Lihat ke Halaman Asli

Gustaaf Kusno

TERVERIFIKASI

'Samenleven' Bukan Bermakna 'Kumpul Kebo'

Diperbarui: 4 April 2017   18:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1365999322554885288

[caption id="attachment_247957" align="aligncenter" width="570" caption="(ilust maryskadoshop.nl)"][/caption] Bahasa Belanda yang berkelana sampai ke bumi nusantara di zaman kolonialisme, ternyata bisa mengalami pembelokan makna pada sejumlah kosakatanya. Kata 'winkel', misalnya, yang sejatinya bermakna 'toko', di tanah melayu bermetamorfosa menjadi 'bengkel'. Kata 'boei' (kependekan dari 'handboei') yang sesungguhnya berarti 'borgol', berubah makna menjadi 'penjara' (ditulis 'bui') dalam wacana bahasa melayu. Namun ada satu istilah Belanda yang berbalik 180 derajat maknanya setelah berasimilasi di negeri ini yaitu kata 'samenleven'. Istilah ini sudah identik dengan sebutan negatif 'kumpul kebo'. Samenleven secara harfiah memang bermakna 'hidup bersama' (samen = bersama, leven = hidup), namun permaknaan sesungguhnya adalah 'hidup berdampingan dalam suatu masyarakat' (bahasa Inggris: coexistence). Di negeri asalnya, hampir-hampir tak pernah 'samenleven' dikonotasikan sebagai 'dua orang berlainan jenis yang hidup serumah tanpa ikatan pernikahan yang sah'. Istilah 'samenleven' di zaman kini, bahkan merupakan kebanggaan bangsa Belanda, yang menjadi 'model' bagi bangsa-bangsa lain di dunia akan tingginya toleransi hidup bermasyarakat di antara warganya yang sangat majemuk. Seorang penulis non Belanda mengatakan It's one of the core values of Dutch culture: the concept that no matter how much we differ, we all have to find a way to not just coexist but actively cooperate. The simplistic folk-sociological explanation of this is that it's a crowded country with a shared objective: keep our feet dry, keep the sea back (Samenleven adalah salah satu nilai utama budaya Belanda yang menganut konsep betapa pun jauh kita berbeda, kita harus mencari jalan untuk bukan saja hidup berdampingan, tetapi bergotong-royong secara aktif. Penjelasan sosiologis yang sederhana adalah negeri ini kecil dan rakyatnya hidup berimpitan dengan satu tekad bersama: menjaga kaki mereka tetap kering dan menjaga agar air laut tak masuk). Ya, inilah kenyataan historis di mana negeri Belanda selalu hidup di bawah ancaman bah air laut dan telah menyatukan semua elemen bangsa dalam suatu paguyuban bernama 'samenleven'. Bila ada kalimat Ik hoop dat we ooit allemaal in vrede en respect voor elkaar zullen samenleven, kita tentu memaknainya dengan 'Saya berharap kita semua dapat hidup berdampingan dalam kedamaian saling menhormati satu sama lain'. Atau sebuah kalimat yang indah berikut ini Morgen, wanneer we in harmonie samenleven, zal de reden overwinnen, yang artinya 'Esok, tatkala kita hidup berdampingan secara harmonis, maka itulah saatnya akal sehat menang'. Kembali pada persoalan istilah 'kumpul kebo'. Istilah ini membuat pikiran kita liar berfantasi ke mana-mana. Ada yang berasumsi bahwa kerbau adalah satwa yang paling tidak berakhlak dalam urusan kawin-mengawin ini. Ada pula yang berasumsi bahwa dua orang berlainan jenis yang serumah tanpa ikatan pernikahan ini tak ubahnya seperti dua ekor kerbau yang berkumpul dalam satu kandang. Tetapi selalu ada pertanyaan yang menggelitik: mengapa kerbau? Bukankah ada banyak binatang lainnya yang tak kalah 'pornonya' dalam perkara kawin-mengawin ini? Ternyata kita sudah salah kaprah selama ini. Istilah yang asli dahulunya adalah 'koempoel gebouw', di mana 'gebouw' bermakna 'bangunan atau rumah' (bahasa Inggris: building). jadi 'koempoel gebouw' tentu maksudnya adalah 'kumpul di bawah satu atap rumah'. Mungkin telinga kita mendengar kata 'gebouw' ini sebagai 'kebo', sehingga terciptalah istilah legendaris yang tak ada duanya di dunia yaitu 'kumpul kebo'. Dua istilah dari bahasa Belanda 'samenleven' dan 'koempoel gebouw', telah mendapat stigma bahasa berpuluh-puluh tahun lamanya dan kini bahkan mau dimasukkan dalam undang-undang negara kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline