Karya: Gutamining Saida
Sang mentari tampak malu-malu menyembul di antara awan. Saya sudah bersiap berangkat ke sekolah. Saya mengenakan seragam keki dengan rapih. Hari itu memang hari Selasa, dan seperti biasanya seragam keki. Namun entah mengapa, pagi itu terasa agak aneh. Ada sedikit keraguan di hati, tapi saya mengabaikannya.
Motor melaju perlahan di jalanan yang mulai ramai. Sampai di lampu merah, saya melihat seorang ibu-ibu dengan berani menerobos lampu merah. "Weees, ibu-ibu kok nggak sabaran," gumam saya dalam hati sambil menggelengkan kepala. Mata saya langsung tertuju pada seragam yang dikenakan ibu itu yaitu seragam Korpri.
Perang batin pun dimulai. "Loh, ini hari Selasa ya? Tapi... kok ibu-ibu itu pakai Korpri?" Saya mulai panik. Pikiran saya melesat ke banyak kemungkinan. Kalau benar ini tanggal 17, itu artinya saya salah kostum! Seharusnya saya memakai seragam Korpri, bukan keki.
"Balik nggak ya?" saya membatin sambil menatap lampu merah yang lama berganti hijau.
Kalau saya balik pulang untuk ganti baju, konsekuensinya jelas. Saya bakal telat absen, dan itu bukan ide yang bagus. Tapi kalau lanjut dengan seragam keki, saya pasti jadi bahan omongan teman-teman di sekolah. "Ah, sudah lah! Lanjut saja, salah kostum bukan salah besar," batin saya, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di sekolah, ruang guru udah terdengar riuh suara para guru. Ada yang memakai seragam keki seperti saya, ada yang mengenakan kaos olahraga karena mengikuti agenda classmeeting. Tapi suasana semakin ramai saat seorang guru Bu Endang datang dengan seragam Keki. Seketika tawa meledak.
Saya yang duduk di pojok tak kuasa menahan senyum. Dalam hati, saya lega karena ternyata bukan saya saja yang memakai seragam keki.
Beberapa guru sudah berkumpul dan... benar saja! Ruang guru penuh warna-warni seragam.
"Tenang, kita nggak sendirian kok. Saya aja salah pakai kaos olahraga, kirain ada meeting class hari ini," ujar Pak Edi sambil menunjuk kaosnya.