Lihat ke Halaman Asli

Gus Noy

TERVERIFIKASI

Penganggur

Sedikit Kisah untuk Menanggapi Anggapan Pak JK tentang Tionghoa & Kong Hu Cu

Diperbarui: 24 Mei 2017   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 15 Mei 2017 aku membaca tulisan yang dipajang di beranda Fb Penulis Hanna Fransisca dari kiriman Muhammad Hamizan dari cuplikan berita berjudul “Soal Kesenjangan Si Kaya & Si Miskin, JK Waswas Luar Biasa”.

Isi cuplikan beritanya begini.

Wapres JK mengingatkan kesenjangan yang ada di Indonesia sudah cukup membahayakan. Sebab, ada perbedaan agama antara si kaya dan si miskin. Hal itu disampaikan JK saat menutup sidang tanwir Muhammadiyah di Ambon, kemarin.

Menurut JK, dengan kondisi ini, kesenjangan di Indonesia lebih berbahaya dibanding di negara lain. Misalnya di Thailand dan Filipina. “Di sana, baik yang kaya maupun miskin memiliki agama yang sama. Sementara di Indonesia yang kaya dan miskin berbeda agama,” ujar JK.

Di Indonesia, kata JK, sebagian besar orang kaya adalah warga keturunan Tionghoa yang beragama Konghuchu maupun Kristen.

(dan seterusnya…)

Sebelumnya Muhammad Hamizan menuliskan, “Yg terhormat Pak JK, yng paling miskin di Indonesia itu org Papua dan bukan muslim. Sedangkan Propinsi termiskin adalah NTT, mayoritas non-muslim pula.

Lalu Penulis Hanna Fransisca yang tingal di Kalimantan Barat bersaksi, “Aku sejak kecil dibesarkan dalam keluarga yang miskin. Kami sekeluarga hanya mampu sewa 1 kamar di rumah tua yang hampir ambruk. Tidak ada bantal, tidak guling, tidak ada selimut. Aku ingat persis,  hanya punya dua gaun usang, sandal jepit kebesaran yang bisa dipakai secara bergantian, tipis dan bolong pula bagian tumitnya. Di kamar hanya ada tikar pandan yang sobek sana-sini, hanya ada lampu minyak tanah. Tidak usah cerita soal pergi ke sekolah, cerita beras di dapur saja harus utang dulu ke warung, pinjam sama tetangga. Tentu tak hanya keluarga kami yang serba kekurangan. Masih banyak lagi saudara yang lain yang jauh lebih terpuruk lagi.”

Mau-tidak mau pikiranku mundur ke ingatan yang pernah kualami dan saksikan pada masa lampau berkaitan dengan stereotipe mengenai orang Tionghoa-Kong Hucu dengan status ekonomi begitu, meskipun sebagian kecil sudah kuabadikan dalam buku Belajar Peta Indonesia (2016). Buku itu sudah ada di Perpustakaan Nasional R.I. Ada dua eksemplar, Pak, di situ. Buku itu aku buat dan terbitkan dalam kerangka mencatat ingatan berbangsa-bernegara sejak dari kampung, Pak, meskipun aku bukanlah siapa-siapa dibanding Bapak.

Aku dilahirkan sampai puber di Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan bersekolah menengah atas Jurusan A1/Fisika sampai lulus kuliah Jurusan Arsitektur di Yogyakarta. Nama Sungailiat memang kalah pamor dibanding Pangkapinang dan Muntok (tempat peleburan bijih timah terbesar sedunia pada masa jaya timah). Sungailiat hanya kota kecil di timur Pulau Bangka dan di utara Pangkalpinang.  Apalagi Kampung Sri Pemandang Atas, Pak.

Pak JK yang terhomat secara regional-nasional-internasional-global,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline