Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh kembang dengan optimal dan ingin menjadi anaknya yang terbaik dari anak-anak lain. Oleh karena itu, orang tua mendidik anak-anaknya sejak usia dini dengan cara yang dianggapnya baik. Pendidikan keluarga dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Pola asuh memiliki dampak terhadap perkembangan anak, salah satunya perkembangan sosial emosional.
Perkembangan sosial emosional anak usia dini merupakan fondasi penting bagi pembentukan sikap, nilai, dan perilaku anak di masa depan, karena pengalaman sosial emosional awal yang dialami anak sangat mempengaruhi kepribadiannya ketika ia dewasa.
Jika anak mengalami banyak pengalaman yang kurang menyenangkan selama masa kecilnya, hal itu dapat menimbulkan sikap yang tidak baik terhadap interaksi sosial yang akan membuat anak menjadi kurang percaya diri dan bahkan antisocial.
Hal tersebut, sangat dipengaruhi oleh peran orang tua, karena orang tua memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan perkembangan anak berlangsung optimal, namun banyak yang masih belum sepenuhnya menyadari bahwa masa anak-anak adalah moment penting bagi pembentukan berbagai aspek perkembangannya, termasuk sosial emosional.
Jika orang tua terlambat menyadari akan hal tersebut, maka dampak pada perkembangan sosial emosional anak yang kurang baik akan terjadi. Salah satu bentuk pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dan berdampak signifikan terhadap perkembangan sosial emosional anak adalah pola asuh otoriter.
Pada dasarnya, pola asuh terbagi menjadi 3 bentuk, yakni pola asuh demokratis, pola asuh otoriter, dan pola asuh permisif. Pola asuh yang berfokus pada penerapan aturan yang ketat dan memaksa anak untuk bertindak sesuai dengan kehendak orang tua adalah pola asuh otoriter.
Anak diharuskan selalu mengikuti keinginan orang tua. Pola asuh ini melibatkan perilaku yang membatasi dan menghukum.
Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter menetapkan batasan yang sangat jelas dan tidak memberi banyak kesempatan bagi anak untuk berbicara atau mengungkapkan perasaannya. Dengan demikian, pola asuh otoriter juga menimbulkan kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak yang berdampak pada kemampuan anak dalam berkomunikasi.
Menurut Dhiu & Fono (2022) dalam penelitiannya, pola asuh otoriter menunjukkan pengaruh yang signifikan, di mana pola asuh ini berdampak negatif. Artinya, semakin tinggi tingkat pola asuh otoriter yang diterapkan oleh orang tua, maka semakin rendah keterampilan sosial anak serta anak cenderung memiliki emosi yang tidak stabil, tidak mandiri, dan kurang percaya diri.
Orang tua yang menggunakan pola asuh otoriter biasanya memiliki tingkat empati yang rendah, tetapi kontrol yang tinggi. Mereka cenderung memberikan hukuman sebagai cara membentuk kepatuhan anak, bersikap memerintah (menuntut anak melakukan sesuatu tanpa kompromi), kaku, emosional, dan sering kali menunjukkan sikap penolakan terhadap anak.
Hasil yang sama dengan penelitian di atas, Chintia Wahyuni Puspita Sari (2020) dalam penelitiannya tentang bagaimana pengaruh pola asuh otoriter orang tua bagi kehidupan sosial anak, menemukan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter yang sangat ketat dan sering memberi hukuman atau menerapkan aturan yang kaku kepada anak dapat membuat anak kehilangan kebebasan untuk menyampaikan pendapat, memiliki apa yang diinginkan, dan mempunyai kecemasan yang tinggi serta rasa takut, karena adanya tekanan untuk tidak membuat kesalahan yang berujung menerima hukuman dari orang tuanya.