Menjadi seorang tokoh masyarakat (public figure), bukanlah sebuah posisi yang bisa leluasa bertindak dan berkata. Konsekuensi logis semacam ini sudah sepantasnya sejak semula disadari oleh siapa saja yang berambisi bahkan akhirnya mampu merealisasikan ambisi itu.
Tetapi, Pak Setnov, sebelum melanjutkan penulisan pemikiran, alangkah pantasnya saya meminta maaf terlebih dulu kepada Bapak, apabila alinea pembuka tulisan saya sudah kurang berkenan, minimal kesan menggurui. Saya tidak sedang menggurui ataupun menggerutui, melainkan mencoba menyampaikan pemikiran saya dalam bentuk tulisan.
Baiklah, saya lanjutkan saja, daripada membatalkan penulisan hanya karena terlalu khawatir dengan "kurang berkenan", "menggurui", dan apalah. Saya memberanikan diri melanjutkan penulisan supaya bisa lengkap isi pemikiran saya mengenai perkara meme itu. Begini, Pak.
Ada sedikit ganjalan dalam pemahaman saya mengenai perkara meme hingga Bapak akhirnya membawanya ke ranah hukum formal. Bolehlah Bapak menganggap pemahaman saya hanya sejengkal bahkan sangat dangkal. Akan tetapi, Pak, justru dengan menulis inilah bisa jelas, seberapa jengkal nan dangkalnya pemahaman saya.
Seorang tokoh masyarakat, biasanya, berada pada titik pusat sorotan masyarakat. Gerak-gerik dan bisak-bisiknya selalu menjadi perhatian masyarakat. Jangankan berteriak, kentut pun bisa menjadi suatu bahan perhatian lalu mengalami sebuah pengembangan yang beragam jenis, termasuk meme, yang dikreasikan oleh sebagian masyarakat.
Kebetulan saya juga sering membuat karikatur. Karikatur, menurut pemahaman saya, merupakan bentuk lain sebelum adanya perkembangan teknologi grafis yang, salah satu produknya, dinamakan meme (mimeme/mimesis/imitasi/tiruan). Karikatur merupakan sebuah gambar distorsi yang berkaitan karakter seseorang, baik wajah, kebiasaan (perilaku ataupun perikata), dan berkaitan dengan situasi-tujuan tertentu atau hal-hal terkait lainnya yang sangat dikenal orang lain terhadap seseorang tersebut.
Gambar distorsi alias pemiuhan (perusakan) terhadap anatomi seseorang merupakan syarat utama sebuah karikatur, yang membedakannya dengan sketsa atau lukisan realis-naturalis. Melalui distorsi, orang lain semakin mengenali siapa yang menjadi tokoh yang dikarikaturkan itu.
Oleh sebab karikatur berada dalam ranah kartun, tentu saja, syarat utamanya adalah mampu mengundang senyum, entah senyum bagi kreatornya, orang yang dikarikatur, atau orang lain yang melihat karikatur itu. Lucu, begitulah. Sementara nilai kelucuan selalu relatif. Lucu bagi siapa-siapa, tentu saja, tidaklah sama nilainya.
Saya pun sering mengarikaturkan diri saya sendiri, bahkan potret-potret diri saya itu saya bukukan agar abadi. Saya tidak bermaksud untuk berjualan buku saya, melainkan membuka diri saya kepada siapa pun bahwa saya sudah berdamai dengan kekurangan saya dalam bentuk karikatur. Lalu, dengan mengarikaturkan diri saya sendiri, secara langsung saya membuka diri untuk ditertawai ataupun dicemooh (dirundung; di-bully) oleh orang lain.
Meski bukan seorang tokoh masyarakat atau tidak pernah berambisi menjadi terkenal, saya sudah menyiapkan mental saya sendiri untuk dijadikan bahan tertawa atau cemooh. Saya tidak perlu malu pada kenyataan diri saya sendiri sebab saya telah menyerahkan hidup saya kepada Takdir, entah apa-siapa itu saya menurut Takdir.
Ketika saya berani sangat konyol terhadap diri saya sendiri, saya tidak pernah mengalami kesulitan untuk 'mengonyolkan' (mengarikaturkan) orang lain. Memang tidak semua orang sudi menerima dirinya dikarikaturkan, yang seakan-akan sedang menjadi obyek olok-olok (obyek penderita banget). Bahkan, belum tentu orang yang suka mengolok-olok dalam bentuk karikatur (meme) pun sudi diolok-olok (dikarikatur/dimeme) oleh orang lainnya.