Lihat ke Halaman Asli

Gustaaf Kusno

TERVERIFIKASI

Bagian yang Tersulit dalam Menulis: Memberi Judul

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_141814" align="aligncenter" width="601" caption="(ilust tripleclicks.com)"][/caption]

Ini adalah pertanyaan klasik untuk para penulis yaitu : bagian mana yang tersulit dalam proses membuat tulisan? Ternyata jawabannya cukup mencengangkan yaitu : membuat judul. Kalau judul ini sudah ‘salah’ dari awal, maka akan berantakan tulisan yang menyertainya. Anda tidak percaya dan kurang yakin? Di bawah ini dipaparkan kisah judul novel-novel klasik yang ‘nyaris’ bakal dilupakan orang, seandainya dia diberi judul yang lain daripada judul yang membuatnya dikenang orang sepanjang masa.

Ambillah contoh karya sastra ‘The Raven’ buah pena Edgar Allan Poe (1809-1849). Sebelum puisi legendaris ini dipublikasikan, si penulisnya berkali-kali merevisi judulnya mulai dengan ‘The Crow’,’The Bird’, ‘The Talking Bird, ‘The Big Black Talking Bird’, ‘Ulysses’, ‘The Birdie’. Dan akhirnya tibalah ilham itu bak  petir dari langit dengan judul ‘The Raven’ (Sang Gagak).

Herman Melville, sang pengarang ‘Moby Dick’ mungkin akan dilupakan orang seandainya dia tidak mengubah judul kisah tentang pertarungan hidup mati antara nahkoda kapal dan ikan paus yang semula diberinya judul ’Moby Ralph’. Kalau dipikir-pikir, memang orang tidak bakal tertarik membaca buku tentang ikan paus yang diberi nama Moby Ralph. Untungnya, Herman Meville menyadari ‘kesalahan’ ini dan mengubahnya menjadi ‘Moby Dick’ pada saat terakhir bukunya akan naik cetak.

Contoh klasik lainnya adalah judul ‘Crime and Punishment’ oleh penulis Fyodor Dostoevsky (1886) yang sebelumnya diberi judul ‘Crooks and Punishment’, sebuah novel yang melukiskan rasa ketakutan dan penyesalan seorang pemuda yang telah membunuh seorang wanita tua karena menginginkan uangnya. Juga karya klasik Ernest Hemingway ‘The Old Man and The Sea’ yang sebelumnya diberi judul ‘The Short Man and The Sea’. Mungkin dapatlah kita katakan bahwa penulis-penulis ini mempunyai kegeniusan untuk meraba ada sesuatu yang kurang pas dengan judul tulisannya.

Anda mau tahu judul-judul lain yang bahkan diubah setelah buku ini kurang laris di masyarakat dan meledak setelah diberi judul baru? Adalah buku cerita anak-anak ‘The Snow White and The Seven Dwarfs’ yang mengalami gagal penjualan sewaktu masih diberi judul ‘Clara Jones and The Seven Dwarfs’, juga buku dongeng anak ‘Beauty and The Beast’ yang sebelumnya dijudul dengan ‘Beauty and The Slob’ serta novel petualangan ‘Robinson Crusoe’ yang sebelumnya diberi judul ‘Arthur Crusoe’. Demikian juga yang lebih mutakhir novel sejarah satir Joseph Heller ‘Catch-22’ yang sebelumnya diberi titel ‘Catch Twenty-One’. Memang dibutuhkan kepekaan istimewa untuk mendeteksi ‘kelemahan’ sebuah judul.

Buku yang menjadi smash hitLove Story’ pernah ditolak oleh penerbit sampai 134 kali sewaktu masih memakai judul orisinilnya ‘Like Story’. Mario Puzo, penulis novel ‘Godfather’ sampai berutang kiri kanan karena novelnya yang diberi judul ‘God-pop’ ditolak penerbit kiri-kanan. Baru setelah dia menyadari ‘kesalahan’ judul dan menggantinya dengan ‘Godfather’ buku ini tercetak dan menjadi bestseller.

Margaret Mitchell sang pengarang buku ‘Gone With The Wind’ bahkan harus menunggu bertahun-tahun sebelum ilham judul ini hinggap di otaknya. Dia adalah seorang wartawati koran ‘Atlanta Journal’ yang pemalu dan bersahaja, namun dia mempunyai keyakinan bahwa pada suatu saat manuskripnya yang tebal ini akan memiliki judul. Dan memang pada suatu hari sewaktu menuliskan berita feature tentang barang-barang ’lucu’ yang sering ditinggalkan penumpang di dalam bus dengan judul ‘The Wind Blew Lots of Stuffs Away’, maka teperciklah inspirasi judul yang lama dinantinya : Gone With The Wind.

Penulis-penulis akbar tak jarang juga membuat kelengahan penjudulan ini. DH Lawrence pernah mengakui bahwa bahwa judul ’Lady Chatterley’s Boyfriend’ kurang mempunyai gereget dan mengubahnya menjadi ’Lady Chatterley’s Lover’. Demikian juga Nathaniel Hawthorne sampai harus meminta pendapat rekan-rekan penulis untuk memilih antara judul ’The Maroon Missive’ atau ’The Bright Red Letter’, sebelumnya akhirnya menemukan judul yang paling pas yaitu ’The Scarlet Letter’, novel tentang penistaan dan pembalasan dendam atas stigma perselingkuhan pada tahun 1850.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline