Pola pengasuhan dimasa kecil yang berakar dari norma-norma sosial dan budaya yang dianut orang tua kepada anak laki-laki dapat menjadikan seorang laki-laki dewasa sulit untuk ekspresif kepada pasangannya. Dalam banyak budaya, termasuk dalam banyak komunitas di dunia, laki-laki diajarkan untuk menahan perasaan dan menunjukkan ketegaran, kekuatan, serta kontrol emosional. Hal ini berpengaruh langsung pada cara mereka mengekspresikan perasaan mereka, terutama dalam hubungan dengan pasangan.
Beberapa pola pengasuhan yang dapat memengaruhi kesulitan laki-laki dalam menjadi ekspresif antara lain:
Pertama, Penerapan Norma Maskulinitas yang Kaku
Banyak anak laki-laki dibesarkan dengan norma sosial yang mengajarkan bahwa "laki-laki tidak boleh menangis" atau "laki-laki harus kuat dan tegas." Dari usia dini, mereka sering diberi pesan bahwa menunjukkan emosi seperti kesedihan, kecemasan, atau kelembutan adalah tanda kelemahan. Dalam pengasuhan seperti ini, mereka mungkin belajar untuk menahan perasaan atau hanya mengekspresikan emosi tertentu yang dianggap "maskulin," seperti marah atau frustrasi, sementara emosi yang lebih lembut atau penuh kasih, seperti cinta atau rasa rindu, tidak diekspresikan.
Sebagai contoh pengasuhan dimasa kecil, seorang anak laki-laki yang menangis karena terluka atau kecewa diberitahu oleh orangtuanya, "Jangan menangis, kamu kan laki-laki." Akibatnya, pembelajaran yang ditangkap oleh anak tersebut yaitu mengekspresikan perasaan yang lebih lembut atau emosional adalah sesuatu yang tidak pantas bagi seorang laki-laki.
Kedua, Minimnya Contoh Ekspresi Emosi dari Ayah
Ayah sering kali menjadi figur peran yang dominan dalam keluarga, terutama bagi anak laki-laki. Jika seorang ayah sendiri tidak ekspresif atau tidak menunjukkan kasih sayang secara terbuka, anak laki-laki cenderung meniru perilaku ini. Hal ini mengarah pada pembentukan pola pikir bahwa laki-laki harus menjaga jarak emosional dan tidak mengekspresikan perasaan mereka secara terbuka, terutama dalam hubungan yang lebih intim seperti pernikahan.
Jika seorang anak laki-laki tidak pernah melihat ayahnya memeluk atau mengatakan kata-kata sayang kepada ibunya, ia mungkin merasa canggung atau tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan kasih sayang secara verbal atau fisik saat ia dewasa.
Ketiga, Peran Gender dalam Tradisi Masyarakat
Dalam banyak budaya, laki-laki diharapkan untuk menjadi "pemberi nafkah," "pemimpin," atau "pelindung" dalam keluarga, sementara perempuan sering dianggap sebagai penjaga rumah tangga yang lebih emosional dan ekspresif. Pengasuhan yang memperkuat peran gender tradisional ini bisa membuat anak laki-laki merasa bahwa mereka harus tetap menjadi sosok yang kuat, rasional, dan tidak tergoyahkan, tanpa menunjukkan kelembutan atau ekspresi emosional yang dianggap "lemah."
Jika seorang anak laki-laki selalu diharapkan untuk menjadi mandiri, tidak bergantung pada orang lain, dan menjaga jarak emosional, ia mungkin kesulitan untuk mengekspresikan kebutuhan emosionalnya, bahkan kepada pasangan hidupnya.