Lihat ke Halaman Asli

agus s

Literasi

Mari Belajar Toleransi

Diperbarui: 14 Agustus 2019   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: mediaindonesia.com

Indonesia sebagai rumah toleransi dewasa ini mengalami pergeseran. Sifat-sifat yang mengikis keberadaan toleransi terus bermunculan, bahkan tidak lagi secara sembunyi-bunyi dilakukan. 

Ada kerumpangan dalam keberagaman masyarakat kita. Memang dilihat dari sisi keberagaman Indonesia tidak disangkal "paling unik", tidak saja secara agama tetapi juga secara kultur budaya dan sosial. 

Ini yang memunculkan kerentanan toleransi. Keberagaman yang dimiliki Indonesia di satu sisi sebagai keindahan, kekhasan, dan warisan yang tak ternilai, di sisi lain juga menjadi tantangan.

Munculnya paham radikalisme menguatkan posisi toleransi semakin genting. Tidak saja akan keropos secara sosial, tetapi secara kehidupan bernegara akan terancam. Kemunculnya ditengarahi karena lemahnya pengawasan pihak terkait (pemerintah) dan tentunya masyarakat yang kurang siaga menerima keterbukaan. 

Sewajibnya pemerintah sebagai nahkoda kenegaran paling tidak mengetahui titik perkembangan paham radikal di Indonesia. Sehingga, tidak muncul berbagai kelompok ekstrimisme yang tentu saja bagai bom waktu bagi bangsa. Langkah represif yang dilakukan pemerintah untuk memutus mata rantai embrionya. 

Di sisi lain juga mengancam keberlangsungan bangsa, idiologinya yang telah mengakar akan terus merayap secara masif. Justru mengokohkan semangat dalam menyuarakan paham yang dianutnya.

Perpu presiden yang baru-baru ini tercetus sebagai langkah represif dalam aplikasinya perlu dipertimbangan secara matang. Sebab ketika asas kehati-hatian tidak dijalankan akan menjadi bumerang. Alih-alih untuk memberikan kenyaman bagi masyarakat justru menumbuhkan keresahan. 

Dalam ilmu sepak bola disebut sebagai blunder, kesalahan dalam sepak bola dapat dimaklumi. Tetapi, dalam pemerintahan blunder jelas memberikan sinyal kerapuhan. Memunculkan presepsi sembrono (kurang hati-hati) dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, yang tentunya berakibat tergerusnya kepercayaan.

Wacana pemerintah untuk mengapus salah satu kelompok tertentu perlu dipertimbangkan secara matang. Tidak menutup kemungkinan memiliki idiologi yang mengakar pada setiap anggotnya. 

Karena menjadi bagian dari anggotanya tidak lain orang terpilih secara jiwa dan raga, memiliki integritas, loyalitas, sprit juang untuk terus berjuang dalam "rumah besar" yang dinaunginya. 

Kokohnya idiologi inilah yang perlu diantisipasi karena tidak menutup kemungkinan meski mati secara raga ruhnya akan tetap hidup, berkelana untuk menebarkan benih-benihnya di bumi pertiwi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline