Lihat ke Halaman Asli

Gustaaf Kusno

TERVERIFIKASI

Lampu Sein Juga Diakali Orang Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1348731101249175922

[caption id="attachment_208297" align="aligncenter" width="423" caption="(ilust yoatech.com)"][/caption]

Lampu ‘sein’ yang terpasang di samping kiri kanan bagian depan maupun belakang kendaraan bermotor disebut dengan ‘turn signal’ dalam bahasa Inggris. Sebutan tak resmi lainnya adalah ‘directionals, blinkers, indicators’atau‘flashers’. Lampu ini akan menyala berkedip-kedip sesuai dengan jurusan mana si pengendara akan berbelok. Di negeri kita dia dinamakan dengan ’lampu sein’, mengadopsi dari istilah Belanda ’sein’ yang bermakna ’sinyal’. Namun tak jarang disebut juga dengan ’richting’ yang merupakan pemendekan dari kata Belanda ’richtingaanwijzer’ (richting = arah, aanwijzer = penunjuk).

Sebelum menggunakan lampu sein ini, di zaman dahulu (tahun 1920-1950) mobil dipasangi sejenis tuas di samping kiri kanan bodi mobil yang dapat ’membuka’ dan ’menutup’ dan dinamakan dengan ’trafficator’. Bilamana si supir mobil akan membelok ke kiri, maka tuas sebelah kiri akan ’membuka’ melintang secara horizontal dan seusai manuver berbelok, tuas ini akan ’menutup’ kembali (kira-kira seperti gerakan pisau lipat). Saya masih sempat mengalami menyaksikan mobil dengan ’trafficator’ ini pada tahun 50an. Tentu saja ’trafficator’ ini banyak kekurangannya, antara lain dia mudah patah (misalnya bila tersenggol mobil lain atau orang yang lewat) dan seringkali ’macet’ (baik waktu akan membuka maupun akan menutup). Bagi generasi zaman sekarang, mendengar istilah ’trafficator’ pasti terdengar asing, apalagi melihat ujud bendanya.

[caption id="attachment_208298" align="aligncenter" width="248" caption="trafficator (ilust mmoc-ni.co.uk)"]

13487312221667832679

[/caption]

Masih berbincang soal isyarat berbelok di zaman dahulu, pengendara mobil juga menggunakan isyarat tangan (hand signal). Pada mobil ’setir kanan’ (right-hand drive) seperti di Indonesia, bilamana si pengendara akan berbelok ke kanan, maka dia akan melintangkan lengan kanan dengan posisi lurus horizontal. Sebaliknya, apabila dia akan berbelok ke kiri, maka lengan kanan akan dijulurkan sembari melakukan gerakan berputar. Alternatif lain, penumpang yang duduk di samping kirinya, dapat membantu memberi sinyal dengan mengeluarkan lengan kirinya dengan posisi lurus. Isyarat tangan ini masih tetap dipakai secara darurat, bilamana lampu sein tak menyala.

Di negeri kita, lampu sein ini sudah mengalami serangkaian ’penyalah-gunaan’ (’abuse’). Bagi Anda yang kerapkali berkendara mobil ke luar kota, fenomena ini tak asing lagi. Anda berniat mendahului (overtake) mobil truk, namun segera lampu sein kanan truk ini menyala berkedip-kedip. Akankah truk ini membelok ke kanan? Ternyata tidak. Lampu sein kanan berkedip ini bermakna Anda belum diijinkan menyalip, karena dari arah berlawanan ada mobil yang akan melintas. Penyalaan lampu sein dengan ’niat baik’ ini sebenarnya tetap keliru, karena secara konvensi internasional lampu sein hanya dipakai sebagai isyarat untuk berbelok.

’Penyalah-gunaan’ lainnya yang barangkali khas di negeri kita adalah menghidupkan lampu bahaya (hazard flasher) yaitu lampu sein yang berkedip secara bersamaan kiri dan kanan. Hazard atau flasher ini menurut peraturan lalulintas internasional dinyalakan sebagai peringatan pada mobil yang berhenti di tengah jalan, mobil yang mogok, atau mobil yang berjalan lambat seperti pada tanjakan (steep grade). Tapi nampaknya ’hazard flasher’ ini telah berubah fungsi di Indonesia. Dia dinyalakan pengendara mobil sebagai isyarat bahwa kendaraannya akan berjalan lurus dan bukan berbelok ke kiri atau kanan. Justru apabila kendaraan terhenti mendadak (entah karena mogok atau alasan lain), si supir tak pernah menghidupkan ’hazard flasher’ ini, sehingga mobil-mobil di belakangnya akan terperangkap tak sempat untuk pindah jalur.

Penyalahgunaan lampu sein yang lebih ’fatal’ adalah pencopotan (pemeretelan) lampu sein ini pada sepeda motor oleh pemiliknya sendiri. Entahlah apa motivasi mencopot lampu sein pada sepeda motor ini, tapi nampaknya seperti mode (gaya hidup) yang diikuti oleh orang banyak. Dan lebih parah lagi, pengendara sepeda motor ini membelok tanpa sedikit pun menengok ke kiri atau kanan. Jadi sudah tak pakai lampu sein, tidak juga ’memberi tangan’ (hand signal), pun tidak menengok ke belakang. Sekalipun tak terjadi tabrakan, pengendara mobil yang ’dipotong jalan’ semena-mena ini, pasti akan ’copot jantung’nya.

Mungkin inilah gambaran budaya manusia Indonesia yang suka ’menerabas’, ’menerobos’, ’cari jalan pintas’, ’cari jalan tikus’ termasuk dalam perilaku berlalulintas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline