Lihat ke Halaman Asli

Meraih Asa Bersama Sahabat

Diperbarui: 10 Februari 2017   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : pantai di larantuka [dok.pribadi]

Masih terbayang masa-masa awal masuk ke pesantren. Berpisah dengan ayah dan bunda yang telah merawat sejak bayi hingga usia baligh-ku adalah hal terberat yang ku alami sejak lahir. Kasih sayang yang kurasakan, kebersamaan dalam keluarga bersama ayah bunda dan kedua adikku tercinta adalah kebahagiaan yang tak terhingga yang kurasakan selama ini. Memang sudah menjadi kesepakatanku dengan ayah bundaku untuk melanjutkan pendidikan di pesantren setelah lulus dari SD. Tidak ada kalimat keluar dari lisan ayah dan bundaku yang memaksaku untuk ke pesantren. Akupun sudah mencoba untuk dapat menerima sepenuhnya keputusan bersama itu, demi cita-cita dan masa depanku nanti.

Meski demikian, rasa berat untuk berpisah dengan ayah bunda dan kedua adikku begitu terasa membayang di benakku. Ahh..bagaimana nanti saat kangen dengan mereka selama di pesantren? Begitu pikiran yang terlintas dalam benakku. Terbayang saat dipagi hari aku berpamitan dengan ayah bundaku dengan mencium tangan mereka saat berangkat ke sekolah. Saat makan malam tiba, semua anggota keluargaku lengkap. Menjelang tidur saling bercengkerama. Celoteh lucu Salma dan Raihan – kedua adikku – selalu menghiasi suasana kala berkumpul bersama keluarga. Suasana seperti itu tentu tidak akan aku dapatkan saat di pesantren nanti.

Hingga menjelang keberangkatanku ke pesantren pikiran-pikiran seperti itu selalu bersliweran di benakku, bahkan sampai terbawa dalam mimpi-mimpiku.

***

Suara lantunan nasyid Edcoustic yang rancak terdengar dari HP ku, membuat lamunan masa laluku buyar seketika. Di ruangan kerjaku yang cukup luas dan nyaman di lantai 23 sebuah tower di pusat kota Jakarta, aku kembali terbayang masa-masa itu. Kini tampak wajah ceria sahabatku di layar HP ku. Segera ku terima video call sahabatku itu.

Assalaamu’alaikum, apakabar Sam..”, sapa sahabatku dengan wajah ramah seperti biasanya. Wajah ramah yang hampir tidak pernah berubah gayanya sejak sama-sama di pesantren. Samil adalah sahabat sejatiku yang hingga saat ini masih sering berkomunikasi intens denganku, meski sudah hampir 20 tahun telah lulus dari pesantren yang sama denganku.

Masih teringat saat pertama kali berjumpa di pesantren. Ditengah keramaian suasana pendaftaran santri baru, kami bertemu dibawah pohon asem jawa yang rindang. Sambil menikmati bekal makanan dan minuman yang kami bawa dari rumah. Ayah, bunda dan Salma mengantarkan ku mendaftar ke pesantren. Sedangkan Samil diantar oleh Ayah dan pamannya yang kebetulan tinggal di daerah sekitar pesantren.

Saya dan Samil akhirnya sama-sama diterima di pesantren itu. Kebetulan penempatan ruang tidur di asrama juga satu lokasi, sehingga sejak saat itu kami berteman akrab.

Pagi itu Samil kembali menghubungiku melalui video call. Tampak baju jas koko hitam dan kopyah putih menghiasi penampilannya pagi itu. Sementara saya bersetelan jas dan berdasi nuansa abu-abu yang telah disiapkan istriku tadi malam.

“Jun, bagaimana dengan proposal yang telah saya kirim via email kemarin?” tanya Samil setelah saling memberi kabar diawal percakapan.

Subhanallah, saya sangat tertarik Sam” jawabku mantap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline