Lihat ke Halaman Asli

Gus Noy

TERVERIFIKASI

Penganggur

12 Mei yang Kelam

Diperbarui: 14 Mei 2017   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selokan Mataram di wilayah UGM adalah belokan malam tanpa listrik dan orang-orang merazia kunang-kunang elektrik. “Matikan lampu! Matikan lampu!” teriak orang-orang di tempat itu. Aku sangat mengingatnya sebab aku melewati kegelapan itu.

Di sepanjang jalan menuju Demangan tiang lampu lalu-lintas bengkok. Lampu-lampunya pecah. Satu-dua kendaraan melintas dengan kecepatan seperti dikejar hantu. Kengerian sedang bergentayangan. Aku pun sangat mengingat itu karena aku melewatinya.

Perempatan Babarsari pada tengah hari adalah kunjungan pasukan Dalmas. Mahasiswa-mahasiswa dari STTNAS, Unprok, dan sekitarnya membakar ban bekas, dan melempari pasukan. Ruko-ruko bertuliskan “Milik Pribumi”. Tentu saja aku sangat mengingatnya karena indekosanku tepat di samping perempatan itu.

Maka meletuslah senjata di Mrican. Moses Gatotkaca melesat diantar sebutir peluru. Mangunwijaya pun berduka. Dan aku sangat mengingat itu karena kemudian aku mendapat tugas dari seorang dosen untuk merancang sebuah museum reformasi bernama “Moses Gatotkaca”, meski sebatas rancangan.

12 Mei 1998 korban-korban berguguran di Semanggi, Jakarta. Peluru memang tidak punya nurani. Muntahan peluru dari moncong senjata adalah muntahan mesin-mesin perang melawan anak-anak bangsanya sendiri. Aku mendengar berita itu di televisi.

Reformasi adalah perang antara pemerintah otoriter dan rakyat. Para korban yang gugur bukanlah orang-orang yang giat meneriakkan “Reformasi Harga Mati” atau “Reformasi Sekarang Juga”. Para korban merupakan imbas dari kebiadaban barisan oknum pengguna senjata yang lahir dari rahim senjata.

Reformasi sudah 19 tahun silam. Kelamnya hingga sekarang sebab para pelaku kejahatan kemanusiaan memang terlahir dari rahim senjata. Makanan mereka sehari-hari adalah mesiu. Tidak perlu ditanya, siapa nama bapak-ibunya. Tidak perlu ditanya, apa agamanya. Tidak perlu ditanya, mati nanti masuk surga atau neraka. Mereka hanya paham, bagaimana kenikmatan hidup didapat dari muncrat peluru di moncong senjata.

19 tahun adalah kelam seperti sedikit bagian tikungan Jalan Hendrawan Sie. Di jalan itu beberapa anjing sering menggonggong dan melolong. Aku sangat hafal itu karena aku tinggal tidak jauh dari jalan itu. Dan, ketika aku sedang piket ronda malam, anjing-anjing itu tidak melolong. Entah mengapa. Aku tidak pernah bertanya pada anjing-anjing itu, apa sebab mereka tidak melolong ketika aku sedang piket ronda malam.

Begitulah aku mengingat sepenggal peristiwa yang ternyata pernah ditunggangi titisan Sengkuni dari Yogyakarta. Sengkuni, Sengkuni, betapa gelapnya kau!

********

Panggung Renung Balikpapan, 13 Mei 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline