[caption id="attachment_355846" align="aligncenter" width="651" caption="(ilust delpher.nl)"][/caption]
Pada usia kepala enam ini, saya ingin ber-refleksi, melihat ke belakang, pada saat saya masih duduk di bangku sekolah kelas 5 SD. Di masa itu, ada pelajaran mengarang (saya tak mengetahui apakah pelajaran mengarang ini masih ada pada kurikulum SD di zaman sekarang ini). Murid-murid diberi pekerjaan rumah untuk membuat karangan dan pada hari yang ditentukan dikumpulkan di meja ibu guru. Guru ini membaca semua karangan murid satu per satu (kira-kira ada 40 murid dalam satu kelas) dan beberapa hari kemudian kertas berisi karangan ini dikembalikan kepada murid disertai catatan dan nilai dari ibu guru. Hanya saya sendiri yang belum menerima kembali kertas karangan dan setelah ibu guru memerintahkan murid untuk duduk diam, beliau mengumumkan bahwa karangan saya meraih nilai terbaik dan selanjutnya beliau membacakan sendiri tulisan saya di depan kelas. Tujuan beliau membacakan karangan saya adalah agar teman sekelas dapat mencontoh “gaya bahasa” saya. Bangga sudah pasti, senang sudah pasti. Tapi yang belum terpikir dalam benak saya yang waktu itu berusia 11 tahun, bahwa ini adalah talenta (bahasa Belandanya ‘aanleg’) yang sudah melekat pada diri saya.
Mengatakannya sebagai talenta atau aanleg memang terasa agak sombong. Seolah-olah saya bakal menjadi penulis besar sekelas Pramoedya Ananta Toer atau wartawan kondang Mochtar Lubis. Dan memang, boro-boro menjadi pengarang atau wartawan besar, menjadi pengarang atau wartawan kelas kambing pun saya juga tidak. Perjalanan hidup (destiny) membawa saya menjadi seorang dokter gigi. Namun refleksi yang saya lakukan di usia senja ini tetap memberi peneguhan bahwa talenta saya ada di dunia tulis-menulis dan jurnalisme. Masih di masa kelas 5 atau 6 SD, saya ingat pernah membuat kliping yang mungkin belum pernah dilakukan orang pada zaman itu. Saya membuat kliping berisi guntingan foto-foto tokoh dunia dari koran dan majalah. Guntingan foto presiden dan perdana menteri seluruh dunia ini saya tempelkan pada halaman buku tulis dan saya sertakan pula nama dan jabatannya dengan tulisan tangan. Jadi ini bukan kliping artikel, melainkan kliping foto tokoh-tokoh politik dunia.
[caption id="attachment_355849" align="aligncenter" width="521" caption="patrice lumumba dan dag hammarskjold (ilust delpher.nl)"]
[/caption]
Sangat jauh berbeda mutu gambar foto di koran pada masa itu bila disandingkan dengan foto-foto berwarna zaman sekarang. Foto-foto di koran kala itu hanyalah hitam putih dan masih memakai teknologi half tone (kelihatan berbintik-bintik dan tidak halus mulus dengan resolusi tinggi seperti zaman sekarang ini). Anda mungkin bisa melihat pada contoh pada ilustrasi yang saya lampirkan di atas. Bisakah Anda menebak siapa nama kedua tokoh dunia ini? Bilamana Anda bukan berasal dari generasi saya, besar kemungkinan Anda tak akan mampu menebak namanya. Mereka adalah Habib Bourguiba, presiden pertama Tunisia dan Ben Bella, presiden pertama Algeria. Kliping foto-foto tokoh politik masa itu yang masih saya ingat, ada Charles De Gaulle dari Perancis, Adenauer dari Jerman, Patrice Lumumba dari Kongo, Nehru dari India, Nikita Krushchev dari Rusia, Josip Bronz Tito dari Yugoslavia, Dag Hammarskjold, Sekjen PBB, Moshe Dayan dari Israel yang terkenal dengan eye-patch (tutup mata hitam seperti bajak laut). Sudah barang tentu saya, sebagai bocah 11 tahun, masih buta politik dengan kiprah dan sepak terjang tokoh-tokoh ini. Saya tahunya hanya senang mengumpulkan gambar foto mereka dan menghafal namanya.
Tak sengaja buku berisi kliping guntingan foto pemimpin dunia dari koran ini saya bawa ke sekolah dan terlihat oleh ibu guru. Buku ini diambilnya dan dibawa ke mejanya. Saya sudah merasa ketakutan bakal mendapat hukuman dari guru karena membawa buku yang tak ada kaitannya dengan pelajaran yang sedang kita ikuti. Namun di luar dugaan saya, ibu guru kemudian meminta perhatian kepada seluruh teman-teman sekelas. Beliau berkata, bahwa buku kliping berisi guntingan foto kepala negara dunia ini sangat bagus dan inspiratif. Dengan cara begini, kata beliau, kita lebih mudah menghafalkan dan mengenal nama tokoh-tokoh dunia tersebut. Beliau bahkan memberi tugas “baru” kepada teman-teman sekelas untuk membuat kliping foto serupa dan nanti akan dilombakan untuk diberi nilai. Apakah ini precursor (tanda dini) aanleg saya di dunia jurnalisme? Saya percayai memang ya.
Tapi bakat itu ternyata bisa terpendam berpuluh-puluh tahun lamanya. Baru lima tahun terakhir ini, saya menjadi penulis dan itu pun masih kelas amatiran. Media yang menghantar saya merealisasikan “bakat” saya ini adalah Kompasiana. Berkat blog Kompasiana ini, seperti bermimpi rasanya, saya bisa melahirkan sebuah buku yang diterbitkan oleh Gramedia berjudul “Gara-gara Alat Vital dan Kancing Gigi”. Bangga, sudah pasti. Senang, sudah pasti. Tapi yang menjadi catatan penting dalam perjalanan hidup saya adalah bahwa talenta itu ternyata sudah ada semenjak kita masih kecil. Talenta itu tidak selalu maha-besar. Dia bisa sekadar talenta kecil-kecilan, namun tetap bisa kita sebut dengan talenta. Saya juga merasa bakat menulis saya hanya pas-pasan saja dan tak akan melambung menyamai Ken Follett (novelis idola saya) atau P.K. Oyong (wartawan legendaris yang saya kagumi gaya tulisannya di Kompasiana – Kompasiana yang original di koran Kompas, bukan Kompasiana blog yang ada di internet masa kini). Ini sekadar catatan harian pribadi yang mungkin tak akan banyak readership-nya, tapi tak mengapa, saya cukup senang sudah bisa menumpahkan perasaan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H