Lihat ke Halaman Asli

Vietnam dengan Silk Air Bag. 1: Hanoi

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1383446281996345524

Keinginan untuk mengunjungi negara Vietnam sudah berada di benak saya sejak awal tahun ini. Oleh karena itu saya merasa amat gembira saat mendengar bahwa saya termasuk menjadi salah satu pemenang Silk Air Blog Competition dan mendapatkan paket liburan ke Hanoi. Rasanya seperti baru memenangkan lotere. Dan bepergian bersama Silk Air memang membuat saya merasa seperti seorang pemenang yang diperlakukan dengan istimewa sepanjang perjalanan.

Saya mendapatkan upgrade dari kelas ekonomi menjadi kelas bisnis dari Bandung menuju Singapura (untuk transit). Untuk penerbangan-penerbangan berikutnya, memang saya kembali menempati kursi ekonomi. Tapi hal itu sama sekali bukan menjadi masalah, karena bahkan kursi ekonomi tetap memiliki ruang kaki luas dan ukuran bangku yang lebar. Apalagi ditambah dengan para pramugari yang ramah dan sangat membantu, serta paket makanan yang selalu tersaji hangat dan lezat. Semua itu membuat saya merasa seperti tidak berada di pesawat, melainkan di rumah yang nyaman.

Omong-omong, saya tidak menuliskan pujian ini bukan karena Silk Air menjadi sponsor acara jalan-jalan saya. Saya menuliskannya karena saya memang benar-benar terkesan dengan pelayanan yang mereka berikan.

Nah, bicara tentang jalan-jalan, berikut adalah catatan perjalanan saya di Vietnam selama enam hari bersama Silk Air.

22 Oktober 2013 (Bandung – Singapore – Hanoi)

Saya berangkat dari Jakarta menuju Bandung bersama rombongan kru salah satu stasiun televisi swasta yang kebetulan juga sedang mengadakan liputan acara liburan ke Vietnam. Dari Bandung kami terbang ke Singapura. Di sana akhirnya kami bertemu dengan Bapak Purnawan (pemenang blog competition yang satu lagi) dan Ibu Mely –perwakilan dari Silk Air yang akan menemani kami sepanjang enam hari.

Jadi total individu yang berangkat menuju Hanoi dari Singapura berjumlah empat belas orang. Cukup banyak memang, jadi seperti bepergian dalam rombongan tur saja. Tapi saya tidak mengeluh, karena teman-teman seperjalanan saya pada akhirnya terbukti malah bisa membuat suasana menjadi lebih meriah.

Kami tiba di Noi Bai Airport Hanoi kurang lebih pukul 17.35. Selesai berurusan dengan imigrasi dan bagasi, hal pertama yang kami lakukan adalah menghampiri kios Viettel yang menjual SIM card lokal. Namun saya sempat bingung karena ternyata Viettel tidak menyediakan paket khusus turis yang murah dan berdurasi pendek. Kartu perdana dihargai mulai dari 350.000VND, namun bisa digunakan untuk internet 3G sepuasnya. Kondisi sinyal stabil walaupun kualitas kecepatannya tidak jauh berbeda dengan internet yang ada di Jakarta. Sementara biaya untuk SMS adalah 2.500VND /pesan.

13833772671682668452

Dari bandara, tour guide kami yang bernama Khan membawa kami ke restoran ‘Red House’ yang berada di Ham Long Road (distrik Hoan Kiem) untuk makan malam. Restoran tersebut memasang label ‘halal’ yang jarang bisa ditemui di Hanoi, serta menyajikan variasi makanan Singapura yang cukup akrab bagi lidah orang Indonesia.

1383377349505306989

Catatan khusus saja, orang Vietnam sepertinya tidak mengenal ‘saus sambal’, hanya kecap cabai. Jadi bagi para penggemar sambal, lebih baik membawa saus sendiri dari rumah.

Usai makan malam, kami diantar ke Golden Silk Hotel yang juga berada di distrik Hoan Kiem (pusat kota Hanoi) untuk beristirahat. Hotel ini –katanya– bertaraf bintang empat, namun tidak memiliki kolam renang haha. Ukurannya pun bisa dibilang ‘mungil’, rentang lobinya saya rasa tidak lebih dari sepuluh meter. Sepertinya hotel-hotel di pusat kota Hanoi memang berukuran mungil, bahkan yang eksklusif sekalipun. Namun jangan khawatir, pelayanan yang mereka berikan tetap baik. Kamarnya pun bersih dan sangat nyaman, jadi saya bisa beristirahat dengan baik untuk hari pertama.

1383377413846012255

23 Oktober 2013 (City Tour : Museum, Pagoda, Water Puppet Show)

Pada hari kedua, saya mulai bisa membaca kondisi kota Hanoi.

Kesan pertama yang bisa langsung saya rasakan adalah bahwa udara di Hanoi cukup dingin pada bulan Oktober. Kabarnya suhu terendah yang pernah tercatat pernah mencapai 3°C pada bulan Januari. Jadi, jangan lupa bawa jaket bila ingin bepergian dari bulan Oktober hingga April ke Hanoi, terutama pada bulan Desember – Februari.

Kesan berikutnya yang saya dapat dari kota ini adalah nuansanya yang ‘tua’, mengingatkan saya pada Kota Tua Jakarta.

Lalu, kendaraan roda dua alias motor juga berlimpah di Hanoi. Sayangnya, mereka bukan termasuk pengendara motor yang ramah dan sabar. Maka kita harus berhati-hati bila menyeberang jalan. Jangan heran bila kita diklakson –bahkan nyaris diserempet– walau sudah mengangkat tangan saat menyeberang. Bila ingin menyeberang di persimpangan jalan sebaiknya juga selalu menoleh ke kiri dan kanan terlebih dahulu, karena motor-motor itu kadang tetap melintas walau lampu sudah berwarna merah.

13833774731210350445

Kunjungan menuju ‘Vietnam Museum of Etnology’ mengawali kegiatan kami pada hari kedua. Museum yang terletak 8km dari pusat kota tersebut didedikasikan sebagai salah satu cara untuk melestarikan 54 jenis etnis yang ada di Vietnam. Di dalamnya kita bisa melihat display alat transportasi, alat musik, dan alat-alat lain yang dipakai untuk melakukan kegiatan sehari-hari masing-masing kelompok etnis. Contoh rumah kayu dan peragaan upacara-upacara adat juga disediakan di sana. Museum ini benar-benar kaya akan nuansa budaya dan pengetahuan. Bila saya kembali lagi ke Hanoi nanti, saya rasa saya akan memerlukan waktu setengah hari sendiri bila ingin menelusuri seluruh isi museum.

1383377572137822430

Dari museum etnologi, perjalanan kami diteruskan menuju West Lake, tempat Tran Quoc Pagoda berada. Pagoda ini adalah pagoda tertua di Hanoi yang dibangun abad ke-6 oleh raja pertama Vietnam – Ly Nam De. Namun lokasi awalnya bukanlah di West Lake, melainkan di tepi Red River (sungai besar yang berada di sisi timur kota Hanoi). Tran Quoc Pagoda baru menempati posisinya di West Lake pada tahun 1615, sepertinya untuk menghindari gangguan air sungai yang sering meluap. Pagoda ini adalah pagoda yang aktif, artinya orang-orang masih memakainya sebagai tempat sembahyang. Perlu diketahui, waktu buka untuk hari Senin-Sabtu adalah pukul 11.00 – 12.00 dan 13.30 – 18.00, sementara untuk hari Minggu dan libur pagoda / kuil ini dibuka pukul 07.00 – 18.00.

1383377637968223766

Makan siang di d’Lions Restaurant (yang lagi-lagi mengusung label ‘halal’) menyusul kemudian. Menurut manajernya, duta besar Vietnam juga sering makan di sana.

Puas mengisi perut, perjalanan dilanjutkan menuju One Pillar Pagoda yang berada di belakang Ho Chi Minh Mausoleum. Sayang sekali makam presiden pertama Vietnam tersebut sedang menjalani perawatan dan baru dibuka kembali pada bulan November 2013. Kabarnya makam ini dibuat berdasarkan insipirasi yang didapat dari bentuk makam Lenin yang berada di kota Moscow. Dan biasanya antrean panjang pengunjung makam terlihat memenuhi pintu masuk makam. Mungkin orang-orang penasaran ingin melihat jenazah Paman Ho yang dibalsem di dalamnya.

13833777511533871158

Tur keliling kota Hanoi hari ini sepertinya dipenuhi dengan kunjungan ke museum dan pagoda. Karena usai dari One Pillar Pagoda, kami diajak ke ‘Temple of Literature’ –tempat para pelajar berdoa sebelum ujian. Lalu ke ‘National Museum of Vietnamese History’. Di sana terdapat banyak artefak mulai dari jaman prasejarah, jaman pendudukan Cina, Prancis, hingga ke jaman dinasti kerajaan-kerajaan di Vietnam. Museum ini mengingatkan saya pada Museum Gajah di Jakarta, hanya saja koleksinya jauh lebih lengkap. Kondisi museumnya juga jauh lebih baik dan terawat. Penjagaannya pun cukup ketat. Tas harus dititip di loker dan penjaga berseragam tampak siaga di setiap ruangan yang kami masuki. Museum yang isinya dipenuhi benda bersejarah memang selayaknya mendapatkan penjagaan seperti ini.

13833778661490392953

Kami mendapatkan waktu istirahat sejenak di hotel sepulang dari museum hingga waktu makan malam pukul 7. Kami tinggal di ‘Hanoi Pearl Hotel’ untuk malam ini, lokasinya masih di Hoan Kiem District dan berada tidak jauh dari Hoan Kiem Lake yang terkenal. Ukuran kamar lebih besar dari Golden Silk, namun berada di dalam gang sampai bus kami tidak bisa masuk ke dalam. Walau begitu, hotel ini tetap nyaman dan tampak berkelas.

Pukul 8 malam kami lalu diajak untuk menyaksikan ‘Thang Long Water Puppet Theatre’ yang sangat tersohor. Singkatnya ini adalah semacam pertunjukan wayang golek yang dilakukan di atas air dan diiringi oleh live music khas Vietnam. Ukuran wayang / bonekanya juga cukup besar, tingginya bervariasi antara 30 – 100 cm dengan berat hingga mencapai 15 kg. Pertunjukan diadakan setiap hari pada pukul 14.15, 15.30, 17.00, 18.30, 20.00, dan 21.45 (khusus hari Selasa & Minggu pertunjukan 21.45 ditiadakan). Harga tiketnya adalah 100.000 VND per orang, terhitung murah untuk sebuah pertunjukan budaya berdurasi kurang lebih 50 menit.

1383377932604291649

Tidak ada cerita khusus dalam pertunjukan, hanya menggambarkan kegiatan sehari-hari masyarakat Vietnam –memancing, menanam padi, menangkap katak– diselingi tarian naga dan Thang Long drumming festival.

Kisah hari ke-2 ternyata tidak berakhir dengan pertunjukan water puppet. Setelah itu kami diajak mengelilingi bagian Hoan Kiem Lake. Bahkan di malam hari, suasana di sekitar danau masih sangat ramai. Orang lokal dan turis menikmati jalan-jalan santai atau sekadar duduk-duduk di bangku taman. Di beberapa sudut juga terlihat remaja sedang memainkan Da Cau, semacam permainan campuran antara sepak takraw dan bulu tangkis. Resminya permainan ini menggunakan net seperti bulu tangkis, namun versi rakyat biasanya dilakukan tanpa net. Lima orang (atau lebih) berdiri dalam bentuk lingkaran dan masing-masing saling menendang serta mengoper semacam shuttlecock (bukan bola) pada temannya dengan menggunakan kaki.

Permainan yang seru dan membuat kami berhenti untuk beberapa saat untuk mengamati keahlian mereka memainkan kok menggunakan kaki. Namun akhirnya tubuh kami yang lelah membuat kami melangkah kembali untuk beristirahat di hotel.

24 Okober 2013 (Ninh Binh : Tam Coc & Hoa Lu – Old Capital City of Vietnam)

Hari ketiga saya di Vietnam diawali dengan perjalanan darat bersama rombongan menuju Ninh Binh yang berada 100km selatan Hanoi. Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam menuju tempat yang disebut sebagai ‘Halong Bay on Land’ ini. Gugusan batu gamping/limstones yang ada di Halong juga bisa ditemukan di sini, namun hamparan pemandangan di sekelilingnya bukan laut, melainkan sawah.

1383378024211937940

Tempat wisata pertama yang kami tuju di Ninh Binh dinamakan Tam Coc (artinya tiga gua). Di Tam Coc kami akan menaiki sampan kecil (yang hanya sanggup dimuati 3-4 orang) melewati gugusan limestones dan tiga buah gua yang memiliki langit-langit sangat rendah. Pemandangannya sangat indah di sana. Waktu tempuh pulang pergi menggunakan sampan kurang lebih adalah satu setengah jam. Perjalanan yang seharusnya bisa jadi menggembirakan, seandainya saja kapal kami tidak harus berhenti di tengah-tengah untuk ‘dipaksa’ membeli jajanan.

Masalahnya, para penjual ‘sangat gigih’ menawarkan barang dagangan mereka yang berupa snack atau pernak-pernik oleh-oleh. Parahnya lagi, pendayung sampan kami juga sepertinya tidak punya niat untuk terus mendayung sebelum kami membeli sesuatu. Jadi akhirnya kami terpaksa mengeluarkan 30.000VND untuk membeli dua botol minuman dan sebungkus roti. Minuman dan makanan itu tidak dibeli untuk kami sendiri, melainkan untuk diberikan pada para pendayung.

Baru setelah itu mereka mau mendayung sampan kami kembali menuju dermaga. Itu pun sepanjang perjalanan, kami kerap ditawari oleh-oleh (seperti dompet dan kaos) di atas sampan oleh salah satu pendayung. Kegigihan tersebut membuat suasana hati saya jadi kesal, karena saya datang ke Tam Coc untuk menikmati pemandangan, bukan untuk dipaksa membeli sesuatu.

Untuk melengkapi kekesalan kami, setibanya di dermaga, dua orang pendayung kapal kami juga meminta tip secara terang-terangan sebesar 20.000VND per orang. Bebas dari todongan tip, ternyata kami masih harus menghadapi penjual foto.

Yah, jadi sewaktu kami berada di kapal, ada orang yang bertugas mengambil foto kami di beberapa titik. Foto-foto itu sekarang dijual kepada kami dengan harga 50.000VND untuk empat lembar ukuran 4R. Kualitas cetakan fotonya memang baik dan bisa dijadikan kenang-kenangan dari Tam Coc, namun tetap saja saya tidak suka cara-cara para penjual yang sedikit ‘memaksa’.

Diluar urusan dengan para pedagang, sebenarnya pengalaman kami di Tam Coc bisa dibilang menyenangkan. Kami bahkan sempat membeli beberapa oleh-oleh dari toko yang berada di sekitar restoran tempat makan siang. Mereka memasang harga cukup rasional kok di sana. Saya sendiri akhirnya membeli dua buah dompet kain cantik seharga 35.000 VND.

13833781151477802524

Selepas Tam Coc, Khan membawa kami pergi ke Hoa Lu yang masih berada di area Ninh Binh. Tempat itu menjadi ibukota Vietnam pada masa pemerintahan Dinasti Le, sebelum akhirnya ibukota dipindah ke Ha Noi oleh Ly Thai To (pendiri dinasti Ly) pada tahun 1010.

Tidak banyak yang bisa dilihat di Hoa Lu, namun bila kita kebetulan datang ke sini pada bulan Februari maka kita bisa melihat Hoa Lu Ancient Capital Festival yang diselenggarakan untuk menghormati raja Dinh Tien Hoang dan Le Dai Hanh –tokoh yang dianggap memberikan kontribusi besar bagi pendirian ibukota Hoa Lu. Festival ini diisi dengan berbagai ritual, tarian, permainan, serta perlombaan yang seru.

13833782201325146245

Selesai dari Hoa Lu yang membuat saya serasa berada di daratan Cina, kami pun dibawa kembali ke Hanoi untuk menikmati makan malam, dan kemudian diantar kembali ke hotel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline