Cahaya telah menyiram setiap bayangan hitam di pesisir ketika aku menyampaikan lembar cendramana tertinggal dalam buku bersarang kutu dan apak padamu disorot lampu-lampu. Aku bukanlah pemangsa kertas-kertas bukan seperti kamu melahap bulat-bulat seluruh bilangan dan kalender.
Secangkir kopi dalam pigura kedai pagi tergantung di dinding putih dari jemari mengait langit biru dari telapak kaki menumpang pangkuan bumi : sebuah lagu bernada asing bersyair sungai pegunungan bukan irigasi seperti era padat karya melumer tulang belulang. Aku pernah berada di sana menyeduh cuilan-cuilan cahaya. Kamu tidak akan pernah singgah sebab laju memecut mulutmu maut, sekalipun sekadar menyeruput teh tawar hangat.
Aku menggeleng-geleng ketika kamu membakar kertas-kertas hanya untuk menerangi pesisir, sedangkan cahaya telah jauh menyiram setiap bayangan hitam hingga dasar endapan kopi. Aku terus menggeleng-geleng ketika bilangan baru memungkiri pecahan cahaya dengan pertukaran kursi berbeda meja dan kamu kenakan kacamata kuda lalu menaikkan kedua tangan sambil meringkik.
Pikiranku entah bagaimana, meski gelengan demi gelengan tidak memanggilnya kembali duduk tenang di tempat semula. Pikiranku masih mondar-mandir mencari jejak pikiranmu yang tercetak dari abu kertas-kertas. Ya, memang tidak mudah menemukan jejak sebab pikiran seperti hantu berkelebat sukar disentuh. Namun aku ingin pikiranku kembali. Biarlah pikiranmu entah berlari atau malah sembunyi.
Ada legam menunggangimu. Ada legam menarik tali di mulutmu. Aku melihat legam menunggangimu dan memperkudamu semau-maunya. Tampaknya kamu tidak melihat cahaya menggoreskan bayangan janggal pada permukaan pesisir. Tetapi kulihat sebentar kamu lincah memutari arena pacuan. Barangkali sihir pesisir berhasil menjungkir bola matamu sehingga kacamata kuda lebih menguasai setiap sudut pandangmu.
Bulan tembaga siap matang menjadi emas mengindahkan cahaya di permukaan pesisir. Aku masih menatap gelap gulita menggurita di sekujur ragamu sampai latar kian pekat. Aku pun memberi tahu tentang pekat hitam di belakangmu lebih pekat dari seluruh gerhana total dan tinta cat hitam meraup putih sepasang matamu. Apabila lengah dan lalai, tidaklah guna menyisiri pesisir pada malam berdekap mendung sebab kertas terbakar telah padam.
Aku menggeleng lagi pada kertas baru kamu bakar lagi sedangkan cahaya masih menyiram bahkan tiada redup meski laut samudra mengering dan pesisir meleleh. Aku tidak akan mengikuti ujung telunjukmu kian terperangkap dalam pekat malam tak berkesudahan. Aku cuma mampu tertegun. Oh, betapa cahaya tidak dipercaya, alangkah kertas terbakar segera memperdaya diri sendiri. Sungguh tak terbilang kelak lembaran kalender.
*******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H