Tanggal 7 Juli 2024 atau bertepatan dengan 1 Muharram 2046 H yang lalu, pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengganti nama Masjid Raya Sumatera Barat menjadi Masjid Raya Achmad Khatib Al-Minangkabauwi.
Penggantian nama masjid yang telah menjadi ikon Kota Padang itu disetujui banyak pihak dan 'disayangkan' (atau tidak disetujui) oleh sebagian kalangan.
Penggantian nama ikon kota, ruang publik, nama jalan, nama kota, nama daerah atau bahkan nama rupa bumi bukanlah suatu yang asing di Sumatera Barat.
Kajian sejarah menunjukkan bahwa Sumatera Barat termasuk salah satu daerah yang memiliki pengalaman cukup banyak dalam soal penggantian nama-nama itu.
Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah pengantian toponimi (nama wilayah) dari nama-nama Belanda ke nama Indonesia.
Adanya penggantian nama-nama itu berhubungan erat dengan kenyataan yang menunjukkan terjadi proses belandanisasi toponimi cukup intensif di daerah itu.
Ini bisa terjadi karena Sumatera Barat adalah salah satu daerah yang relatif awal dan intensif dikuasai oleh Belanda.
Kajian sejarah juga menunjukkan bahwa penamaan berbau Belanda telah dimulai sejak abad ke-18, dan tetap berlanjut hingga awal abad ke-20. Abad ke-19 adalah periode yang paling sibuk dengan proses 'belandanisasi' toponimi itu.
Kota adalah ruang geografis yang namanya paling awal dan paling banyak dibelandakan.
Nama-nama ikon kota kota, ruang publik dan jalan-jalan yang ada di kota adalah aspek-aspek lain yang juga banyak mengalami proses belandanisasi. Prasarana transportasi dan bahkan rupa bumi yang ada di kota atau di lingkungan perkotaan juga ikut dibelandakan.