Ada sesuatu yang menarik di tengah-tengah gonjang-ganjing perseteruan berkepanjangan kedua pendukung kandidat presiden yaitu kelahiran dan kemunculan istilah “move on” dalam wacana media sosial Indonesia. Dengan tetap dipakainya istilah “move on”, dapat ditengarai bahwa padanan bahasa Indonesia belum ada (atau setidak-tidaknya belum ditemukan) untuk bisa melingkupi (encompass) permaknaan “move on” secara pas dan jitu. Istilah “move on” mulai naik daun waktu dahulu dipakai untuk menggambarkan para selebritas yang putus cinta atau bercerai, dan mereka tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam keterpurukan dan kenestapaan, karenanya bangkit dan bergerak melanjutkan kehidupan. Saking eksklusifnya istilah “move on” ini dipakai pada hubungan percintaan para selebritas, pernah orang keliru menginterpretasikan istilah “move on” ini sebagai “putus cinta” seperti misalnya pada kalimat “Luna Maya sudah move on dari Ariel”.
Kini, komunitas media sosial sudah lebih lebih akurat memaknai istilah “move on” dan terbukti dengan begitu marak dipakainya istilah “move on” dalam kaitan dengan wacana tentang sebagian pendukung Prabowo yang masih belum bisa menerima kekalahan idolanya dan masih sakit hati. Komentar yang banyak beredar di dunia maya secara garis besar kurang lebih berbunyi sebagai berikut: Prabowo dengan kebesaran jiwanya sudah mengucapkan selamat kepada Jokowi, mengapa para pendukungnya belum bisa “move on”? Mengingat begitu tenarnya istilah “move on” ini dalam wacana bahasa kita, tak ada salahnya kalau kita mencoba mencari padanannya dalam bahasa Indonesia.
Memadani istilah “move on” dalam suasana hati masyarakat yang belum sepenuhnya sembuh dari luka batin memang sedikit terasa muskil, karena ada kemungkinan akan menyinggung perasaan. Saya sesungguhnya cenderung untuk memadani istilah “move on” ini dengan kata yang sudah lama ada pada kosakata kita yaitu “legawa”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “legawa” didefinisikan dengan “dapat menerima keadaan atau sesuatu yang menimpa dengan tulus hati; ikhlas; rela”. Ada pun istilah “move on” menurut kamus MacMillan didefinisikan dengan “to start to continue with your life after you have dealt successfully with a bad experience” (kembali melanjutkan kehidupan setelah berhasil mengatasi pengalaman yang buruk). Terasa ada benang merah antara kedua permaknaan di atas, meskipun masih ada sedikit nuansa. Waktu saya melempar diskusi tentang terjemahan yang sesuai untuk istilah “move on” dalam komunitas daring, ada sejumlah usul dan saran yang saya terima. Ada yang mengusulkan “bangkit dari keterpurukan”, “melanjutkan hidup”, “beranjak bergerak ke arah yang lebih baik” yang kesemuanya memang menyiratkan makna dari “move on”. Namun sayang, kita belum bisa menemukan satu kata tunggal saja untuk mendeskripsikan istilah “move on” ini.
Ada satu kata asing lain yang sangat marak dipakai juga dalam rangkaian pertarungan politik antara kedua pendukung kandidat presiden baru-baru ini, yaitu istilah “walk out”. Saya cukup penasaran karena sejauh ini kita belum berhasil menemukan padanan yang “cespleng” dari istilah “walk out” ini. Ada dua bentuk istilah ini dalam bahasa Inggris, yaitu sebagai kata kerja yang ditulis terpisah (walk out) dan sebagai kata benda yang ditulis terangkai (walkout). Menurut kamus Collins, walk out dimaknai dengan “to leave without explanation, especially in anger” (pergi tanpa pamit, terutama dalam keadaan marah), sedangkan walkout dimaknai dengan “the act of leaving a meeting, conference, etc, as a protest (tindakan meninggalkan rapat, muktamar dsb sebagai bentuk protes). Ada yang mengusulkan untuk memadaninya dengan kata “hengkang” atau “minggat”. Dalam idiom bahasa Jawa ada “tinggal glanggang colong playu” yang menyiratkan sikap perilaku seseorang yang tidak bertanggung jawab. Ketiganya memang cukup mendekati permaknaan yang termaktub pada istilah “walk out”, namun tetap terasa masih ada yang belum pas. Kasus dua istilah asing yang masih belum tergantikan dengan istilah Indonesia ini menyadarkan kita betapa masih besar kesenjangan kiprah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kita “terpaksa” memakai istilah Inggris, karena memang belum ada istilah Indonesia yang dapat mewadahi pola pikir kita.
NB: Ini adalah naskah bahasa yang saya kirim ke Kompas Cetak, tetapi tak berbalas sepatah kata pun dari redaksi dalam dua minggu, sehingga saya asumsikan dia ditolak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H