuskan telponnya setelah selesai. “Mas, kita ke tempat Kost saya aja yah”, pinta Angsa pada Ryan dengan lembut. “Oke kalau begitu” jawab Ryan tak keberatan. Pintu tol baranangsiang tinggal 2km lagi, mereka akan keluar tol dan mengarah ke Tajur tempat kost Angsa. “Saya kost bersama Puspa” suara Angsa memberitahu. “Dua Kelok lagi kita akan sampai” lanjut Angsa tersenyum menatap Ryan yang sedang memperhatikan jalan. 5 menit kemudian mereka sampai didepan sebuah Rumah besar dengan halaman luas yang memiliki taman bunga kecil disebelah kanannya. “Saya turun dulu ya mas, untuk membukakan gerbang” suara Angsa menyadarkan Ryan yang sedang terpesona dengan keasrian lingkungan rumah itu. “Oh, ya ya”, jawabnya sadarkan diri. Angsa kemudian turun dan mendorong pintu gerbang tersebut kemudian Ryan perlahan memasukan mobilnya ke halaman. “Kita ngeteh dulu yah ?” pinta Angsa setelah Ryan turun dari mobilnya. “Ah ga usah repot-repot Angsa” jawab Ryan serius. “Engga Kok, kan ada bi Siti” kata Angsa singkat kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. Setelah lihat-lihat taman itu Ryan akhirnya duduk di beranda depan sambil terus memandang rindangnya hijau daun yang mendominasi rumah tersebut. “Rumah ini begitu tenang dan nyaman” bisik Ryan dalam hati setelah duduk diatas kursi taman yang terbuat dari besi itu. “Akhir sampai juga ya mas?” suara Angsa dari dalam sambil membawakan teh hangat untuk mereka berdua. Ryan tersenyum sesaat pada Angsa yang mengantar minuman kemudian kembali melemparkan pandangannya pada pohon-pohon besar dipinggir halaman yang memberi keteduhan. “Kenapa mas, kelihatannya suka banget sama suasana halaman ini?” tanya Angsa sambil tersenyum pada Ryan. “Aku selalu suka alam hijau, dan disekitar sini didominasi dengan pohon-pohon berdaun rindang” jawab Ryan dengan mata berbinar bahagia. “Syukur deh, jadi mas Ryan bisa langsung melupakan keletihan selama perjalanan” sahut Angsa ramah. “Ayo diminum teh nya Mas” lanjut Angsa. Kemudian mereka berdua menikmati teh hangat itu berbarengan. “Tanggal berapa mas Ryan kembali ke Qatar?” tanya Angsa membuka percakapan “20 Desember” jawab Ryan singkat. “Trus,…. balik lagi ke Jakarta kapan?” lanjut Angsa. “Bulan Juli 2021 insyaallah” sahut Ryan ringan. “Mmmm lama yah ?” sambung Angsa sedikit tampak kecewa. Ryan tersenyum mendengar jawaban Angsa. “Iya aku sepertinya juga bisa kangen setengah mati sama kamu Angsa” bisiknya dalam hati. Sementara Angsa terdiam dia berkata dalam hati “Tuhan… aku bisa mati karena rindu padanya, hiks”. Kemudian dia bersiasat untuk memuaskan hari-harinya bersama Ryan sebelum tiba tanggal 20 Desember. “Mmm, hari Sabtu mas Ryan ada acara ga ?” tanya Angsa pelan. “Ada !” Jawab Ryan tersenyum menatap wajah kecewa Angsa mendengar jawabannya itu. “Aku sudah janji dalam hati akan mengajak pergi seorang wanita cantik yang baik hati” lanjut Ryan memancing reaksi Angsa. “Siapa?” tanya spontan Angsa tak dapat menyembunyikan rasa keingintahuannya. “Angsa Delia Rinjani” jawab Ryan menggoda Angsa, kemudian ia tersenyum menatap Angsa. Wajah Angsa tersipu malu, tak ayal kemerahan dikedua bukit pipinya tampak juga. “Serius?” tanya Angsa menyembunyikan rasa groginya saat itu. “Yup, aku akan mengajak kamu kemana kamu suka” sambung Ryan dengan percaya diri. Dalam hatinya Angsa teriak kegirangan mendengarkan semua itu. Kejadian itu telah membuatnya salah tingkah dihadapan Ryan. Sudah sekian lama rasa seperti itu tidak dia rasakan dan akhirnya air mata haru keluar tanpa disengaja. “Kamu nangis ?” Kenapa ?” tanya Ryan kaget campur takut kata-katanya melukai perasaan orang yang baru saja ia cintai itu. Angsa menggeleng sambil menghapus air matanya seraya tersenyum manis pada Ryan. “Tuhan,…apakah aku sudah jatuh cinta padanya” bisik hati Angsa sambil tertunduk malu karena perasaan cintanya diketahui Ryan. Hari mulai gelap seiring percakapan mereka yang tiada sedikit pun rasa bosan itu terus berkelanjutan, namun akhirnya Ryan harus pamit pulang. “Aku pamit dulu ya, hari Sabtu aku akan menjemput kamu disini, insyaallah” pamit Ryan pada Angsa. “Yah,… hati-hati dijalan ya mas” sahut Angsa bernada mesra terdengar ditelinga Ryan. ** Malam itu Angsa kembali merasa sepi di kamarnya. Puspa menginap di RSPI menemani Kekasihnya yang harus dirawat akibat kecelakaan lalulintas. Angsa duduk termenung menghadap meja kerjanya, matanya menatap sebuah bingkai foto kecil dimana gambar mendiang Rama bersama dirinya berfoto bersama disebuah kesempatan liburan beberapa tahun lalu dipajang diatas meja tersebut. Air matanya kembali membasahi wajah dukanya saat itu. Sesaat kemudian dia membuka diarynya dan meraih sebuah ballpoint bertinta hitam lalu menuliskan ; “Dear Diary, Sejatinya hari ini adalah sebuah kedukaan atas kecelakaan yang menimpa Kekasih sahabatku Puspa… Sejatinya hari ini Aku mengingat kembali apa yang dulu menimpa Rama hingga tewas… Tapi rasanya Aku teramat gembira hari ini, entah mengapa?… Sepertinya Aku baru saja menemukan sumber mata air cinta yang bertahun-tahun telah kering kerontang… Duhai mendiang yang dulu Aku cintai, maafkan Aku yang telah menemukan teman hati sepi ku selama ini… Maafkan Aku, bahwa kenyataan cinta memang harus mati setelah kematian terjadi pada Kekasihmu ini… Maafkan Aku, karena mencintai dirinya… Angsa Delia Rinjani” Kemudian dia menutup diarynya itu, kini dia membuka FB nya membaca status teman-temannya sambil terbaring diatas dipannya untuk lupakan sesaat apa yang tengah dihadapi dalam hidupnya. ***** Sementara ditempat lain, Ryan tengah berbaring di kamarnya, membayangkan kembali apa yang telah dialaminya bersama Angsa siang hari tadi. Lalu terdengar suara ketukan pintu kamarnya. “Masuk mpo”, sahutnya setengah bercanda pada Shinta yang mengetuk pintu tersebut. “Hey, kenapa ? Ngelamun ya ?” tanya Shinta melihat Adiknya yang sedang terbaring. “Gimana keadaan Ubay ?” lanjut Shinta “Ubay is fine, Sist, cuma mendapatkan beberapa jahitan dikepala dan bahunya, tidak ada yang patah atau retak” sahut Ryan panjang lebar seraya bangkit dan duduk dipinggir dipannya. “Mmh syukur deh” sambung Shinta pendek. “Oh yah, tadi pagi Angsa tiba-tiba membatalkan pertemuan katanya ada keperluan mendesak, jadi Gue juga ga ketemuan ama dia hari ini” lanjutnya menceritakan harinya pada Ryan. “Aku bertemu Angsa hari ini Ka” sahut Ryan pelan sambil menatap Kakanya dengan senyuman gembira. “Really ?? How come ??” tanya Shinta seperti tak percaya apa yang didengarnya dari Ryan. “Ternyata kekasihnya Ubay adalah sahabatnya Angsa dan kami semua bertemu di RSPI tanpa sengaja” Ryan menjelaskan dengan santai. “TRUS, TRUS ??” buru Shinta bersemangat ingin mendengar kelanjutan cerita Ryan. “Gue jatuh, Sist, jawab Ryan bersandiwara kesedihan. “Jatuh dari mana ??” tanya Shinta penasaran pada Ryan yang tertunduk menatap lantai. “Gue jatuh cinta, hahahaaa..” jawab Ryan sambil menghindar cubitan Kakanya yang merasa dibohongi adik satu-satunya itu. “Hey cumi !” Jangan lari lu” suara Shinta gemas sambil mengejar Ryan yang lari dari kamarnya menuju ruang TV. “Mamaaaah, Ka Shinta melakukan KDRT neeeeh..” Teriak Ryan manja pada Mamahnya yang sedang asyik nonton Sinetron sendirian. Chapter 5 Angsa sedang terlibat dalam sebuah diskusi pagi itu di ruang kerjanya bersama salah seorang staffnya. “Nanti layout halaman 15 kamu koreksi sedikit, gambar ini kamu pindah ke bagian atas, sedangkan text nya dibawahnya, dan warna background tulisan ini pilih biru cayen supaya terlihat lebih cerah” sarannya panjang lebar pada Aisyah staff designernya. “Baik mba” jawab Aisyah mantap. Kemudian Aisyah keluar ruangan itu menuju meja kerjanya kembali. “Is” Boss ada ?” tanya Puspa yang baru saja datang ke Kantor pada Aisyah. “Ada mba, di ruangannya” sahut Aisyah bersahabat. Kemudian Puspa meneruskan langkahnya menuju ruang kerja Angsa. “Puspa ?, lu kok dah balik?” sapa Angsa terkejut melihat kedatangan Puspa. “Iyah, mas Ubay juga sudah pulang ke rumah, kondisinya membaik” jawab Puspa terlihat bahagia. “Tadi aku antar dia sampe rumahnya” lanjut Puspa sambil menarik bangku di depan meja kerja Angsa. “Trus, gimana kisah lu diantar sama Ryan kemarin ?” pancing Puspa pada sahabatnya itu sambil tersenyum. “Sebentar” jawab Angsa pendek lalu berjalan menuju pintu ruangan dan menutupnya. Setelah kembali duduk di kursinya, Angsa menatap tajam pada mata Puspa lalu berkata : “kayaknya gue jatuh cinta sama dia, Pus” lanjut Angsa dengan wajah serius. “Oh ya ?” teriak bahagia Puspa spontan. “Harus diraya’in dooong” ejek Puspa setengah bercanda. “IH ! lu tu ya, kebiasaan, nodong makan gratis ” ,protes Angsa menyembunyikan rasa malu’nya pada Puspa. “Alhamdulillah klo gitu, sahabat gue bakal ga jadi patung hidup lagi, yang bikin gue prihatin sepanjang hari” sambung Puspa sambil menatap bahagia kearah Angsa yang masih terlihat malu. “Oh iya, Sabtu besok gue mao liatin kondisi mas Ubay dirumahnya yah, sorry kita ga liburan bareng lagi” canda Puspa berlanjut. “Sama dong, gue juga mao jalan sama mas Ryan, weeeek ” balas Angsa dengan ledekan yang lebih ganas. “Oh ya ??” Puspa terkejut lagi mendengarkannya. “Kalo gitu kapan-kapan kita pacaran bareng ya, pleaseeeee..” lanjut Puspa bermanja pada Angsa. “Ga aahhhh” canda Angsa lagi, “udah kerja lagi sana, yang kemarin udah numpuk di meja lu tuh”..sambung Angsa pelan. “Oke Boss, mmmuaaachh” jawab Puspa manja. Angsa tertawa kecil melihat kelakuan sahabatnya itu yang kemudian beranjak menuju ke ruang kerjanya. Kini angannya kembali terbang, membayangkan sosok Ryan yang mulai membuatnya Rindu setelah tak bertemu satu hari saja. Sedetik kemudian ia memiliki ide untuk mengirimkan sms pada Ryan mengobati rindu di hatinya. Lalu ; “ah ! Stupid !! Blo’on ! Masa gue lupa minta nomor HP nya” sungut Angsa dalam hati yang kemudian membatalkan niatnya itu. Dengan sedikit rasa malu, ia menulis email ke Puspa. “Non, punya no HP Ryan ga ?

:(

” tulis Angsa pada emailnya dan siap diledekin Puspa lagi. “Hahahaaa, kumaha atuh neng Geulis masa lupa minta no HP sama Arjuna na’ ?” tulis Puspa pada emailnya. “Sebentar gue tanya mas Ubay dulu ya” lanjutnya diparagraf berikutnya. “Jangan lama !

:)

” balas Angsa diemail berikutnya. “Grgrgrgr, grgrgrgr, grgrgrgr”. HP Ryan diatas meja belajar kamarnya bergetar tanda sebuah SMS masuk. Ryan sedang serius mengolah foto hasil hunting beberapa hari lalu bersama Ubay di Laptopnya, kemudian ia terhenti untuk melihat SMS tersebut. “Mas, terimakasih kemarin menemani saya sampai rumah, …Angsa” tulis sms yang dibacanya itu. Wajah Ryan mendadak berseri-seri membaca sms itu yang ternyata berasal dari HP Angsa. “Aku juga senang menemani wanita cantik dan baik hati sampai tempat tinggalnya

:)

” balas Ryan dalam sms Angsa. Membaca sms balasan dari Ryan itu, Angsa tersenyum wajahnya kembali memerah tersipu mendapat pujian itu. Sms cintanya yang pertama kali sejak beberapa tahun lalu. ** Sabtu 12 Desember 2020. Angsa duduk diteras depan sambil membaca majalah terbitan terakhir perusahaannya, menunggu Ryan pagi itu. Ia terlihat anggun mengenakan baju Cinderellanya yang berwarna putih dan biru diserasikan dengan sepatu santai seperti sepatu ballet berwarna putih. 5 menit yang lalu Puspa berpamitan padanya untuk menjenguk Ubay di patal senayan tempat tinggalnya. Sesekali ia melirik jam tangan yang melingkar manis ditangan kanannya, gelisa menunggu kedatangan Ryan yang tak kunjung tiba. Jam 7 tepat, suara Klakson mobil terdengar dari arah pintu gerbang. Angsa bergegas membuka pintu kecil lalu menutupnya kembali dan masuk ke dalam Mercedes Putih tersebut. “Kita langsung berangkat aja ya Mas” ajak Angsa pada Ryan setelah duduk disamping kirinya. “Oke manis, sahut Ryan. “Kamu cantik sekali hari ini” lanjut Ryan memujinya sambil tersenyum kemudian langsung kembali mengendarai kendaraannya. “Kita kemana hari ini ?” tanya Ryan bersemangat sambil menatap teduh pada Angsa. “mmmm kalau ke Tangkuban Perahu, mas Ryan mau ?” tanya Angsa lembut. “Let’s go” sahut Ryan semangat, mencoba membuat Angsa bergembira. Ryan berusaha membuat suasana hari itu menyenangkan bagi Angsa dengan memutar CD Bon Jovi yang mulai terdengar syairnya : “feeling like a Monday but someday I’ll be your saturday night, hey, hey..” Sesekali dalam perjalanan itu Ryan melirik ke arah Angsa yang sedang menatap ke depan dengan santai. “Oh iya, di belakang mu ada seikat mawar putih yang sengaja aku belikan di jalan Padjajaran tadi” kata Ryan ditengah perjalanan. “Masa ?” sahut Angsa tak percaya sambil memutar badannya dan mengambil bunga yang diletakkan di bangku belakang itu. “Ada kartunya mas” Kata Angsa mulai merasakan debar di Jantungnya kian kencang. “Iya, bacalah” sahut Ryan yang juga tampak tegang. Kemudian perlahan Angsa melepas ikatan rajutan pita pada kartu itu lalu membacanya ; “Angsa, mungkin ini tidak seromantis yang kamu inginkan, tapi bila terlalu lama aku pendam bisa membuat ku gila rasanya,..; Aku jatuh cinta pada kamu… dari orang yang mengharapkan cintamu….Ryan” isi tulisan dalam kartu itu. Selesai membacanya Angsa perlahan menghadapkan wajahnya ke arah Ryan lalu berkata : “Bagaimana kamu bisa mencontek kalimat itu dari hati Saya mas Ryan” jawab Angsa pelan hampir tak terdengar dengan butir air mata bahagia membasahi pipinya. “Apakah itu bertanda YA ?” tanya Ryan penasaran. “Yah” jawab Angsa malu-malu sambil menatap kembali kartu dan ikatan mawar putih yang dipegang dalam pangkuannya itu. “Terimakasih, sayang” lanjut Ryan lembut. Tanpa terasa mobil yang mereka tumpangi itu sudah tiba di Tangkuban perahu. Ryan mulai sibuk memarkirkan mobilnya pada barisan mobil yang masih lengang pagi itu. Suasana masih teduh dan sepi ketika mereka tiba di tempat wisata tersebut. Ryan keluar lebih dulu dari mobil kemudian Angsa menyusul. Tanpa sungkan lagi, Angsa memberanikan diri menggenggam telapak tangan Ryan saat mereka berjalan-jalan menikmati keindahan pemandangan dan udara yang segar. Mereka berdua jalan perlahan menelusuri pegunungan itu bergandengan tangan tanpa sepatah katapun. Ada perasaan damai setelah ungkapan hati telah terjadi didalam mobil selama perjalanan tadi. Bagi Angsa kegundahan isi hatinya telah terjawab dan tak perlu meragukan lagi apa yang telah ia dengarkan dari Ryan yang hari itu resmi menjadi kekasihnya. Ryan memenuhi janjinya untuk membuat bahagia Angsa pada hari itu. Sesekali Angsa terlihat tertawa dan bercanda bersama Ryan. Mereka cepat sekali menyesuaikan diri sebagai sepasang kekasih. Ryan adalah seseorang yang mencari kesetiaan dan Angsa memiliki apa yang ia cari. Ditengah keasyikan bercengkramah, tiba-tiba langit berganti gelap dan 5 menit kemudian turun hujan lebat, mereka terlihat lari bersama mencari tempat berteduh namun menemukannya setelah hampir separuh pakaiannya basah karena hujan. Angsa masih tertawa riang ketika menatap Ryan ditempat berteduh yang mereka tumpangi itu. Sebagian rambut panjangnya yang lurus itu tampak membasahi kepalanya. Masih sambil berdiri berdekatan Ryan membelai rambut Angsa yang basah lalu menghapus butir-butir air hujan yang masih membasahi wajah ceria Angsa dengan lembut. Sebuah bahasa cinta yang dalam dari Ryan ditangkap oleh Angsa dan diresapinya dengan hikmat sambil menatap dalam-dalam ke mata Ryan. Kemudian tak kuasa menahan perasaan bahagianya, Angsa memeluk Ryan erat seolah ingin memperdengarkan irama cinta detak jantungnya. Angsa mendapatkan kecupan sayang didahinya saat itu dari Ryan kemudian mengajaknya mencari makan siang setelah hujan sedikit mereda. Kemudian mereka berdua berlari kecil menghindari hujan menuju mobil yang berjarak sekitar 30 meter dari tempat itu. Namun tiba-tiba Angsa terjatuh lemas tak sadarkan diri, membuat Ryan terkejut setengah mati melihat kekasihnya terkulai tak bergerak diatas tanah. “Angsa, Angsaaa, Angsaaaa” teriak Ryan panik mencoba menyadarkan Angsa. Namun wajah Ryan semakin tegang ketika menyadari wajah Angsa terlihat sangat pucat dan bibirnya membiru. Ryan mengangkat tubuh Angsa dan membopongnya ke arah mobil menghindari rintik hujan yang terus membasahi mereka. “Haloo, mas Rijal ?” saya Ryan minta pertolongan mas, ” suara Ryan panik dari dalam mobil menelpon Pilot Halycopter yang beberapa waktu lalu di charternya. “Ada apa mas Ryan ?” sahutnya terdengar di HP Ryan. “Berapa lama terbang dari PD Cabe ke Tangkuban Perahu, mas? Saya butuh pertolongan mengantar orang sakit, sepertinya sudah akut” jawab Ryan memperjelas. “Kalau awannya tipis, mungkin sekitar 30 menit mas Ryan” jawab Rijal dengan yakin. “Ok bisa saya tunggu mas Rijal ?” pinta Ryan sedikit memaksa. “Baik mas Ryan, saya menuju sana” jawab Rijal sang Pilot itu membuat sedikit lega pikiran Ryan. “Ok mas Rijal, makasih sebelumnya” jawab Ryan singkat Kemudian Ryan menghubungi Ubay. “Halo, Bro, Puspa lagi sama lu ga?” tanya Ryan masih agak panik. “Ada, memang ada apa?” Jawab Ubay sedikit khawatir mendengar Ryan tergesa-gesa seperti itu. “Angsa pingsa Men, gue berdua lagi di Tangkuban Perahu, gue mau tanya Puspa mungkin dia tahu penyebab pingsannya?” lanjut Ryan menjelaskan. “Halo mas Ryan, ada apa?” suara Puspa mulai terdengar setelah Ubay memberikan HP nya pada Puspa. “Angsa pingsan, kamu tahu ga penyebabnya ? tanya Ryan to the point. “Angsa ? Hiks suara Puspa terdengar menangis. “Mungkin maag nya kambuh mas Ryan, dari semalem dia ga mau makan hingga berangkat pagi ini sama mas Ryan” lanjut Puspa diselingi suara tangisnya. “Oke, gue udah tahu penyebabnya sekarang, nanti gue bawa ke RS Hasan Sadikin ya” jawab Ryan memutuskan tindakan. “Iya mas, Aku akan menuju Bandung sekarang” jawab Puspa masih sambil gemetar mengkhawatirkan keadaan Angsa. Chapter 6 Helicopter yang mengangkut Angsa dan Ryan pagi itu sudah mendarat mulus di atap gedung RS Hasan Sadikin. Beberapa orang petugas UGD berpakaian putih tampak bersiap disekitar HaliPad untuk memberikan pertolongan cepat. Suara gaduh roda-roda kecil hampir menarik semua mata memandang mereka ketika bergegas mendorong dipan Angsa sambil berlari kecil untuk memasuki ruang ICU. Ryan terlihat tegang berlari paling belakang dalam rombongan itu. Pandangannya terus menatap pada Angsa yang masih belum sadarkan diri dengan perasaan was-was hingga akhirnya salah satu perawat mengingatkannya. “Maaf mas tunggu disini saja” katanya tegas. Beberapa detik kemudian Ryan hanya menatap pintu ruang ICU yang kini tertutup rapat dihadapannya. Pikirannya mulai membayangkan hal-hal terburuk yang mungki saja terjadi disetiap detik. “Angsa kamu jangan pergi dulu” bisiknya meratapi peristiwa itu sambil menatap ke atas. Tiba-tiba HP nya bergetar, sebuah nomor yang tampak asing terlihat di HP nya. “Halo” suara Ryan terdengar di HP Puspa. “Mas Ryan, gimana keadaan Angsa?” tanya Puspa khawatir. “Oh kamu Puspa, sudah dimana?” suara Ryan balik bertanya. “Sejam perjalanan lagi, aku dan mas Ubay sampe di Bandung mas, tenang yah?” pinta Puspa pelan. “Angsa sekarang di ruang ICU tapi sudah 15 menit belum ada satu orang dokter pun yang keluar dari ruangan itu mengabarkan kondisi terakhirnya”, sambung Ryan terdengar gundah dan pasrah. “Sabar ya mas” jawab Puspa setengah menangis. Ryan kembali ke kursi tunggu dengan malas setelah telponnya diputus. Pikirannya mengingat kembali bagaimana Angsa terjatuh tak sadarkan diri dengan wajah pucat pasi. Beberapa saat kemudian pintu ruang ICU terbuka, tampak seorang pria berjubah putih sedang melepaskan masker hijaunya di depan pintu tersebut, kemudian Ryan bergegas menghampirinya. “Gimana keadaannya Dok ?”tanya Ryan dengan wajah tegang. Namun sang dokter tertunduk lemas menatap lantai sembari menghapus butir keringat di dahinya. “Kalau saja telat beberapa menit, mungkin si Pasien tidak tertolong lagi, mas….siapa maaf ?” bilang sang dokter pada Ryan. “Ryan, saya Ryan dok, syukur alhamdulillah…”sambung Ryan bernafas lega.”Terimakasih dokter”, lanjut Ryan sambil menatap dalam-dalam pada dokter. “Baik mas Ryan, saat ini Pasien sudah sadar tetapi detak jantungnya masih lemah, mohon jangan diajak bicara dulu sampai jantungnya kembali normal” jelas sang dokter lagi sebelum meninggalkan Ryan sendirian di depan pintu ruang ICU tersebut. Tanpa disuruh, perlahan Ryan melangkah memasuki ruangan tersebut mendekati Angsa yang tengah terbaring lemah, dimulutnya terpasang masker oksigen sementara tangan kirinya terdapat selang infus yang menjuntai. Angsa masih terpejam saat itu tidak menyadari keberadaan Ryan yang tengah duduk disamping kiri dipannya. Tak sepatah katapun terucap dari bibir Ryan saat menatapnya. Namun perlahan Ryan membelai poninya yang terurai diatas keningnya dengan lembut. “Tubuhnya masih dingin” suara hatinya berbicara setelah menyentuh kening Angsa. “Angsa, kamu jangan pergi dulu” bisiknya lagi sambil menggenggam jemari kanan Angsa dan menciumnya mesra hingga meneteskan air matanya. “maaf mas, Pasien akan dipindah kamar dulu” suara Suster menyadarkan Ryan dari dukanya. Ryan perlahan bangkit dan mengikuti Suster yang mulai mendorong dipan Angsa ke Kamar lain. Sekitar 3 meter mereka mendorong, terdengar suara memanggilnya dari belakang. “Mas Ryan, mas !” teriak Puspa memanggilnya dari kejauhan. Kemudian Ryan menoleh ke belakang dan melihat lambaian tangan Puspa disamping Ubay. Ryan tersenyum lega menatap kedatangan mereka. Kini wajahnya mulai berangsur tenang. Beberapa saat kemudian, akhirnya mereka berkumpul mengelilingi Angsa di Kamar Anggrek 1. Ryan berdiri disebelah kanannya, sementara Puspa dan Ubay berdiri disebelah kirinya. Mereka semua membisu menatap Angsa yang masih pucat pasi itu. Puspa terus meneteskan air matanya sambil duduk dikursi samping kiri Angsa, ia menyesali sahabat karibnya yang tinggal sebatang kara ini mengalami sakit maag akut. “Untungnya sekarang ada mas Ryan yang akan menjagamu, sayang” bisik hatinya iba saat mengusap air matanya. “Bro, gue tinggal dulu sebentar, mao ambil mobil di Tangkuban Perahu” suara Ryan pelan memecahkan keheningan kamar itu pada Ubay. “Lho, lu tadi antar Angsa pake apa ?”tanya Ubay bingung seperti halnya bahasa tubuh Puspa yang menatap bingung pada Ryan. “Tadi minta tolong Heli yang tempo hari kita pake Hunting” jawab Ryan pelan.”Gue tinggal dulu yah “, ulang Ryan berpamitan kepada mereka berdua. “Trus lu kesana pake apa ?” tanya Ubay lagi masih penasaran. “Pake Heli lagi, tuh mas Rijal udah lama menunggu di depan”, sahut Ryan pelan. “Oke deh, nanti lu jangan ngebut yah”, sambung Ubay serius lalu menatap sahabatnya itu pergi bergegas keluar kamar. 10 menit kemudian Angsa membuka matanya lalu didapatinya Puspa menatap pada dirinya dengan linangan air mata. “Puspa !”…aduuh kepala gue sakit” kata Angsa lemah. “Angsa”, teriak kecil Puspa girang melihat Angsa sudah terbangun. “Jangan banyak gerak dulu sayang” lanjut Puspa sambil mengembangkan senyum gembiranya. “Gue dimana?” suara Angsa lagi terdengar lemah. “Mas Ryan mana ?” lanjutnya dengan butir air mata mulai muncul diujung kelopak matanya. “Ryan lagi ngambil mobil Angsa, nanti dia balik ke sini lagi” jawab Ubay mencoba menenangkan hati Angsa. “Maag lu kambuh lagi sayang, makanya dibawa ke sini”, kata Puspa sambil mengusap kening Angsa lembut. “Trus ini dimana ?” tanyanya lagi masih dengan suara lemah. “RS Hasan Sadikin, sayang”, sahut Puspa pelan sambil tersenyum.”Tenang aja ya” lanjutnya menenangkan Angsa. “Mas Ryan mana, gue mao pulang aja Puspa” suara Angsa setengah menangis menyesali liburan mereka yang berakhir duka itu. “Iyah, nanti kita pulang bareng kalau lu udah kuat lagi yah” jawab Puspa lemah lembut sambil membelai rambut Angsa pelan. Angsa menatap ke atas dengan mata berkaca-kaca, air matanya perlahan mengalir kembali membasahi pipinya, entah apa yang tengah dipikirkannya hingga membuatnya menangis seperti itu. “Kasihan mas Ryan” gumamnya lirih, pelan hampir tak terdengar oleh Puspa. “Sudahlah, jangan nangis lagi ah” pinta Puspa pelan sambil menghapus air mata Angsa. Hari mulai menginjak senja, keadaan Angsa berangsur pulih dengan bantuan infus yang tertanam di tangan kirinya, wajahnya sudah tak lagi terlihat pucat. Puspa dan Ubay sudah sepakat akan menemani Angsa malam itu menunggu kondisinya semakin baik. ** Dalam perjalanan menuju RS, Ryan terus memikirkan keadaan Angsa, ia mencoba terus sabar berjalan perlahan ditengah arus lalulintas kota Bandung yang padat dimalam minggu itu. Sesaat kemudian Mobilnya memasuki parkiran sebuah Mall untuk membeli makanan serta satu stel pakaian untuk menggantikan pakaian Angsa yang agak kotor akibat terjatuh di Tangkuban Perahu pagi tadi. Lampu-lampu jalanan kota Bandung kini sudah tampak menerangi wajah kota Paris van Java itu saat ia meninggalkan Mall tersebut. “Satu lampu merah lagi Aku akan tiba di RS itu, bisiknya dalam hati. Setelah memarkirkan mobilnya didepan pintu utama RS Hasan Sadikin, Ryan keluar dari mobil dan menuju Kamar Anggrek 1 sambil menjinjing belanjaan ditangan kirinya. “Assalamu alaikum” suara Ryan sambil membuka pintu kamar dan mendapati Angsa terduduk diatas dipannya mengerjakan sesuatu bersama Puspa pada Laptop yang dibawa oleh Puspa. Sementara Ubay duduk di ruang tamu sambil membaca koran terbitan lokal. “Mas Ryan” sapa Angsa senang melihat dirinya kembali. “Kamu bawa apa?” tanya Angsa penasaran. “Ooh ini sedikit makanan dan celana Jeans beserta kaos untuk mengganti pakaianmu yang terlihat sedikit kotor akibat jatuh” jawab Ryan sambil tersenyum hangat. “Kamu udah pulih ?” Kok udah kerja aja ?” lanjutnya setengah protes pada Angsa. Mendengar komentar itu, Ubay dan Puspa tersenyum melihat Angsa yang terlihat tertunduk salah tingkah. “Aku ga pa pa Kok, mas” jawab Angsa masih tertunduk. “Besok kita pulang yah ?” lanjutnya sambil menatap manja pada Ryan. Ryan berjalan ke arah dipannya setelah meletakkan belanjaannya di meja tamu, lalu duduk dipinggir dipan, memandangi wajah Angsa lama begitu juga sebaliknya dengan Angsa. “Kamu masih sakit, kenapa buru-buru mao pulang, sayang” suara bisik Ryan pada Angsa sambil menatap matanya. “Aku boring maaas” rengeknya pada Ryan.”Oh iyya, makasih Jeans dan kaosnya yah, mudah-mudahan ga kegedean” lanjut Angsa dengan senyum manisnya. “Dok, dok !”, suara ketuk pintu menyita perhatian mereka semua menatap ke arah pintu. “Nona Angsa, waktunya minum obat ya” kata seorang Suster sambil berjalan menuju Angsa dengan membawa beberapa macam obat ditangannya. Angsa tersenyum padanya kemudian perlahan meminum habis obat tersebut. Tak berapa lama Suster itu pergi setelah membereskan semuanya. “Dah, sekarang sebaiknya kamu berbaring lagi, istirahat yang cukup supaya besok pagi kembali sehat yaaaah”, suara Ryan menasehati Angsa. Chapter 7 “Sebenarnya kondisi Non Angsa belum cukup kuat mas Ryan,..tapi kalau memang mau pulang, saya tidak bisa menahan” kata Dokter mencoba mengerti saat Ryan menemuinya minggu pagi itu. “Tolong nanti Mas Ryan mengingatnya untuk minum obat yang saya resepkan ini dengan teratur, supaya cepat pulih kembali kesehatannya”, sambung dokter sambil menuliskan resep untuk Angsa. “Baik dok, akan saya ingat pesan dokter”, jawab Ryan bersungguh-sungguh. “Gimana mas, kita pulang sekarang ?” tanya Angsa serius saat Ryan kembali dari ruangan dokter. Ryan hanya menatap Angsa sambil tersenyum kecil menghiraukan pertanyaannya. “Kenapa mas ?” tanya Angsa heran melihat kelakuan Ryan. “Kamu tetap cantik meski hanya mengenakan kaos dan celana jeans, sayang” jawabnya menggoda Angsa yang pagi itu mengenakan pakaian yang dibelikannya tadi malam. “Huu, dasar gombal” jawab spontan Angsa dengan tersipu-sipu sambil mencubit mesra perut Ryan dengan mimik gemes. Tiba-tiba dari arah pintu : “Haaaaaiii, sarapan dulu yuu” teriak Puspa dengan riang yang datang bersama Ubay sambil membawa nasi bungkus padang. Setelah semua urusan admistrasi selesai mereka semua berjalan menuju mobil masing-masing. “Bro, kita lewat Puncak ya” teriak Ryan saat Ubay akan menutup pintu mobil Puspa yang akan dikendarainya. “Oke kalau gitu, lu duluan ya, gue ikutin dari belakang jawab Ubay santai. “Sip”, jawab singkat Ryan kemudian masuk ke dalam mobilnya. Kemudian mereka beriringan menelusuri jalan-jalan kota Bandung tersebut menuju Bogor tempat kost Angsa dan Puspa melalui jalur Puncak. “Kok diem aja, Say?” Ryan membuka percakapan pada Angsa yang berdiam diri ditengah irama lagu Kenny G yang diputar Ryan di cabin mobilnya saat itu. “Mikirin apa sih ?” lanjut Ryan kembali memancing dirinya. “Minggu depan kamu akan kembali ke Qatar, entah apa rasanya tanpa mas Ryan selama 6 bulan itu” jawab Angsa terdengar sedih. Ryan terdiam mendengarkan curhat Angsa yang tidak terduga itu. “Aku juga akan merindukan kamu Angsa”, jawab Ryan sambil bertatapan mata dengan Angsa. “Satu hal yang aku inginkan dari kamu adalah sembuhkan sakit maag itu dengan sungguh-sungguh, karena sudah akut kata dokter saat membawa kamu ke RS kemarin siang”, sambung Ryan dengan wajah serius menatap Angsa. “Aku ga ingin terjadi hal seperti kemarin itu saat aku berada di Qatar nanti, aku pasti jadi ga tenang”, lanjut Ryan lagi. Angsa mengeluarkan air mata haru mendapat perhatian seperti itu dari Ryan. Selama ini hanya Puspa yang melakukan seperti itu sejak Rama meninggal dunia 3 tahun lalu. Ayahnya telah wafat saat ia masih kuliah sedangkan ibunya kawin lagi setelah menjual rumah mereka lalu ikut dengan suami barunya tanpa memberikan sedikit informasi mengenai keberadaannya. Hanya sebuah perusahaan yang kini dia jalankan sebagai satu-satunya warisan yang tersisa dari ayahnya. “Ooh Tuhan, damaikan hatiku dengannya”, bisik Angsa sambil menghapus air matanya. “Kenapa nangis, Angsa ?” tanya Ryan heran mengetahui Angsa mengeluarkan air mata setelah ia selesai berbicara. “Ga pa pa mas”, jawabnya singkat sambil mencoba tersenyum pada Ryan. Menjelang siang iring-iringan mobil mereka tiba di daerah Puncak. Ryan mengambil HP nya yang diletak di consule box,kemudian ; “Iya, Bro” sahut Ubay terdengar di HP Ryan saat melihat LCD HP nya nama Ryan ter display. “Kita mampir di Puncak Pass dulu ya, istirahat sambil makan siang” jawab Ryan setelah Angsa menyetujui rencana tersebut. “Ok Men”, sambut Ubay setuju. Tak lama kemudian mobil Ryan memasuki parkiran Hotel Puncak Pass diikuti mobil Puspa dibelakangnya. “Hmmm, segernya alam ini”, celetuk Angsa ketika keluar dari mobil. “Yuk kita makan dulu”, ajak Ryan sambil tersenyum. Mereka berempat kemudian makan bersama di meja yang sama setelah waiter membawakan menu yang dipesannya. “Mas, kita duduk diluar yuk, sambil menikmati udara dan pemandangan”, ajak Angsa sambil berdiri setelah makan siang mereka selesai. “Mas Ryan…” suara Angsa terhenti ketika mereka duduk berdampingan di beranda menghadap perkebunan teh yang terhampar luas. “yah ?” Jawab Ryan menunggu pembicaraan Angsa selanjutnya. “Apa yang mas Ryan paling tidak suka dari seorang kekasih ?” tanya Angsa sambil menoleh kesebelah kanan dimana Ryan duduk. “Dusta”, jawab Ryan datar sambil menatap dalam ke mata Angsa. Kemudian Ryan terdiam kembali dan mengalihkan tatapannya pada pemandangan pegunungan itu. Ia kembali mengingat penghianatan Sara yang sangat menyakitkan hatinya. Mendengar jawaban itu Angsa terdiam lama, sesekali ia kembali menatap Ryan dengan mencoba mengerti karakter lelaki yang kini sangat ia cintai itu. “Sudahlah, kita bicarakan yang indah-indah saja ya”, sambung Ryan setelah lama terdiam sambil menatap Angsa kembali dengan senyum kecilnya. Angsa menjawabnya dengan senyuman sambil memandang Ryan kembali. “Mas Ryan”, suara Angsa lagi “Ya ?”, jawab Ryan kembali menunggu lanjutan percakapan itu. “Kalau diperhatikan, kayaknya wajah kamu mirip dengan rekanan aku yang baru deh “, sambung Angsa sambil memicingkan kedua matanya. “DEG !”, jantung Ryan seolah terhenti mendengarkan itu. Ia khawatir Angsa akhirnya mengetahui bahwa rekanannya itu adalah Shinta, sang Kakak. “Mmm, masa sih, namanya siapa?” Jawab Ryan tergugup pura-pura tidak tahu. “Namanya Shinta mas, orangnya juga baik sekali”, sahut Angsa bersemangat. Kini Ryan benar-benar gugup mendengar jawaban itu. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya pada Angsa mengenai suratnya yang dia baca bersama-sama Shinta beberapa hari lalu setelah menemukannya di kawah Gunung Gede. Ryan masih terdiam kebingungan menanggapi pembicaraan itu. Kemudian ia mengalihkan pembicaraan : “Eh udah menjelang sore nih, kita pulang yu’, biar kamu cepet istirahat”, sambung Ryan cepat. Angsa mengangkat kedua alisnya melihat reaksi Ryan seperti itu, seolah mencurigai ada sesuatu yang tersembunyi dari pembicaraan itu. “Ok deh, pak Dokter”, sahut Angsa mencoba menggoda Ryan yang kini telah bangkit dari duduknya itu. Satu jam kemudian mereka tiba di Kost Angsa dan Puspa. Angsa membawakan teh hangat sedangkan Puspa membawakan makanan kecil dari dalam rumah untuk Ryan dan Ubay yang sedang melepas lelah di teras depan sambil bercengkramah. “Diminum dulu mas, teh nya” tawar Angsa sambil membungkuk meletakan 2 gelas teh hangat untuk Ryan dan Ubay. “Terimakasih, Non” jawab Ryan sambil tersenyum lalu memberi kedipan mata kirinya pada Angsa. Angsa hanya tersenyum geli melihat tingkah Ryan yang tengah menggodanya itu. Lalu duduk disamping kiri Ryan sedangkan Puspa duduk didepan Angsa, mereka bercengkramah santai mengelilingi meja bulat di teras depan tersebut. “Mas Ubay, gimana luka jahitannya? Udah kering ?” tanya Angsa ramah. “Alhamdulillah”, kayaknya sih sudah kering, ga sakit juga kalo tersentuh”, jawab Ubay panjang lebar sambil menyentuh perban lukanya memperagakan. “Mmmh, syukur deh”, sambung Angsa serius. “Oh iya, lu harus minum obat lagi Non”, suara Puspa tiba-tiba mengingatkan Angsa. Ryan tersenyum menatap Angsa setelah mendengar kata Puspa tersebut. “Iyaaaah, bentar lagih”, jawab Angsa kekanak-kanakan sambil cemberut pada Puspa. “Hahahahaaaa” Ryan dan Ubay tertawa bersama melihat kelakuan dua sahabat satu kost itu yang lucu. Selang beberapa menit, Ryan dan Ubay berpamitan kepada Angsa dan Puspa. Ubay akan diantar Ryan dengan mobilnya. “Mas Ryan”, kalo dah sampe rumah telpon Angsa yah”, celetuk Angsa mesra saat Ryan membuka pintu mobilnya. Ryan tersenyum seraya mengangguk pelan sambil menatap Angsa yang berdiri berdampingan Puspa di teras tersebut. Chapter 8 “Assalamu alaikum, Say, aku dah sampe rumah”, telpon Ryan pada Angsa menepati janjinya. “Wa alaikum salam, alhamdulillah”, yaudah mas Ryan bobonya jangan malem-malem yaaah” jawab Angsa mesra. “Iyah, kamu juga yah?” Jawab Ryan penuh perhatian. Setelah telpon terputus, Ryan menuju kamar Shinta lalu mengetuk pintu kamarnya. “Sist, kalo lu jadi Angsa, gimana reaksi lu pas tahu surat yang dibuangnya itu ditemuin ama gue?”, tanya Ryan saat curhat dengan kakaknya diberanda atas rumah mereka pada malam itu. “Mmmmh, pastinya gue malu, kecewa, sedih, mungkin juga benci ama lu”, jawab Shinta sambil membayangkan isi surat tersebut. “Kok segitunya ?” tanya Ryan sangat penasaran. “Yah lu bisa bayangin dooong, ketika cinta tulusnya berakhir tragis, trus diketahui persis ama cowo barunya, and lu tau persis jeritan hatinya…”Kan dia jadi malu..” Jawab Shinta menjelaskan detil perasaan seorang wanita. “Udah, ga usah dibeberin mengenai surat itu” lanjut Shinta memberi saran. Ryan terdiam lama sambil memandangi langit malam, menimbang apa yang baru saja dikatakan Kakaknya itu. “Ngak Sist, gue tetep harus ceritain mengenai surat itu, apapun yang akan terjadi, gue ga mau ada sesuatu yang disembunyikan dalam hubungan gue ama Angsa, kalau akhirnya gue berumah tangga ama dia, ga mungkin rasanya gue mampu menahan rahasia itu..” tutur Ryan sambil menatap dalam-dalam pada mata Shinta. “Yaaah, lu tau dah mana yang terbaik” sahut Shinta pasrah. “Tapi lu harus siap dengan reaksi terburuknya” pinta Shinta dengan penuh perhatian pada Adik satu-satunya itu. Sekali lagi, Ryan terdiam, memikirkan masak-masak apa yang baru saja dikatakan Kakaknya itu. “Gue masuk ke dalem yah, udah ngantuk neeeh”, suara Shinta menghentikan lamunan Ryan. “Ya udah, Ka Shinta tidur gih, makasih ya”, sahut Ryan sambil tersenyum. Ryan dan Shinta acapkali berdiskusi mengenai suatu masalah yang sedang mereka hadapi. Adalah ayahnya yang mengajari mereka membiasakan hal itu untuk saling membantu dan merekatkan hubungan persaudaraan dikeluarganya. Sebuah kebiasaan bagus yang belum tentu ada disetiap keluarga. Sementara di kost-an Angsa pada waktu yang sama. “Pus, gue tidur duluan yah”, kata Angsa pada Puspa yang malam itu asik nonton sinetron bersama bi Siti. “Ook Non, bentar lagi gue nyusul”, sahut Puspa tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya pada TV. “Dear Diary, Hari ini aku sangat bahagia bersamanya, mengabiskan waktu ditemani kenangan indah yang tak akan bisa aku lupakan… Aku ingin memiliki keindahan hari ini selamanya dan aku ingin memiliki dirinya menemani keindahan itu… Selamanya… Angsa Delia Rinjani” Angsa menulis disatu halaman diarynya sebelum akhirnya terlelap diatas dipannya. “Non, gimana perut lu, udah baikan ?”,sapa Puspa pagi itu di meja makan saat menjumpai Angsa sedang menyantap sarapannya. “Masih perih, Puspa”, sahut Angsa sambil menahan sakit. “Hari ini lu ga usah ke Kantor aja, biar urusan Kantor gue yang handle aja, nti kalo ada yang urgent kan gue bisa telpon lu, gimana ?”,saran Puspa dengan tulus. “Duuuh lu manis banget si hari ini neng Geuliiiiis”, jawab Angsa sambil menggodanya. “Tapiiiiiiii”, sambung Puspa bersiasat sambil memandang plafon. “Tapi, apaaaah ?”,sambut Angsa penasaran sambil mengencangkan kedua alisnya menatap pada Puspa. “Bonus gue, kasih yang guede !, yah !”, jawabnya setengah merayu Boss cantiknya itu. “Heeeemmm, ga enak buntutnya”,sahut Angsa sambil tersenyum. “Iyah, sip dah pokoknya, dah jalan ke Kantor gih”, lanjut Angsa membahagiakan Puspa. “Okeh Boss, jangan lupa minum obat yah”, sahut Puspa dengan wajah riang. Angsa mengiringi sahabatnya itu sampai pintu depan kemudian menatapnya hingga hilang dari pandangannya. Tak lama kemudian HP nya berdering ; “Assalamu alaikum”, suara Ryan terdengar dari HP nya. “Wa alaikum salam”, jawab Angsa lembut. “Lagi ngapain, Say?”, lanjut Ryan “Habis sarapan, trus disuruh istirahat di rumah ama Puspa, ya sudah Saya di rumah aja hari ini, kamu rencana mo kemana hari ini ?”,jawabnya panjang lebar. “Aku ke tempat kamu boleh?”, tanya Ryan ragu-ragu. “Ya boleh banget dooong, saya tunggu ya mas?”, sahut Angsa dengan wajah berseri-seri. “Rasanya gue mao teriak girang”, suara hatinya ikut bicara. “Ok, aku jalan sekarang yah”, sambung Ryan sebelum memutuskan telponnya. Dua jam kemudian, Mercedes putih terlihat masuk ke halaman tempat tinggalnya. Angsa berdiri diteras sambil tersenyum menyambut kedatangan Ryan. Tak berapa lama Ryan yang mengenakan Poloshirt dan Jeans biru dipadu dengan sepatu kats putih keluar dari mobil dan berjalan menghampiri Angsa. “Ehem, kok kamu ganteng banget hari ini ?”, sapa Ryan pada Angsa yang mengenakan kemeja putih bergaris vertikal dengan Jeans biru sambil menggodanya. Angsa tak kuasa lagi menyembunyikan rasa senangnya atas segalanya pagi itu, ia hanya tersenyum menatap Ryan dengan dihiasi bukit pipinya yang mulai berwarna merah muda. “Duduk, mas”, sahut Angsa ramah. Kemudian mereka bercengkramah mesra setelah Angsa menyuguhkan Kopi panas di meja teras depan tersebut. Tiba-tiba Ryan terdiam dan menunduk lama, pandangannya ditujukan pada lantai dengan pikiran yang melayang entah apa yang merisaukannya. “Angsa”, panggilnya pelan “Yah ?”, sahut Angsa menunggu kelanjutannya. “Aku ingin mengungkapkan sesuatu tapi takut kamu akan marah setelah mendengarnya”, sambung Ryan terdengar pasrah. “Apa itu mas?”, tanya Angsa mulai serius. “Tapi aku mohon kamu ga marah”, pinta Ryan sambil memelas. “Iyah, Saya ga akan marah”, sambung Angsa cepat semakin penasaran. Kemudian Ryan membetulkan duduknya lalu mengeluarkan sebuah surat dari saku celananya dan menceritakan panjang lebar perihal surat yang ditemukan di kawah Gunung Gede saat hunting bersama Ubay waktu itu. Angsa menatap tajam pada Ryan, air matanya mengalir deras, bibirnya bergerak pilu tak mampu untuk tidak menangis mengetahui Ryan, Ubay dan Shinta tahu tentang isi suratnya itu. Ryan tak kuasa menatap kesedihan yang tampak diwajah Angsa lalu ia berhenti berbicara untuk mendekat pada Angsa dan bermaksud memberi pelukan padanya. “Jangan, jangan”, suara Angsa sambil menangis dan menepis tangan Ryan, lalu ia berlari ke dalam kamarnya. Ryan menatapnya dengan rasa iba yang mendalam dan mencoba memahami perasaan Angsa. Semenit kemudian Angsa yang masih menangis, keluar sambil berlari kecil menuju mobilnya lalu cepat meninggalkan Ryan di rumah itu. “Angsa, Angsaaaa”, teriak Ryan sambil mengejarnya menyaksikan peristiwa itu. Dan kini Ryanpun sudah berada dalam mobilnya mengikuti BMW merah dari belakang dengan perasaan cemas. “Oh Tuhan, apa yang akan teradi?” suara hati Ryan khawatir. Pandangannya tak terlepas dari mobil Angsa, ia tak mau kehilangan jejak orang yang sangat ia cintai itu. Kini sudah sampai Puncak kejar-kejaran dua sejoli yang tengah dirundung masalah itu. BMW merah belok ke kiri keluar dari jalan raya puncak dan Ryan masih dapat mengejarnya tanpa kehilangan jejak. “Apa yang dia lakukan di landasan gantole ini?”, hati kecil Ryan berbicara ketika melihat dari dalam mobil yang berjarak 30 meter itu, Angsa keluar dari mobilnya kemudian terlibat percakapan dengan seseorang. “Angsaaaa”, teriak Ryan setelah keluar dari mobilnya dan melihat Angsa terbang sendiri dengan gantole berwarna kuning. Ryan kemudian berlari menghampiri orang yang tadi berbicara pada Angsa, lalu semenit kemudian Ryan terlihat terbang bersama orang itu. Kini mereka kejar-kejaran di langit kota Bogor. Ryan terus mengamati dengan cemas gantole kuning di depannya itu dan terus mengikutinya. “Sepertinya dia mengarah ke Surya Kencana, mas Ryan”, suara Pilot gantole yang ditumpangi Ryan sedikit teriak memberitahunya. Dan memang benar, akhirnya gantole Angsa mendarat di Surya Kencana. Ryan semakin cemas ketika melihat Angsa berjalan menuju pinggir kawah setelah keluar dari gantolenya. “Angsa”, sapa Ryan pelan ketika perlahan mendekati Angsa yang berdiri mematung menghadap kawah. “Mas Ryan tahu mengapa surat itu dahulu saya lemparkan ke kawah itu?”, kata Angsa ditengah isak tangisnya sambil menatap surat yang diberikan Ryan saat di kost-annya kini sudah kembali dilemparkan ke kawah tersebut. Ryan diam tak menjawab, ia hanya bersiap bila tiba-tiba Angsa bertindak nekat dipinggir tebing tersebut. Lalu perlahan Angsa menghadap Ryan, wajah cantiknya kini terlihat sembab memerah, pipinya telah basah oleh air mata yang terus mengalir. “Saya dahulu membuangnya ke kawah ini karena ingin mengubur masa lalu saya yang pedih” lanjut Angsa sambil tersengal menahan tangisnya. “Saya dahulu ingin membakar kenangan pahit itu diatas panasnya belerang pegunungan”, mengapa mas Ryan mengembalikannya pada saya !”, suara Angsa mulai terdengar histeris masih tetap memandang tajam pada Ryan. “Angsa, maafkan aku, ga ada niat sekecilpun seperti dugaan kamu itu pada diri aku”, jawab Ryan lembut mencoba menenangkan Angsa yang terus menangis. “Ketika saya sudah mampu melupakannya karena kehadiran mas Ryan didalam hidup saya, akan tetapi turut juga mengembalikan kenangan pahit itu”, sambungnya sambil menangis. “Aku lelah, mas”, aku lelaaaah”, rintihnya dalam tangisan itu. Ryan terus mematung mendengarkan suara hati kekasihnya itu dengan rasa iba yang amat sangat hingga matanya pun kini mulai berkaca-kaca menatap Angsa. Angsa kini tertunduk dihadapan Ryan. “Saya mao pulang mas, mohon mas Ryan beri saya waktu untuk sendiri”, suaranya terdengar pilu dalam ketertundukannya itu. Angsa kemudian berjalan cepat menuju Gantolenya meninggalkan Ryan yang terus menatapnya dari pinggir kawah tersebut. Chapter 9 BMW merah itu kini sudah terlihat kembali di halaman tempat tinggalnya. Ryan hanya menatapnya dari dalam mobil di depan pintu gerbang. Sesaat kemudian ia memacu mobilnya kembali ke Jakarta meninggalkan Bogor dengan berat hati. “Saya mao pulang mas, mohon mas Ryan beri saya waktu untuk sendiri”. Ryan kembali mengingat kata-kata terakhir Angsa itu. “Bener kata Shinta, gue harus siap dengan reaksi terburuknya”, bisik hatinya ditengah perjalanan pulang itu. ** “Assalamu’alaikum”, suara Puspa datang dari depan rumah saat kembali dari Kantor pada sore hari itu. Ia terus berjalan masuk ke dalam mencari Angsa yang tidak didapatinya di ruang TV. “Angsa, kenapa?”, Puspa kaget melihat wajah sahabatnya itu sembab seperti habis menangis hebat. Angsa masih terdiam dalam pembaringannya itu. Perlahan Puspa mendekatinya dan duduk dipinggir dipannya. “Berantem ama mas Ryan, yah?”, selidik Puspa hati-hati. Angsa dengan suaranya yang masih parau akhirnya menceritakan perlahan-lahan peristiwa tadi pagi pada Puspa. Sesekali air matanya mengalir kembali. Puspa terdiam, ia mencerna hati-hati peristiwa itu agar tidak salah berkomentar yang malah dapat membuat Angsa semakin sedih. “Sabar yah, sayang, aku buatin teh hangat yah”, suara Puspa mencoba menghiburnya setelah mendengarkan semuanya itu. Angsa terlihat bangkit perlahan dari dipannya kemudian duduk dipinggir dipan menatap punggung Puspa yang berjalan ke dapur untuk membuatkannya teh hangat. ** Diwaktu yang sama, Ryan terus termenung di beranda atas sendirian ditemani sunset yang memerahkan cakrawala sore hari itu. “Hey, bengong aza”, sapa Shinta ketika kembali dari Kantornya. “Ada apa?”, tanya Shinta lembut yang kini telah berdiri disampingnya turut menyaksikan keindahan sunset itu. “Gue udah ceritain perihal surat itu ama Angsa”, jawab Ryan dengan berat hati. “Trus ?”, selidik Shinta mulai terlihat serius. Ryan menceritakan pelan semua kejadian itu tanpa ekspresi diwajahnya. “Heeem, kan itu maunya lu kan?, udah gue bilang jangan, tapi elu memaksakan diri”, sungut Shinta menyayangkan kejadian itu. “Sekarang, lu kasih kesempatan Angsa untuk berdiam diri aja dulu, jangan telpon juga, sebelum dia siap menerima telpon elu”, saran Shinta pelan. “Untuk tahu dia udah siap terima telpon gue, gimana?”, sambung Ryan bingung atas saran Kakaknya itu. “Ya tunggu sampe Angsa telpon elu, gimana si !”, sahut Shinta gemes pada kebingungan Ryan itu. “Dah masuk yu, sholat magrib”, ajak Shinta sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Selasa, Rabu, Kamis Angsa terus berjuang menahan rindu pada Ryan sebagai aksi kecewanya pasca kejadian senin pagi lalu. Namun hari ini adalah hari terakhir Ryan berada di Indonesia. Besok pagi dia akan kembali terbang ke Qatar tempatnya bekerja untuk 6 bulan kedepan. Hatinya terus gundah memikirkan hal itu. Benci dan Rindu terus bergejolak dalam dirinya. Berkali-kali Puspa mengingatkannya untuk makan teratur serta minum obat karena sering memergokinya tengah melamun seorang diri. “Non, lu udah telpon mas Ryan?”,tegur Puspa malam itu saat Angsa duduk sendirian di Teras depan. “Belum”, jawab Angsa datar. “Telpon laaah, siapa tahu dia lagi nunggu telpon elu”, saran Puspa menasehati. Angsa tak menjawab, pandangannya masih menatap langit malam, pikirannya tak menentu. “Oh Tuhan, saya merindukannya setengah mati, tapi apa yang harus saya katakan padanya”, bisik hatinya merintih. “Angsa, kalo elu telpon dia, artinya elu udah memaafkan dia dan itu akan membuat dia lebih tenang disana”, lanjut Puspa setengah membujuknya. “Nih, telpon dia sekarang”, sambung Puspa sambil memberikan HP Angsa yang diambilnya dari dalam kamar. Perlahan Angsa meraih HP tersebut lalu mulai memberanikan diri menelpon Ryan setelah Puspa berlalu masuk ke dalam rumah. “Halo? Angsa”, suara Ryan ditelinganya. “Mas Ryan, maafin saya atas kejadian kemarin”, sahut Angsa pelan dengan nada menyesal. “Ga usah dipikirin Sayang, aku sangat memahami perasaan kamu saat itu”, jawab Ryan ramah. “Aku udah cukup bahagia dengan telponmu sekarang ini”, lanjut Ryan terus terang. “Mas, aku kangen”, sahut Angsa sungguh-sungguh. “Sudah malam Sayang, aku ga bisa kesana sekarang, besok subuh aku harus terbang kembali ke Qatar”, jawab Ryan memohon pengertian. “Naik penerbangan apa mas?”, tanya Angsa setelah menahan isak tangisnya beberapa detik. “Charter Jet pribadi, BirdSky nama pesawatnya”, jawab Ryan dengan nada berat hati. Tiba-tiba Ryan mendengar sayup-sayup suara tangis di HP nya. “Angsa, jangan nangis dong sayang, nanti wajah kamu jadi jelek”, canda Ryan mencoba menghiburnya. “Oh iyah, kamu kan sudah tahu siapa Shinta, kalau ada sesuatu keperluan telpon dia aja yah, aku sudah titip pesen sama dia untuk menjaga kamu selama aku di Qatar”, lanjut Ryan panjang lebar. Angsa semakin haru mendengar penjelasan itu hingga tangis bahagianya kembali meledak, air matanya terus mengalir bahagia sambil mendengarkan Ryan di HP nya. “Aku cari uang dulu yah, buat nikahin kamu, kalau kamu mau sih”, lanjut Ryan berterus terang. “Aku mau mas, aku mau”, sahut Angsa sambil menangis bahagia mendengar hal itu. “Cup,cup,cup jangan nangis lagi yah Sayang, sabar aja yah sampe pertengahan tahun depan, aku akan menikahi kamu yah”, suara Ryan menghibur Angsa. “Iya mas, Angsa akan menunggu dengan sabar”, janji Angsa lembut sambil menghapus air mata di kedua pipinya. “Sekarang kamu tidur aja yah, istirahat yang banyak, trus obatnya dihabiskan, biar cepet sembuh maag nya, oke”, sambung Ryan mencoba memberinya semangat. “I love you mas”, jawab Angsa pada Ryan sebelum memutuskan percakapan telpon tersebut. Chapter 10 Jemputan taksi yang akan mengantarnya ke bandara SOETA telah menunggu Ryan sabtu subuh di depan rumahnya. Ryan berpamitan pada kedua orang tuanya serta kakaknya, Shinta. Namun kali ini ia merasa ada yang kurang. “Sayang, kalau saja kamu ada disini” suara hati nya berkata. Beberapa saat kemudian taksi itu telah meninggalkan rumah itu menuju Cengkareng. Jalan masih sepi subuh itu, Ryan menatap keluar jendela sambil memikirkan Angsa dalam lamunannya itu. Sedetik kemudian ia mengambil HP nya lalu menuliskan sebuah SMS untuk Angsa : “My Dearest, Angsa. Aku mohon doa restumu untuk perjalanan ini. Kelak aku akan mencari cara agar kita selalu bersama. Aku akan kirim email bila telah tiba di Qatar. Salam sayang”. Beberapa menit setelah mengirimkan SMS tersebut Ryan tiba di Bandara dan langsung Boarding ke pesawat BirdSky, sebuah Jet kecil yang dicharter kantornya untuk menjemput para karyawan dari berbagai negara di Asia Tenggara. Ryan mengambil duduk dekat jendela saat boarding itu berharap dapat menatap saat-saat terakhir kotanya dari udara. Pesawat kemudian meluncur cepat setelah Pilot mengingatkan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Namun sekitar 20 meter diatas landasan pacu Ryan sangat terkejut melihat dari jendela seekor burung menghantam masuk ke mesin pesawat pada sayap sebelah kiri. “DUG, BLOOM”, suara yang ditimbulkannya membuat ledakan keras dan Ryan tak sadarkan diri. ** Di Bogor, Angsa tengah melamun sendiri menikmati sarapannya yang berada dekat ruang TV pagi itu sambil tersenyum membaca SMS yang dikirimkan Ryan subuh dini hari tadi. TV yang sedang menyiarkan acara tausyah subuh itu tiba-tiba terhenti digantikan breaking news. “Selamat pagi pemirsa” “Sebuah pesawat charter BirdSky yang berjenis Jet pribadi, pagi tadi pukul 6:00 wib jatuh menghantam keras laut jakarta”, Sayup-sayup suara TV itu menarik perhatian Angsa untuk melihat berita itu. “Saksi mata dari menara kontrol melaporkan sebelumnya seekor burung tertabrak mesin pesawat hingga membuat ledakan yang mematahkan sayap kiri pesawat, sampai saat ini tim SAR Gabungan masih mencari pesawat malang tersebut didalam perairan guna menolong para korban yang mungkin bisa diselamatkan,” “Pesawat yang dicharter sebuah perusahaan minyak Qatar tersebut sedianya menjemput kembali para karyawannya”. “Dilaporkan terdapat 5 orang penumpang dan 3 awak kapal dalam pesawat na’as tersebut menjadi korban akibat peristiwa itu”. “Demikian breaking news pagi ini, dan kami akan menjumpai anda kembali satu jam mendatang, sampai jumpa”. Angsa yang tengah menyaksikan berita itu terbelalak kaget ; ” MAS RYAAAANNNN !” Teriaknya histeris sendirian di ruang tv itu. Puspa yang mendengarkan teriakan hebat Angsa berlari kencang ke arah Angsa dan menjumpainya pingsan terkulai dilantai. Puspa panik menghadapi kejadian itu sendirian, kemudian ia mendengar HP nya berbunyi dan bergegas mengangkatnya setelah tahu nama Ubay terdisplay di layar LCD nya. “Halo, Puspa”, suara Ubay tergesa-gesa. “Iya mas, ada apa?”, tanya Puspa mencoba mengendalikan diri. “Pesawat yang ditumpangi Ryan jatuh ke laut Jakarta jam 6 tadi, barusan disiarkan di breaking news”, jawab Ubay panjang lebar. “Apah ??, pantesan Angsa pingsan didepan tv saat ini mas”, sahut Puspa terkejut. “Astaga !, kasihan Angsa”, sambung Ubay lemas. “Aku ke sana ya?”, lanjut Ubay cemas. “Iya,iya mas, saya tunggu yah”, jawab Puspa masih dalam keadaan kalutnya. Angsa kini terbaring diatas sofa ruang tv setelah Puspa dan bi Siti menggotongnya. Bi Siti dan Puspa masih terus berusaha membuatnya sadarkan diri dengan memberikan pijitan pada kaki dan tangannya. Angsa berangsur-angsur pulih dan sadar kembali setelah beberapa menit. Lalu ia menangis terseduh dan memeluk Puspa ditengah isak tangisnya itu. “Selamat pagi pemirsa”, suara breaking news di tv kembali hadir. “Kecelakaan pesawat terbang yang menimpa BirdSky charter dilaporkan menewaskan semua penumpang yang berada dalam pesawat tersebut, tim SAR gabungan telah menemukan satu persatu jasad para korban untuk dikirim ke RSPAD Jakarta pagi ini, para keluarga korban dihimbau melihat anggota keluarganya di Rumah sakit tersebut, demikian breaking news pagi ini, sampai jumpa”, kata sang pembawa berita. Tak ayal lagi, Angsa, Puspa dan bi Siti menyaksikan berita itu termenung seolah tak percaya kejadian itu. “Antarkan gue kesanaaaa, Puspaaa”, antarkan gueee..”,teriak Angsa sambil menangis histeris. “Iya-iya sebentar lagi mas Ubay dateng, kita berangkat sama-sama yah”, sahut Puspa ikut berduka. ** Beberapa jam kemudian mereka tiba dikamar jenazah. Terlihat Shinta dan ibunya berpelukan menangis didepan jenazah Ryan, ayahnya hanya terdiam membisu menatap tubuh Ryan yang kini tak bernyawa lagi. Tangisan Angsa yang terdengar dari arah pintu kamar didengar oleh Shinta. Kemudian : “Angsa”, sapa Shinta ditengah isak tangisnya bergegas dan memeluk Angsa dan akhirnya mereka nangis bersamaan. “Maafkan kesalahan Ryan, Angsa”, suara Shinta sambil menangis dipelukan Angsa. “Iya, mba”, jawab Angsa dengan tersedu dalam pelukan itu. Setelah proses otopsi selesai, mereka diperbolehkan membawa jenazah Ryan untuk dimakamkan. Jenazah Ryan dimasukan kedalam ambulance untuk dibawa menuju rumah untuk proses pemakaman disekitar tempat tinggalnya. Angsa menangisi terus kepergian Ryan yang abadi itu sampai jenazah tiba di Pondok Indah 22y tempat tinggalnya. **

Angsa menumpahkan suara rintihan hatinya dengan linangan air mata pada sehelai kertas di dalam kamarnya. “Duhai pujaan hati yang hadir dalam sekejap. Aku berusaha ikhlas melepaskan kepergian mu dari dunia yang penuh penderitaan ini. Namamu akan tersimpan paling lama dalam relung hatiku. Harapan indah itu akan selalu menghiasi ruang ingatanku pada mu. Aku akan selalu mengingat dan mencintaimu wahai jiwa yang datang dalam kabut kehidupanku. Damailah disana, doa ku akan selalu menyertai mu. Cintamu Angsa Delia Rinjani” Sambil berlinang air mata, Angsa melemparkan surat itu ke kawah Gunung Gede, tempat dimana mereka berdua pernah berbicara dari hati-ke hati dengan air mata menyertainya. Ubay dan Puspa yang menyaksikan hal itu menatap iba lalu menghampirinya dan mengajaknya kembali pulang. Tamat.



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline