Ada yang benci dirinya
Ada yang butuh dirinya
Ada yang berlutut mencintanya
Ada pula yang kejam menyiksa dirinya
Malam turun di timur kota ketika aku datang dengan seikat kenangan. Aku sudah sampai turki menembus selangkang gang neraka sebab di situlah debar pembuka untuk tiba ke sana karena, kabarnya, besok kemerdekaan dirayakan .
Seperlima bulan mengapung di sudut langit Blok Bukit Indah. Sebuah halaman berdinding luar mewajibkan perenang kenikmatan menggunakan pelampung elastis. Di pojok tembok terdapat sebuah gerbang dengan sebuah nama samudra luas, Atlantik. Siapa hendak berenang, siapkan pelampung sebab samudra kenikmatan bisa mendadak dilanda tsunami. Lelaky sejati jangan mati seusai berenang di samudra.
Dosakah yang dia kerjakan
Sucikah mereka yang datang
Aku tidak sedang ingin berenang di tepi samudra sebelah timur Pelabuhan Tenau itu. Aku hanya bertandang dengan seikat kenangan tentang Sambung Giri Sungailiat dan Air Nona Koba. Aku hendak melarungnya bersama para perempuan bersayap kupu-kupu sebagai malam penebusan dosa agar bisa kurayakan kemerdekaan pada keesokan hari.
Para perempuan bersayap kupu-kupu berkerumun di hamparan pasir aksara. Mereka bersayap tetapi tidak mungkin terbang sebab mereka tinggal di taman bunga, bukan di halaman kantor-kantor atau pinggir-pinggir jalan. Di taman bunga ada pengurus dan petugas khusus untuk memantau pergerakan kupu-kupu agar tetap segar menikmati bunga-bunga hanya di dalam taman.
Kadang dia tersenyum dalam tangis
Kadang dia menangis di dalam senyuman
Malam itu orang-orang bertanya tentang kemerdekaan atas tubuh sendiri tentang panu kudis lepra terlantar. Malam itu orang-orang gelisah karena penjajahan masih terjadi atas tubuh siapa pun dengan melarang berenang di samudra, dan menutup taman bunga tetapi entah taman lainnya tersimpan di laci meja.
Di luar sana pun sarat kasak-kusuk seputar perempuan bersayap kupu-kupu seakan orang-orang berseragam safari adalah barisan burung kondor kedodoran mengincar tubuh-tubuh masih memerlukan makanan pakaian dan sedikit sinar matahari untuk menjemur diri dari basah. Aku pun risau sebab menutup taman bunga dan membubarkan kupu-kupu bukanlah tuntas urusannya bahkan siapa gagah-berani menjamin seandainya suwanggi-suwanggi menyaru kupu-kupu.
Malam itu aku memang melarung seikat kenangan. Seikat kenangan digondol ombak suara-suara dan angin. Malam itu aku bercengkerama dengan para perempuan bersayap kupu-kupu di hamparan pasir aksara. Malam itu aku mengenal satu per satu pemilik nama dalam perjamuan pertama sekaligus akhir di sana.
Setelah malam itu bulan meniti percikan-percikan api sengketa, di balik-balik rimbun nusa kulihat kalender lembar pertama mengabarkan taman bunga terbakar. Ya, sungguh terlalu mahal sebuah harga dalam pengelolaan satu-satunya modal hidup seorang manusia di Negeri Mereka. Hanya Mereka pemilik tubuh siapa saja. Ya, Mereka dan kemerdekaan sahih versi Mereka saja.