Aku mengangkat tanganku, mencoba merasakan sensasi titik air hujan.
Akhirnya, hujan yang membuatku tidak bisa pulang telah reda setelah sekian lama. Plastik Cilok yang tadi ku pesan sudah habis tanpa sisa. Tidak ada bekas bahkan untuk beberapa tetes bumbu sambal-kecap.
"Terima kasih ya Mas." Ucapku. "Diandra Pulang dulu, sudah ditunggu mama."
"Nggih Neng, kapan-kapan datang lagi ya!" Ucap abang pedagang kaki empat favoritku, Mas Dara.
Aku melambaikan tangan, menatap wajah Mas Dara yang ketampanannya tidak bisa dilukiskan. Tersenyum, Ia balas melambaikan tangan, mulai membereskan gerobak putihnya. Payung warna-warni, yang biasanya kusebut payung pelangi, sudah tertata rapi di pinggir gerobak. Basah kuyup, namun tetap mencolok. Sepertinya, aku memanglah pelanggan terakhirnya hari ini.
Semuanya berawal sejak musim hujan tahun ini. Aku adalah murid kelas 7, yang jarang sekali ingat untuk membawa payung. Hujan turun begitu deras saat itu, dan perutku sudah mengeluh ingin makan. Apa boleh buat? Aku merogoh sakuku, mencari sisa uang jajan hari ini.
Ketemu. Memang hanya 5.000, tapi itu sudah cukup untuk mengganjal perutku. Aku memutuskan untuk membeli cilok. Dan beruntungnya, tepat di depan pagar sekolah ada pedagang cilok baru, yang yampangnya cukup menawan. Aku berlari kecil, menghindari genangan air, hingga sampai di depan toko cilok tersebut.
Hari itu adalah hari pertama aku mengenal Mas Dara. Orangnya ramah, rendah hati, dan, apalagi? Tampan. Kejutannya, umurnya tidak jauh berbeda denganku. Hanya berjarak 1-2 tahun.
Aku terkesan. Muncul di pikiranku, kenapa anak semuda ini sudah bekerja, menjual cilok? Apa itu masalah keluarga? Masalah ekonomi? Atau itu keinginannya sendiri? Entahlah. Tidak perlu ikut campur, pikirku kala itu.
Semenjak hari itu, setiap kali hujan turun, aku akan membeli cilok super sedap yang dijual oleh Mas Dara. Kami menjadi dekat.
***