Lihat ke Halaman Asli

agus s

Literasi

Hidup di Desa Klakson Lebih Panting dari Lampu Sein

Diperbarui: 30 Maret 2021   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

abc.com.py

Desa, banyak yang mendidentikkan hidup sederhana, jauh hiruk-pikuk, kanan kiri pegunungan, dan plosok. Memang itu ada benarnya. Hidup di desa penuh kesederhanaan, tetapi itu membuat orang desa kuat menghadapi kerasnya hidup. Jauh dari keramaian, justru irit uang karena tidak suka hedon dalam membelanjakan penghasilan. Kalau plosok, dana desa membuat desa jalan berbeton semua. Meski plosok tetap mulus, tidak kalah dengan kota.

Hidup di desa itu tidak sedemikian kurang yang kalian bayangkan. Desa punya peraturan yang tidak ditemukan di perkotaan. Undangan-undangan memang terus ditegakkan. Tidak buta hukum walau jauh dari pusat pemberitaan. Nyatanya, orang desa tetap memiliki rasa patuh pada hukum. Selain aturan tertulis, desa punya aturan tidak tertulis. Dalam pasal undangan-udangan tidak ditemukan dan kitab tata hukum.

Aturan tidak tertulis itu hidup dalam diri masyarakat desa. Mereka mematuhi secara sukarela karena sangsi sosial lebih kejam dari hukuman. Tidak butuh hukuman untuk menimbulkan efek jera, dikucilkan orang sekitar sudah binggung tujuh arah.

Kalau kalian hidup di desa terlebih berkendara tidak seperti di kota. Helm standar, surat-surat lengkap, lampu utama, dan lampu sein harus menyala. Semua terpenuhi pengendara aman, baik dari kecelakaan dan razia yang sering kali mendadak. Bagi masyarakat desa semua itu belum sepenuhnya aman. Satu syarat berkendara lagi yang wajib terpenuhi. Kalau Anda tidak ingin kena sangsi orang sekitar. Syarat itu adalah klakson, fungsinya tentu sudah memahami semua.

Ketika berkendara di desa pastikan Klakson berbunyi sempurna. Cek dahulu sebelum berpergian, walaupun hanya berpergian lingkup satu desa saja. Kalau tidak Anda akan menjadi sasaran sangsi yang lebih keras dari masyarakat. Anda akan dianggap sombong serta angkuh, merasa kaya, dan paling nylekit dianggap bukan manusia. Alasan ketiga ini berkaitan dengan pandangan masyarakat, yaitu keakraban dan menghormati orang lain. Konsep memanusiakan manusia tertanam lebih dalam walau ketika ditanya soal itu menjawab tidak paham.

Terlebih anak desa yang kuliah di kota. Klakson menjadi penanda diri, bukan soal etika dan menghormati orang lain. Lebih dari itu, sebagai harga diri dan ujian akademik. Sebab akan dianggap lupa adat desa dan dicap gagal dalam bermasyarakat. Klakson hidup di desa menjadi penanda menyapa kepada orang lain. Keberadaan tidak saja sebagai simbol melainkan media berkomunikasi. Setiap bertemu orang klakson wajib berbunyi, meski sudah menyapa monggo Lek, Pak Dhe, Kulo Rumiyen Yu  dan lainnya.

Hukum ini juga berlaku untuk orang baru. Terlebih yang kepajot trisno dengan orang desa dan menuju pelaminan. Anda harus mengenal aturan itu atau bertanya dan segara beradaptasi dari pada telat membuat malu diri dan keluarga barumu.  Harus diingat di desa helm, sim, STNK, dan tutup pentil ban ketika berkendara tidak akan panjang urusannya.

Meski demikian, Anda yang paham aturan itu di desa jangan sembarang dipraktikan di daerah lain. Apalagi di perkotaan. Gunakan bunyi klakson untuk waktu tertentu saja. Waktu genting dan mendesak. Asal membunyikan terlebih kepada siapa saja yang Anda temui. Bukannya mendapat respon positif justru Anda dicurigai. Sok kenal, sok akrab dan genit balasan saat membunyikan bukan di waktu yang tepat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline