Lihat ke Halaman Asli

Gustaaf Kusno

TERVERIFIKASI

Sekelumit Memori Tentang Jenderal Yunus Yosfiah

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini saya membaca berita tentang dukungan 80 jenderal purnawirawan kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan dideklarasikan oleh Letjen (Purn) Yunus Yosfiah. Memori saya terbangkit kembali pada masa kepemimpinan Yunus Yosfiah sebagai Panglima Kodam II Sriwjaya tahun 1994-1995. Ada suatu kesan yang mungkin tak akan dilupakan seumur hidup bagi seluruh prajurit Kodam II tentang beliau, termasuk bagi saya.

Bagi Yunus Yosfiah, seorang prajurit mulai dari pangkat terendah sampai tertinggi mutlak harus mempunyai ketangguhan fisik yang prima yang dicerminkan dengan bangun tubuh yang tegap proporsional dan kemampuan raga militer dan ini merupakan harga mati. Tak ada pengecualian, semua prajurit tak boleh berperut buncit atau pun berpostur gendut. Kemampuan raga militer yang kita sebut dengan Jasmil (Jasmani Militer) meliputi lari 12 menit, push-up, pull-up, sit-up dan lari angka delapan harus dipenuhi nilai standar minimalnya.

Dan inilah masa-masa paling stressful bagi mereka yang tak memenuhi standar ini. Dari antara lima Jasmil ini yang paling berat adalah pull-up yang dalam jargon tentara lebih dikenal dengan nama “restok”. Kata ini diserap dari bahasa Belanda “rekstok” (dalam bahasa Inggris: horizontal bar). Untuk melakukan pull-up, kedua tangan berpegangan pada palang tiang gawang sehingga badan kita menggantung. Selanjutnya dengan kekuatan otot lengan, badan kita ditarik ke atas (pull up) sampai dagu menyentuh palang horizontal ini, lalu turun dan dilakukan gerakan ini berulang. Melakukan pull-up ini dalam hitungan 4 atau 5 kali saja sudah memerlukan effort yang luar biasa beratnya apalagi memenuhi standar minimal 10-12 kali.

Tapi Yunus Yosfiah sebagai prajurit sejati tak sedikit pun memberi dispensasi bagi siapa pun yang gagal memenuhi standar ini. Sejumlah prajurit yang memforsir gerakan pull-up ini, sampai mengalami dislokasi (terlepasnya tulang dari persendian) dari tulang belikat. Gerakan push-up bagi perwira yang relatif gendut juga tak sedikit membawa “korban”. Karena memaksakan diri, beberapa di antaranya yang sudah berusia di atas 50 tahun, akhirnya harus masuk rumah sakit karena komplikasi penyakit degeneratif yang sudah diidapnya (seperti penyakit jantung, diabetes dsb) dan beberapa di antaranya akhirnya meninggal dunia. Memang tidak serta merta meninggal tetapi setelah dirawat beberapa minggu kemudian.

Mereka yang berpostur gendut dan overweight diharuskan menjalani latihan di hutan selama dua minggu. Di situ mereka setiap hari berlari pagi dan sore serta melatih olah jasmani militer lainnya dan baru boleh kembali ke kesatuannya setelah penimbangan badan memenuhi syarat proporsi tinggi dan berat. Hasil dari perintah Yunus Yosfiah yang austere (keras) ini memang langsung nampak, banyak komandan yang tadinya bertubuh tambun, langsung menyurut seperti balon yang kempes. Namun karena penurunan berat badan ini dilakukan dengan drastis, tak sedikit yang nampak seperti emaciated (muka tirus seperti penghuni kamp konsentrasi zaman Hitler).

Perintah lain dari Yunus Yosfiah yang masih membekas dalam ingatan saya adalah latihan berbaris dengan sikap sempurna selama satu jam penuh. Sikap sempurna bermakna posisi badan tegak, lengan lurus di samping badan dan pandangan lurus ke depan dan tak boleh ada gerakan tubuh sekecil apa pun. Bisa dibayangkan alangkah menderitanya kita berbaris sikap sempurna, karena bila gatal dirasa dilarang keras untuk digaruk. Dalih Yunus Yosfiah, kalau gatal tidak digaruk, kita toh tidak akan mati. Belum lagi, rasa semutan yang mulai mendera bila kita sudah berdiri sikap sempurna lebih dari setengah jam.

Beruntunglah tenure (masa jabatan) Yunus Yosfiah sebagai Pangdam Sriwijaya di Palembang tak terlalu lama (sekitar 10 bulan), sehingga hampir semua anggota bernapas lega tatkala beliau mengalami tour of duty. Seakan-akan kita semua terbangun dari mimpi buruk (nightmare) yang panjang sekali. Ini sekelumit kisah yang saya penakan, tanpa bermaksud atau berpretensi apa pun, kecuali sebagai goresan kenangan belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline