Lihat ke Halaman Asli

Gustaaf Kusno

TERVERIFIKASI

Muak Dengan Propaganda Televisi

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Istilah “propaganda” bangkit dari kuburnya seturut dengan iklim persaingan dua calon presiden 2014 ini. Menurut kamus Collins, propaganda adalah “penyebaran informasi, penistaan dllsecara terstruktur guna mendukung atau meruntuhkan kepentingan pemerintah, gerakan dsb (the organized dissemination of information, allegations, etc., to assist or damage the cause of a government, movement, etc.). Setelah sekian lama kita relatif “terbebas” dari kungkungan propaganda, sekonyong-konyong dia muncul kembali di depan mata seperti hantu. Televisi sebagai media yang paling luas menjangkau masyarakat, menjadi corong andalan kedua calon ini untuk menebar propaganda. Disamping televisi, media internet juga digenjot untuk menyemaikan propaganda.

Lihatlah pada dua stasiun televisi berita pada hari-hari ini, maka pemirsa akan dicekoki dengan footage sang calon hingga bermenit-menit. Persis seperti di zaman Soeharto dulu, di mana pemirsa setiap hari didaulat untuk menonton acara peresmian ini dan itu (sebagai propaganda keberhasilan pemerintah), acara pidato, temu wicara, penataran dsb. Pun demikian halnya di zaman Soekarno, dengan memanfaatkan RRI dan trailer Deppen pada pemutaran film di gedung bioskop, masyarakat dibombardir otaknya dengan segala rupa propaganda rezim pada masa itu.

Saya masih ingat pada masa jatuhnya pemerintahan Soekarno, maka yang pertama direbut dan dikuasai adalah studio RRI dengan todongan laras senjata. Di zaman pendudukan Jepang, propaganda menjadi alat yang ampuh untuk menggiring opini masyarakat sehingga seperti robot dan zombie semua manut memuja dan memuji saudara tua Dai Nippon. Strategi propaganda memang dari dahulu terbukti sangat ampuh untuk menciptakan manusia yang membebek dan membeo (atau seperti peribahasa lama ‘bak kerbau dicokok hidungnya). Sekelompok orang yang menolak untuk dicokok hidungnya, biasanya akan “dilenyapkan” alias hilang tak tentu rimbanya.

Mungkin fenomena propaganda di zaman kini tak sekeji (ruthless) seperti zaman-zaman lampau, namun efeknya buruknya bagi psikologi masyarakat tetap sama. Kelompok manusia dihasut dan diprovokasi untuk membenci kelompok manusia yang lain, kelompok manusia dikotak-kotakkan sehingga sesama anak bangsa saling berseteru, kelompok manusia dicuci otaknya sehingga mendewakan dan mengkultus-individukan sang tokoh. Sungguh sangat memprihatinkan bibit-bibit propaganda yang mulai disemaikan oleh kedua media elektronik berita nasional ini. Saya bahkan sudah sampai pada taraf muak menontonnya. Sudah tak ada lagi prinsip luhur pers untuk bersikap obyektif, tidak memihak dan berimbang. Malahan media TV ini sudah berada pada tubir “menghalalkan segala cara” demi mengusung calon presidennya. Pun demikian halnya dengan media internet, yang dijejali dengan propaganda yang bertubi-tubi meneror otak masyarakat.

Sungguh sangat menyedihkan, kalau kita semua terperangkap dan tersandera oleh strategi propaganda yang dilancarkan oleh sementara pihak ini. Janganlah sampai kita terpancing dan terperosok dalam kubangan yang memang dirancang propagandis ulung ini. Karena bila kita tidak waspada, maka semuanya akan merugi di kemudian hari. Setidaknya diri kita sendiri bisa menjegal langkah propagandis ini dengan tidak tidak menyebarluaskan kepada orang lain dan lebih baik lagi dengan memboikot (paling tidak sampai masa pilpres selesai) menonton kedua stasiun televisi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline