Lihat ke Halaman Asli

Gustaaf Kusno

TERVERIFIKASI

'Whistle-blower', si Pengkhianat atau Bukan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di wacana bahasa kita, istilah ‘whistle-blower’ termasuk ‘pendatang baru’ yang kira-kira mulai tenar semenjak Nazaruddin bernyanyi tentang praktik koruptif yang dilakukan oleh kolega-kolega yang ada dalam lingkaran partainya. Istilah ‘whistle-blower’ ini oleh pers lantas disadur menjadi ‘peniup peluit’. Bagi khalayak ramai, istilah ‘peniup peluit’ boleh jadi tidak terlalu kuat memberi asosiasi tentang siapa sebenarnya pelakunya. Peniup peluit di sini, tentunya bukan polisi lalulintas yang menyempritkan peluit, bukan tukang parkir yang menyemprit mengatur keluar masuk kendaraan, pun bukan wasit sepakbola yang menyemprit bilamana ada pelanggaran oleh pemain.

Whistle-blower memang umumnya dikenal di budaya negara Barat saja. Untuk lebih mudah memperoleh gambaran tentang si ’peniup peluit’ ini, kita dapat menonton adegan dalam film ’The Sound of Music’. Di sana ada Liesl, putri cantik dari Kapten von Trapps yang jatuh kasmaran dengan pemuda Rolf Gruber. Pendudukan negara mereka, Austria, oleh tentara Nazi, membuat Rolf kemudian masuk dalam organisasi kepemudaan Nazi. Pada adegan akhir film ini, digambarkan seluruh keluarga von Trapps dikejar-kejar oleh tentara Nazi, karena berusaha untuk melarikan diri dari negaranya. Pada saat kritis itulah pemuda Rolf yang tergabung dalam pasukan memergoki keluarga von Trapps yang bersembunyi pada pusara biara susteran. Pertentangan batin berkecamuk pada dirinya, antara cintanya pada Liesl dan kesetiaannya pada Nazi. Kesetiaan buta pada Nazi membuatnya meniup peluit keras-keras, untuk memberitahukan anggota tentara lainnya tentang keberadaan buruan mereka ini. Beruntunglah, secara dramatis, keluarga van Trapps berhasil lolos dari sergapan tentara berkat bantuan dari para suster di sana.

Itulah hakekat dari ’whistle-blower’, yaitu orang yang melaporkan tentang pelanggaran, kecurangan yang diketahuinya. Namun motif yang mendorong seseorang menjadi ’peniup peluit’ pada galibnya bukan timbul dari hati nurani yang murni. Lebih sering pelakunya dimotivasi oleh karena sakit hati, rasa dengki, rasa kecewa. Dalam wacana bahasa pasar kita mengenal istilah ’tukang lapor’. Di sekolah, selalu ada murid yang suka melaporkan kepada guru, kalau dia melihat temannya mencontek. Meskipun perbuatan mencontek adalah pelanggaran, tindakan melaporkannyakepada yang berwenang (dalam hal ini, guru), dianggap oleh teman-teman sekelas sebagai pengkhianatan.

Baru-baru ini ada berita Raffi yang menolak kedatangan Yuni Shara yang ingin membesuknya. Alasan yang belum terkonfirmasi, Raffi merasa Yuni Shara telah menjadi whistle-blower, sehingga dia digerebek oleh BNN malam itu. Selain istilah ’tukang lapor’, dalam wacana bahasa kita dikenal juga sebutan ’informan’. Dalam bahasa Inggris ada cukup banyak sebutan untuk menggambarkannya. Ada istilah yang diambil dari nama burung, seperti canary, tattletale, stool pigeon, songbird, fink (dari nama jenis burung finch/burung pipit) dan sebutan lain seperti snitcher, rat, snake, collaborator. Semuanya mengesankan perbuatan yang tidak terpuji, meskipun dalih si pelapor adalah melaporkan suatu pelanggaran atau penyimpangan. Anda pun akan mafhum dengan kalimat berikut ini ’Who is the snitch who ratted on me?’ (Siapa tukang lapor yang melaporkan saya?).

Belakangan ini juga ada sebutan ‘justice collaborator’. Kata ’kolaborator’ memang mengandung dua makna yang bertolak belakang, satu positif dan satu lainnya negatif. Kata kerjanya adalah ’kolaborasi’. Sering kita dengar dan baca, pekerja seni (pemusik, penyanyi, pelukis) yang berkolaborasi, yang bermakna mereka bekerja sama untuk menghasilkan karya seni yang diharapkan lebih mumpuni. Tetapi kata ’kolaborasi’ juga bisa bermakna ’bekerja sama dengan musuh negara, utamanya yang sedang menduduki negara tersebut’. Di jaman pendudukan Jepang, kolaborator adalah orang yang paling dibenci oleh masyarakat. Dia memang bak musuh dalam selimut, seakan-akan sahabat, namun diam-diam melaporkan segala tindak tanduk kita kepada pihak penjajah Jepang. Ada seorang paman saya yang menjadi korban kolaborator ini, karena mendengarkan radio siaran luar negeri yang sudah dilarang oleh Jepang. Suatu hari, beliau didatangi tentara Jepang, diambil dan tak pernah kembali. Kabar burung yang sampai di telinga, beliau dihukum dengan digelonggong air bertong-tong hingga tewas.

Dua kata yang cukup populer dewasa ini, ’whistle-blower’ dan ’collaborator’. Cukup sulit untuk menyikapi mereka, apakah dengan acungan jempol atau sebaliknya dengan cemoohan. Persoalannya, ada unsur pengkhianatan di sini, sekalipun dengan dalih untuk menegakkan kebenaran. Strategi inilah yang saya tengarai diadopsi oleh KPK dan BNN untuk menangkap tangan pelaku pelanggaran hukum. Sepanjang untuk kepentingan umum, kita dukung saja strategi ’menangkap tikus dengan tikus’ ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline