Long Distance Marriage (LDM) adalah realitas yang dihadapi banyak pasangan modern. Pilihan ini sering kali diambil demi alasan yang kuat, seperti pekerjaan, pendidikan, atau tanggung jawab keluarga. Namun, di balik keputusan tersebut, pertanyaan penting muncul: siapa yang paling dikorbankan dalam pernikahan jarak jauh?
LDM memang menuntut pengorbanan besar, tetapi jika dijalani dengan komitmen dan saling pengertian, pasangan dapat menjadikan tantangan ini sebagai proses pendewasaan hubungan, bukan ajang saling merasa dirugikan.
Dalam banyak kasus, perempuan sering dianggap sebagai pihak yang lebih banyak berkorban. Mereka cenderung memikul tanggung jawab besar dalam mengurus rumah tangga, merawat anak, dan menjaga kestabilan emosional keluarga. Ketidakhadiran pasangan sering kali membuat perempuan merasa harus mengisi "kekosongan" tersebut seorang diri, yang dapat memicu tekanan emosional maupun fisik.
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya universal. Suami yang tinggal jauh dari keluarga juga menghadapi tekanan besar, seperti bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan, menahan rasa kesepian, dan menghadapi risiko alienasi emosional dari anak-anak maupun istri. Peran gender dalam hubungan LDM sering kali menentukan beban yang dirasakan masing-masing pihak, tetapi keduanya dapat menjadi "korban" dalam arti berbeda.
Meski jarang disorot, anak-anak sering menjadi korban tersembunyi dalam LDM. Kehilangan figur ayah atau ibu secara fisik dalam kehidupan sehari-hari dapat memengaruhi perkembangan emosional mereka. Anak mungkin merasa kurang mendapatkan perhatian atau kasih sayang yang cukup, meskipun orang tua berusaha menutupi jarak tersebut dengan komunikasi virtual. Dampaknya bisa bervariasi, tergantung bagaimana pasangan mengelola situasi ini. Anak yang merasa "ditinggalkan" oleh salah satu orang tua berisiko mengalami rasa cemas, kesepian, atau bahkan ketidakpercayaan terhadap hubungan.
Jika dipetakan berikut adalah pihak-pihak yang sering menghadapi pengorbanan dalam LDM :
Pertama, bagi suami atau istri yang tinggal jauh. Pengorbanan yang dirasakan antara lain harus meninggalkan keluarga demi pekerjaan atau pendidikan, menanggung rasa kesepian karena berjauhan dari pasangan dan anak, dan berisiko kehilangan momen-momen penting, seperti ulang tahun anak, pencapaian pasangan, atau acara keluarga. Kondisi ini dapat berdampak pada beban emosional karena merasa bersalah tidak hadir secara fisik, dan tekanan untuk bekerja keras demi membuktikan bahwa jarak tersebut "berharga."
Kedua, bagi pasangan yang tinggal di rumah. Pengorbanan yang dirasakan antara lain memikul tanggung jawab rumah tangga secara penuh, termasuk mengurus anak dan mengelola urusan sehari-hari, merasakan beban mental karena harus menjadi "penjaga harmoni" keluarga, dan berjuang menjaga hubungan tetap hangat di tengah keterbatasan komunikasi. Kondisi ini dapat berdampak pada risiko kelelahan fisik dan emosional karena tugas yang berat dan berulang, serta kesepian akibat ketiadaan pasangan sebagai teman hidup sehari-hari.
Ketiga, bagi anak yang tinggal di rumah. Pengorbanan yang dirasakan antara lain kehilangan figur orang tua secara fisik dalam kehidupan sehari-hari, kurang mendapatkan perhatian langsung, terutama pada momen-momen penting, dan merasakan dampak emosional akibat jarak, seperti rasa cemas atau merasa kurang didukung. Kondisi ini dapat berdampak pada gangguan pada perkembangan emosional dan sosial jika situasi LDM tidak dikelola dengan baik, serta kesulitan memahami alasan di balik absennya salah satu orang tua.
Keempat, bagi hubungan itu sendiri. Pengorbanan yang dirasakan antara lain kehilangan kesempatan untuk membangun kedekatan fisik dan emosional secara langsung, ketergantungan pada komunikasi jarak jauh yang kadang tidak ideal, dan risiko salah paham karena keterbatasan ekspresi dalam komunikasi virtual.
Tidak ada pihak yang paling banyak dikorbankan dalam LDM, karena beban ini bersifat relatif dan bergantung pada dinamika hubungan. Jika pasangan memiliki komunikasi yang baik, saling mendukung, dan berbagi tanggung jawab, beban pengorbanan bisa dirasakan lebih adil. Sebaliknya, jika ada ketimpangan peran atau ekspektasi yang tidak realistis, salah satu pihak akan merasa lebih "menderita."