Belum lama ini, hampir semua media berita di Indonesia baik itu media elektronik, media cetak dan media sosial menyajikan berita tentang oknum pejabat yang memiliki harta kekayaan di luar kewajaran. Tak kalah hebohnya oknum pejabat atau keluarga nya memamerkan kekayaannya di media sosial. Tak ayal lagi videonya menjadi sorotan negatif netizen. Aparat penegak hukum Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan segera bergerak untuk memproses dugaan adanya tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh oknum pejabat.
Keseriusan penegak hukum untuk segera memproses dugaan adanya tindak kejahatan ekonomi dengan melakukan langkah-langkah pencegahan pelarian aset dan instrumen kejahatan. Perlu kecepatan dan aturan yang fleksibel untuk dapat segera merampas dan menyita harta pelaku kejahatan baik di dalam dan di luar negeri.
Atas dasar kebutuhan tersebut, perlu adanya instrumen hukum yang memadai sebagai dasar hukum dalam memproses tindak pidana melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Peraturan yang mudah untuk melakukan perampasan dan penyitaan aset pelaku kejahatan ekonomi. Para pemangku kepentingan di Indonesia sebenarnya sudah lama merancang Undang-undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang mengakomodir tindakan penyelamatan aset negara.
Tujuan dasar penyusunan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset untuk merumuskan permasalahan terkait dengan perampasan aset tindak pidana. Seperti kita pahami tujuan pelaku tindak pidana ekonomi adalah untuk mendapatkan harta kekayaan yang sebanyak-banyaknya. Maka untuk menekan dan memberantas tindak pidana ekonomi dengan cara merampas hasil dan instrumen tindak pidana tersebut. Berdasarkan pengalaman ternyata menjatuhkan pidana badan terbukti tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
Penyitaan dan perampasan aset pelaku tindak pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta kekayaan milik pelaku kepada masyarakat akan tetapi juga untuk mewujudkan terbentuknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adapun kesulitan pelaksanaan perampasan harta hasil tindak pidana ekonomi seperti kejahatan korupsi, antara lain : satu, Undang-undang Tipikor membatasi besaran uang pengganti yang bisa dijatuhkan sama dengan uang yang diperoleh dari hasil kejahatan korupsi atau sebesar yang bisa dibuktikan di pengadilan. Dua, Pembuktian tindak pidana korupsi sangat detail dan memakan waktu penyelesaian yang panjang. Tiga, Kesulitan mendeteksi pencarian harta hasil kejahatan ekonomi (asset tracing) apalagi bila harta kejahatan telah dipindahkan ke negara lain.
Mengapa RUU Perampasan Aset harus segera dibahas dan ditetapkan menjadi Undang-undang? Pertama, Karena dapat memberi manfaat bagi penegakan hukum dan pemulihan aset negara akibat kejahatan ekonomi seperti korupsi, pencucian uang, narkoba, terorisme dan lainnya. Kedua, Menghemat waktu dan biaya penanganan perkara dengan menggunakan paradigma batu dalam hukum pidana. Ketiga, Proses eksekusi melalui UU No.8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) membutuhkan waktu yang panjang mulai tahap penyelidikan hingga eksekusi. Keempat, Proses perampasan aset dan instrumen tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi oleh penegak hukum masih dirasa kurang fleksibel. Walaupun sudah diatur asas pembuktian terbalik. Kelima, Adanya konsep perampasan aset tanpa penghukuman atau pemidanaan terhadap pelakunya yang dikenal dengan non conviction based asset forfeiture. Keenam, Terhadap aset atau kekayaan yang secara signifikan tidak seimbang dengan sumber pendapatan/ penambahan kekayaan dan berasal dari tindak pidana.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, menyampaikan pandangan mengapa RUU Perampasan urgen untuk segera dibahas dan ditetapkan menjadi Undang-undang. Karena RUU ini sudah sangat lama diajukan sekitar tahun 2012, namun hingga saat ini belum juga ditetapkan sebagai Undang-undang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H