[caption id="attachment_189825" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Sudah menjadi lelucon umum, bahwa dokter selalu mempunyai tulisan tangan (handwriting) yang sangat jelek dan mendapat julukan cakar ayam. Dalam bahasa Inggris pun tulisan ini dinamakan dengan ‘chicken scratches’. Dan tulisan cakar ayam ini terejawantah dalam resep obat untuk pasien yang akan dibeli pada apotek. Apakah petugas apotek selalu mampu dan akurat membaca tulisan cakar ayam di resep ini? Ternyata mitos yang mengatakan bahwa petugas apotek mempunyai indra ke enam di dalam membaca tulisan slordig dokter tak sepenuhnya benar. Penelitian yang dilakukan di AS menunjukkan bahwa 37 persen dari resep-resep ini salah baca.
Salah baca resep dokter ini tentu berimplikasi apotek keliru memberikan obat pada pasien. Efek yang ditimbulkan mulai dari yang ringan, seperti alergi (biduran), diare sampai dengan yang fatal. Menurut data di AS sejumlah 7.000 kematian per tahun terjadi gara-gara salah baca tulisan cakar ayam dokter. Zaman sudah maju dengan penerapan sistem digital pada ranah kedokteran, tetapi dokter masih memelihara paradigma kuno di dalam menuliskan resep yaitu dengan tulisan tangannya.
Di negara-negara maju, kini sudah dikembangkan resep elektronik yang disebut dengan ’e-prescription’. Dengan e-prescription ini terbukti terjadi penurunan drastis dari kesalahan (error) baik dari penulisan oleh dokter maupun dari pembacaan oleh apoteker. Kalau pada resep tulisan tangan kemungkinan salah sekitar 37 persen, maka dengan e-prescription’ hanya sekitar 7 persen saja. Namun karena program perangkat lunak e-prescription ini cukup mahal (bisa mencapai puluhan ribu dollar), pada tahun 2011 di AS baru 36 persen resep obat yang dituliskan secara elektronik.
Di Australia, praktis resep tulisan tangan dokter sudah dihapuskan dan diganti dengan resep elektronik. Program yang didanai pemerintah ini sudah dimulai sepuluh tahun yang lalu. Sekalipun dokter menuliskan resep melalui komputer, hingga sekarang resep ini belum bisa ditransfer langsung ke apotek. Jadi resep elektronik ini akan di-print dahulu pada kertas dan kemudian akan dibawa ke petugas apotek (pharmacist). Jauh lebih mendingan daripada berteka-teki menebak tulisan cacing si dokter.
Mungkin dalam tempo sepuluh atau dua puluh tahun lagi, buku resep yang menjadi andalan dokter untuk menuliskan daftar obat yang harus ditebus pasien akan bermukim dalam museum benda-benda medis kuno. Dan barangkali pada masa itu, kita akan bernostalgia mengenang tulisan cakar ayam sang dokter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H