Pameran Seni Rupa dalam Festival Tpoi Ton di koridor aula samping Museum NTT Kupang pada 8-9 Desember 2017 sudah selesai. Sementara festival yang terinspirasi oleh ritual adat dalam tradisi masyarakat Dawan Timor Tengah Utara (TTU) untuk menyambut hujan musim tanam atau lebih dikenal dengan sebutan ul ton itu sendiri baru pertama kali diadakan oleh Komunitas Pustaka Leko Kupang.
Dalam pameran yang dibuka sejak hari pertama pada pukul 14.00 WITA itu sebagian karya tampil secara sederhana bahkan tanpa bingkai berkaca. Ada yang berada dalam sebuah map dan dilapisi plastik mika. Ada yang hanya kertas lalu ditempelkan saja, dan ada yang digantung dengan senar pancing.
Karya-karya pun cukup variatif. Pertama, kartun opini hitam-putih di atas kertas karya Mando Soriano yang juga koordinator pameran itu. Ada 6 kartun opini yang dipamerkan diberi tema "Kematian-kematian Akrab yang Terasa Asing".
Kedua, drawing atau ilustrasi hitam-putih dengan teknik arsir pena di atas kertas karya Agustinus. Lima drawing itu terdiri dari 4 karya bernuansa NTT yaitu Sumba dalam Ingatan, Sarapan Roti Manggarai dan Secangkir Kopi Bajawa, Marungga Berbuah, dan NTT Nite. Lainnya, Darurat Damai.
Ketiga, sketsa-sketa karya Tayuko Matsumura dan Oan Wutun. Sketsa-sketa Tayuko dengan teknik cat air dan kerayon di atas kertas lalu digantung pada bidang pamer. Sketsa-sketsa Oan Wutun dengan cat air di atas kertas, dan bernuansa suasana.
Keempat, lukisan berbahan arang di atas kertas. Karya Efraim yang berbingkai itu diberi judul "Smile with Fire".
Kelima, lukisan wajah dengan pensil di atas kertas. Dalam 3 karya Asty Doporiko itu terdapat dua wajah tokoh Indonesia.
Keenam, lukisan bergaya wedaisme yang dicetak pada vinyl. Tidak terdapat keterangan siapa kreatornya, tetapi tetap karya orang Kupang, dan jumlahnya ada 9.
Ketujuh, lukisan cat minyak di atas kanvas. Di antaranya adalah karya dari anggota Komunitas Perupa Kapur Sirih Kupang.
"Saya sendiri tidak menyangka kalau karya-karya yang tampil ternyata bervariasi," aku Mando yang mengelola Zine UMA. "Sebelumnya saya hanya mengajak kawan-kawan Kupang melalui media sosial untuk memamerkan karya mereka, seperti apa pun itu. Bahkan, Asty datang membawa karya pada detik-detik terakhir."
Mando memang tidak menyangka bahwa karya-karya yang disodorkan kawan-kawannya bisa bervariasi begitu. Hal ini disebabkan oleh baru pertama kali ia membuat pameran seni rupa, sebagaimana festival itu sendiri yang baru pertama, apalagi waktu dan tempatnya bersamaan dengan pameran forografi, instalasi, bincang buku, pentas teater, baca puisi, bincang proses festival dengan Umbu Wulang (penggagas Festival Wai Humba), diskusi mengenai perdagangan manusia, dan lain-lain.