Lihat ke Halaman Asli

Gusti Kresna Wisnusiwi

...still trying to find God in all things.

Serupa Tisu

Diperbarui: 4 April 2022   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Kana, siswa kelas 11 SMA Petrus Faber. 

Di suatu
sore yang sejuk sekitar pukul 15.30 WIB, di bawah guyuran hujan deras, aku melihat Teresa
Nara, siswi populer kelas 12, yang berpayungkan pohon tua di depan sekolah.Ia masih
mengenakan seragam sekolah waktu itu. Pakaiannya tampak basah, tubuhnya menggigil,
namun tas ransel yang ada di punggungnya tetap setia dibawanya.


“Hei, Ra!” panggilku dari seberang.
Waktu itu aku sudah keluar dari parkiran sekolah, hendak pulang dengan motor CX2
kesayanganku. Namun, Nara hanya menatapku sebagai tanda bahwa ia menyadari
kehadiranku.Kurasa dia tak tahu siapa aku.
Sudah beberapa lama ia tak kunjung beranjak dari tempat ia berdiri. Aku merasa
kasihan dengannya.Maka aku menghampiri dirinya.
“Kok, kamu belum pulang, Ra?”
Ia menjawab dengan matanya yang sendu, “U-uangku habis.”
Hatiku tergerak oleh belas kasihan. Kebetulan jok motor belakangku masih kosong
dan aku sedang tidak buru-buru. “Mau bareng ngga, Ra?” Raut mukanya tampak bingung
saat menerima tawaranku itu, apalagi siswa kelas 11 menawarkan tumpangan kepada siswi
kelas 12. Entah ingin buru-buru pulang atau bagaimana, ia menerima tawaranku.
Ia pun kupakaikan jas hujan, helm, dan cadangan jaket yang ada di hatiku.
“Terima kasih,” suara lirihnya menembus telingaku.
Aku hanya menganggukkan kepala dengan halus. Ia naik, memberitahuku alamatnya, lalu
kuhantar dengan segera ke rumahnya yang berlokasi di Jl. Sisingamangaraja.
Deras hujan seakan menjadi teman sepanjang perjalanan. Beruntung rumahnya tidak
terlalu jauh dari sekolah dan aku sudah cukup mengenal Jl. Sisingamangaraja, sehingga
ketika mendengar alamatnya saja, sudah bisa membuatku untuk menghantarkan Nara dengan
selamat.
Terlihat rumah Nara yang cukup besar dengan dua lantainya, cat berwarna cream, dan
pagar hitam tinggi. Sesampainya di depan rumahnya, Nara turun dari motorku, dan berkata,
“Terima kasih,” kembali dengan nada lirih. Sebelum ia beranjak masuk, aku mengulurkan
tanganku.

“Namaku Kana,” aku ingin berkenalan dengannya. Namun ia hanya meirik uluran
tanganku, lalu masuk ke rumahnya. Kulihat dirinya masuk ke rumahnya, semakin lama,
punggungnya semakin tidak terlihat.
Aku pun pulang ke rumah dengan perasaan bangga karena telah mengantarkan kakak
kelas yang “terdampar” di depan sekolah ditemani guyuran hujan.

***

Keesokan harinya, ketika sedang memakan sebungkus Nabati rasa keju di depan
kelas, seorang perempuan yang cantik parasnya datang kepadaku. Sepertinya ia adalah anak
kelas 12.
“Kan, yuk, ikut aku.” Aku tidak tahu siapa dia. Tetapi dengan tangannya
menggandeng tanganku, aku digiring menuju kantin oleh perempuan itu.
“Tuh, kamu mau jajan apa, terserah. Aku bayarin,” suruhnya.
Aku yang kaget lalu bertanya, “Loh, kenapa? Tumben-tumbenan anak kelas 12 nraktir anak
kelas 11?”
“Tumben-tumbenan juga anak kelas 11 mau nganterin anak kelas 12 yang terdampar
di depan sekolah?” balasnya.
Mendengar itu, aku tersenyum tipis; tersadar bahwa perempuan cantik itu adalah
Nara, yang kemarin kuantar pulang.
Aku pun mengiakan tawaran sekaligus tuntutan Nara itu. Tanganku menunjuk-nunjuk,
badanku setengah membungkuk, sedang mencari jajanan yang kuinginkan.
“Itu! Waffer di bagian kanan atas, sebelah mie lidi!” kataku, sambil menunjuk.Nara
menatapku, lalu mengambil dompet berwarna ungu miliknya yang ada di saku celana
kanannya. Terlihat selembar uang Rp10.000 diambilnya dari dompet itu dan diberikannya
uang itu kepada sang penjaga kantin.
“Semuanya jadi berapa, Bu?”
“Rp3.500, Mbak,” jawab si ibu penjaga kantin.
“Niki, Bu,” katanya sambil mengulurkan uang senilai Rp10.000.
Si ibu mengambil uang Nara. Diambilnya uang Rp6.500 untuk kembalian. Sepanjang
peristiwa itu, aku hanya diam memandang transaksi antara Nara dengan si ibu.

Setelah kejadian itu, aku menjadi dekat dengan Nara. Kami sering sekali bertemu di
sekolah saat jam istirahat. Aku juga sering menyuruh Nara untuk mengajariku pelajaran
Kimia. Nara juga berbuat hal demikian, namun ia minta diajarkan bahasa Latin olehku.

***

Semakin hari, rasanya kami semakin dekat secara relasi. Kami jadi sering
menghabiskan waktu berdua, entah itu di sekolah, di café untuk belajar sambil nongkrong,
atau terkadang juga kami saling bertamu. Kedua orang tua kami juga sudah mengenal satu
sama lain. Aku juga merasa sudah sangat dekat dengan Nara, Nara pun merasakan hal yang
sama.
Di suatu siang yang terik, aku dan Nara sedang duduk sambil memakan es krim di
gerobak es krim yang tak jauh dari sekolah.Saat itu hanya ada aku, Nara, dan si pedagang. Si
pedagang sedang menyiapkan dagangannya.
Nara sedang asyik menceritakan kisahnya dikejar anjing di kandang belakang
sekolah, sembari sesekali memasukkan satu suapan es krim ke dalam mulutnya.Kami tertawa
bersama.
Lalu di tengah tawa itu, aku memanggil Nara halus, “Ra.”
Nara menoleh kepadaku. Terlihat ia masih tersenyum karena masih terbawa suasana
ceria atas ceritanya tadi.
“Aku pengin ngomong,” lanjutku.
“Apa, Kan?”
Aku menelan ludah sejenak. Menyiapkan mental. Hatiku berdebar-debar. Sudah
terasa keringat dingin mulai menetes di kulit yang menutupi tulang pelipisku.
Dengan sehela napas, aku berkata, “Aku suka sama kamu, Ra.”
Terlihat raut wajah Nara berubah. Dari yang tadinya penuh tawa, sekarang menjadi
tiada ingin untuk melanjutkan tawanya.Suasana menjadi hening. Terdengar suara pohon yang
tergoncang karena diterpa angin. Dedaunan berjatuhan dari pohon itu. Suara lain yang
terdengar adalah suara si bapak yang sedang menuangkan tepung ke dalam sebuah tangki
untuk membuat es krim.
Lalu Nara mulai berbicara,
“Aku sebenernya juga suka sama kamu...”

Jujur, hatiku bersorak sorai mendengar hal itu. Oleh karenanya aku segera berbicara
dengan raut wajah yang bersukacita, “Jadi, kita pacaran, yuk?”
“Aku takut, Kan,” timpalnya.Raut wajahku mulai berubah.
Setelah mengatakan demikian, Nara bercerita tentang dahulu ketika sedang duduk di
kelas 9 SMP PL Aloysius Gonzaga, ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang juga
duduk di bangku kelas 9 SMP-nya itu. Katanya, Dave, pacarnya waktu itu, adalah lelaki yang
sungguh diidamkan Nara. Tubuhnya proporsional dengan bulu mata lentik, jago main
basket, berprestasi dalam hal akademik maupun non akademik. Sing penting perfect tenan
lah. (Yang penting perfect/sempurna banget, deh).
Singkat cerita mereka berpacaran.Mereka berpacaran seperti orang pacaran pada
umumnya. Lalu ketika hubungan sudah memasuki tahun yang kedua, Nara mendapati Dave
sedang melakukan hubungan seksual di kelasnya sendiri bersama dengan sahabat Nara
sepulang sekolah. Melihat hal itu, Nara langsung berlari menjauh sembari menangis.
Keesokan harinya, Nara mengajak Dave untuk bertemu dan Nara pun memutuskan
Dave. Sejak saat itu, Nara menjadi trauma dengan lelaki yang hendak memacarinya.
Mendengar cerita Nara itu, aku hanya bisa setia mendengarkan Selama ia bercerita,
berulang kali tangannya menyeka air mata yang keluar dari kedua matanya. Kepalanya pun
bersandari di bahu sebelah kananku.Tanganku merangkul pundaknya bak seorang ayah yang
sedang menenangkan putrinya.
“Aku pergi dulu, ya. Jangan nemuin aku sementara ini,” katanya tiba-tiba. Aku sudah
menawarkan kepadanya tumpangan untuk mengantarkannya pulang, namun ia menolak.
Alhasil, ia mengambil gawai yang ada di saku rok kirinya, membuka aplikasi ojek daring,
dan memesannya. Nara pun pulang diantarkan oleh pengemudi ojek daring. Perlahan
punggungnya menjauh dan menghilang dari pandanganku.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline