Lihat ke Halaman Asli

Gus Noy

TERVERIFIKASI

Penganggur

Cerpen | Lebih Baik Berbicara dengan Batu dan Gundukan Tanah

Diperbarui: 2 Desember 2019   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Saya tiba di lokasi proyek setelah matahari turun satu langkah dari puncaknya. Intinya adalah saya kesiangan.

Melewati kantor pemasaran sekaligus kantor pengembang di lokasi, saya tidak menoleh ke sana. Hanya saja sekilas terlihat Pak Semprul sedang berdiri sambil berteleponan di teras.

Pandangan saya terlindung oleh kaca gelap helm. Paling tidak, arah mata saya tidak terlihat oleh Pak Semprul, sehingga saya tidak perlu repot untuk sekadar menyapanya.

Apakah penting saya menyapa Pak Semprul? Apakah karena posisinya sebagai karyawan dari developer alias pengembang, lantas saya wajib menyapa sebagai suatu etika yang mengikat antara pengembang dan kontraktor pelaksana?

Saya tidak perlu repot memikirkan itu atau sekadar basa-basi pergaulan. Saya terus saja membawa motor matik ke arah Blok H yang berada paling ujung dari jalan utama bakal perumahan ini. Kondisi jalanannya masih berupa bebatuan yang siap diaspal atau dicor.

Meski turun satu langkah, matahari masih garang. Lahan yang terbuka dan belum selesai dikelola ini  masih membentang kesempatan matahari untuk melampiaskan kegarangan. Kegerahan pun menggerayangi kulit saya yang terlindung oleh jaket buluk yang mulai dibasahi keringat.  

Sebuah excavator sedang mengerjakan cut and fill di Blok D atau agak jauh di sisi kiri saya. Di bagian kanan saya atau jalan utama sisi kanan dua pekerja sedang memukul batu-batu agar terpecah untuk material selokan di Blok H dan Blok J.

Ketika saya berpapasan dengan kedua pekerja itu, serta-merta kami saling menyapa. Saya segera mengangguk dengan membingkiskan senyuman, keduanya menyapa dengan "Pak" dan tersenyum.

Setiba di Blok H yang sedang dibangun selokannya oleh empat pekerja, saya didatangi oleh Pak Odang. Dari arah Blok J pria kerempeng yang berusia enam puluhan tahun itu melangkah dengan cukup cepat.

Tumben, pikir saya.

Ya, tumben. Biasanya Pak Odang sibuk mengurusi pekerjaannya dengan operator excavator. Sebentar nongkrong di dekat excavator yang sedang mengolah tanah. Sebentar bergerak di antara gundukan tanah. Sebentar muncul di satu gundukan, sebentar kemudian lenyap, lalu muncul di gundukan lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline